Polisi Tembak Warga Berulang Lagi, Koalisi: Polanya Mirip Kasus Sambo

- Koalisi RFP mengkritisi Polri atas penembakan GRO siswa SMKN 4 Semarang yang meninggal, menilai pola penembakan mirip dengan kasus sebelumnya.
- Tuduhan polisi terhadap korban dibantah oleh keluarga, guru, teman, dan warga sekitar, serta CCTV yang disita polisi menjadi 'hilang'.
- Koalisi RFP menilai Polri gagal melakukan reformasi internal institusi dan telah terlibat dalam banyak peristiwa kekerasan sepanjang 2024.
Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) mengkritisi keras Polri lantaran peristiwa penembakan yang melibatkan anggota kepolisian kembali berulang. Terbaru, anggota kepolisian dari Satresnarkoba Polrestabes Semarang, Aipda R menembak GRO siswa SMKN 4 Semarang hingga tewas pada 24 November 2024 lalu. Satu rekan GRO juga terkena tembakan dan kini dalam pengobatan di rumah sakit.
Koalisi RFP menilai pola yang terjadi dalam penembakan GRO mirip dengan kasus penembakan yang dilakukan eks Kadiv Propam, Ferdy Sambo ke ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Hal itu dimulai dari pernyataan Kapolrestabes Semarang, Kombes (Pol) Irwan Anwar yang memunculkan versi berbeda.
Ia mengatakan kepada publik bahwa penembakan diperlukan lantaran bagian dari upaya penanganan tawuran. Bahkan, Irwan meminta agar publik memahami tindakan anggotanya tersebut.
"Polisi menyebut korban (GRO) merupakan anggota geng Tanggul Pojok yang sedang melakukan tawuran di Semarang Barat," kata perwakilan koalisi RFP Arif di dalam keterangan tertulis dan dikutip pada Kamis (28/11/2024).
Tuduhan polisi itu dibantah lewat kesaksian keluarga, guru, teman, warga sekitar dan satpam perumahan di tempat kejadian. Mereka menyebut GRO adalah murid baik dan berprestasi. Bahkan, remaja berusia 16 tahun itu tergabung sebagai anggota Paskibraka.
"Sehingga, orang-orang terdekatnya ragu bila korban terlibat tawuran. Satpam dan warga sekitar juga mengatakan bahwa hari itu tidak ada tawuran di daerah tersebut," katanya.
1. CCTV yang jadi saksi bisu 'hilang' karena disita polisi

Pola lainnya yang mirip dengan peristiwa penembakan yang dilakukan oleh Sambo yaitu CCTV yang menjadi saksi bisu penembakan GRO 'hilang' karena disita polisi. Padahal, CCTV bisa menjadi bukti penting dan petunjuk apakah betul pada Minggu kemarin telah terjadi aksi tawuran.
Tuduhan personel Polri kepada korban dilakukan dengan tujuan untuk menutupi kasus dan menjaga citra institusi yang terus tercoreng. Peristiwa serupa juga terjadi dalam penembakan terhadap Brigadir Yosua. Dimunculkan stigma buruk kepada korban penembakan untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya.
Dalam kasus tewasnya Brigadir Yosua, polisi semula menyebut Sambo menembak ajudannya itu karena ajudannya itu yang melepaskan tembakan lebih dulu. Tetapi, setelah proses investigasi, fakta yang terungkap justru sebaliknya.
"Respons kepolisian dengan pola pembelaan ini menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan," kata koalisi RFP.
Selain dalam peristiwa penembakan yang melibatkan Sambo, pola serupa juga dipakai dalam kasus KM 50 dan tewasnya Afif Maulana.
2. Polri dinilai masih jadi institusi arogan dan sewenang-wenang ke masyarakat

Lebih lanjut, koalisi RFP menilai dengan peristiwa penembakan GRO pada Minggu kemarin menunjukkan kuatnya arogansi, sikap brutal, watak militeristik dan kesewenang-wenangan anggota Polri terhadap masyarakat. Bahkan, sikap itu juga ditunjukkan kepada korban yang masih tergolong usia anak.
"Alih-alih menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, kasus ini malah kian memperkuat potret kegagalan sistemik institusi kepolisian. Sebelumnya, institusi itu sudah berada di posisi aktor pemegang monopoli kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," kata koalisi RFP
Mereka juga mewanti-wanti penembakan secara langsung atau untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan pelanggaran hukum yang serius. Tidak terkecuali terhadap pelanggaran atas asas praduga tak bersalah yang jadi prinsip utama dalam sistem peradilan dan negara hukum.
Koalisi RFP menilai Polri telah gagal melakukan reformasi di internal institusinya. Sehingga, menyebabkan kultur brutalitas yang masih terus mengakar.
Hal itu menambah deret panjang peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian sepanjang 2024. Data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode Januari-April 2024 terungkap ada 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Kategori pelanggaran mulai dari penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (aribitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing).
3. Polda Jateng bantah coba tutupi pengungkapan kasus penembakan siswa SMKN

Sementara, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Kombes (Pol) Artanto menepis persepsi publik bahwa pihaknya berusaha menutup-nutupi proses pengungkapan kasus GRO. Ia menekankan Polda Jateng sudah berusaha transparan dengan mengundang media ketika proses pra-rekonstruksi dilakukan.
"Kami tidak menutupi apapun. Seluruh proses penyelidikan dan rekontruksi akan kami buka untuk media dan masyarakat. Silakan Komnas HAM dan media untuk terus memonitor perkembangan kasus ini,” ujar Artanto, pada 26 November 2024 lalu di Semarang.
Saat disinggung mengenai pernyataan pihak sekolah yang menyatakan bahwa korban adalah siswa yang baik dan tidak terlibat tawuran, Artanto memilih untuk tidak menanggapi lebih lanjut. Ia juga menyebut ada bukti bahwa korban sempat terlibat aksi tawuran.
"Saya tidak mau menanggapi pernyataan pihak sekolah. Namun, yang jelas, korban terlibat dalam aksi tawuran malam itu di lokasi kejadian," tutur dia.