Prabowo Unggul tapi Suara Gerindra Melempem, Efek Ekor Jas Gagal?

Jakarta, IDN Times - Suara pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dalam berbagai hasil hitung cepat (quick count) lembaga survei dan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU RI).
Namun di sisi lain, Partai Gerindra yang merupakan partai politik yang dipimpin Prabowo, bukan jadi partai pemenang dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.
Mengacu pada quick count Lembaga Survei Indonesia (LSI), suara Prabowo-Gibran unggul di angka 57,7 persen. Sementara, suara Gerindra terpaut cukup jauh dari PDIP yang bertengger di posisi pertama. Gerindra hanya mendapat 13,1 persen setelah PDIP (17,1 persen) dan Golkar (14,8 persen).
Dalam ranah politik dan pemilu, pengaruh figur atau tokoh dalam meningkatkan suara partai di pemilu dikenal sebagai efek ekor jas (coattail effect). Adapun, figur pendongkrak suara itu salah satunya bisa berasal dari calon presiden ataupun calon wakil presiden yang diusung. Sederhananya, partai politik bisa mendapat limpahan suara dalam pemilihan umum anggota legislatif, bila mencalonkan tokoh populer serta memiliki elektabilitas yang tinggi.
Lantas apakah coattail effect Prabowo gagal mendongkrak elektoral Gerindra?
1. SMRC sebut efek ekor jas tak berdampak pada Gerindra

Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyampaikan, efek ekor jas Prabowo tidak berdampak pada Gerindra.
Hasil quick count SMRC menemukan, suara Prabowo dalam Pilpres 2024 sekitar 58,36, naik signifikan dibanding Pilpres 2019 sebesar 44.50 persen. Kenaikan suara Prabowo itu sekitar 13,86 persen. Sementara, suara Gerindra tak berbeda signifikan, dari 12,57 persen pada Pemilu 2019 menjadi 13,12 pada 2024.
“Kenaikan suara pada Prabowo yang signifikan dalam pilpres ternyata tidak diikuti oleh kenaikan suara pada Gerindra meskipun Prabowo adalah Ketua Umum Partai Gerindra," ucap Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, dalam keterangannya, Kamis (22/2/2024).
Deni menilai, elektoral Gerindra tidak naik signifikan karena suara pemilih Prabowo-Gibran terdistribusi ke banyak partai, terutama mereka yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
2. Gerindra berdalih berbagi suara ke partai pengusung Prabowo-Gibran

Menanggapi fenomena gagalnya mendapat efek ekor jas, Wakil ketua Gerindra, Habiburokhman mengaku partainya tidak maksimal mendapatkan efek ekor jas dari kemenangan Prabowo-Gibran, karena berbagi suara dengan partai koalisinya.
Dia mengklaim, berbaginya suara tersebut sebagai bentuk kebesaran hati Prabowo dan Gerindra. Habiburokhman lantas menyampaikan, suara Prabowo terhadap partai koalisi terdistribusi secara merata. Karena itu, Prabowo tampak sering hadir dalam kampanye partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
"Jadi gini, itulah bentuk konkret kebesaran hati Pak Prabowo dan Partai Gerindra. Ya karena, kenapa Partai Gerindra gak dapet coattail effect yang maksimal? Karena berbagi dengan partai-partai pengusung yang lain. Ada Golkar, PAN, Demokrat, ya kita berbagi," ujar Habiburokhman kepada awak media di Jakarta, Kamis, 22 Februari 2024.
3. Golkar akui dapat efek ekor jas Prabowo-Gibran

Berbeda dengan Gerindra, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Golkar, Maman Abdurrahman, menyebut salah satu faktor peningkatan suara partainya ialah karena efek ekor jas Prabowo sebagai capres yang diusung.
“Harus kita akui, ini juga berkat dari endorsement dari Pak Prabowo di beberapa titik. Kalau kita lihat, kampanye-kampanye Partai Golkar dengan Pak Prabowo dan Mas Gibran itu juga memberikan efek positif yang luar biasa,” kata Maman dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 21 Februari 2024.
Maman pun mengapresiasi Prabowo yang bisa menempatkan diri dengan tepat, bagi partai-partai dalam Koalisi Indonesia Maju.
“Walaupun beliau maju sebagai calon presiden dan juga sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, beliau bisa menempatkan diri pada posisi in the middle, jadi artinya ini, ‘kan, terlihat dari sebaran distribusi peningkatan suara tidak hanya ada di Gerindra, tapi justru ada di semua partai koalisi dan itu kita acungi jempol,” kata dia.

4. Efek ekor jas memang tak ditemukan sejak Pemilu 2019

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Negara (BRIN), Mouliza Donna Sweinstani, menilai tidak ditemukan adanya efek ekor jas pada Pemilu 2024.
Bahkan, apabila ditilik kembali, efek ekor jas pada Pemilu 2019 juga tidak ada. Sebab meskipun Presiden Joko "Jokowi" Widodo menang, tapi suara PDIP hanya tertahan di 19,33 persen.
Padahal, menurut Donna, seharusnya kalau memang mendapat efek ekor jas, suara PDIP seharusnya lebih dari itu.
"Dari 2019 pun sebenarnya PDIP itu tidak bisa kita bilang mendapat coattail effect," kata dia kepada IDN Times, Selasa (27/2/2024).
Donna menuturkan, meski pada Pemilu 2019 suara PDIP dan Jokowi unggul, namun pencapaian itu tidak bisa disebut karena efek ekor jas. Faktor utama menangnya perolehan elektoral PDIP dalam Pileg ialah karena basis suara akar rumput yang kuat.
Dia menjelaskan, sejumlah faktor penyebab suara Prabowo-Gibran tinggi, tapi Gerindra rendah pada Pemilu 2024. Bahkan, fenomena itu juga terjadi pada perolehan suara PDIP dan paslon nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. PDIP berpotensi jadi partai pemenang Pileg 2024, namun suara Ganjar-Mahfud justru paling rendah.
"Itu menunjukkan bahwa ada ketidakselarasan masyarakat," jelasnya.
Fenomena itu juga dianggap menunjukkan sistem pemilihan saat ini yang lebih bekerja keras adalah calegnya.
"Jadi caleg di masing-masing partai bekerja mati-matian, nah kadar bekerjanya itulah yang berbeda antara PDIP dan Gerindra," ucap Donna.
"PDIP itu secara institusional kepartaian berdiri lebih lama, dan ini mungkin yang menjadikannya lebih mengakar. Kalau kita melihat secara tipologi partai, PDIP adalah partai kader, makanya ikut nampak suara mereka lebih banyak kalau kita dibandingkan dengan Gerindra," sambungnya.
Sementara, Gerindra merupakan partai menengah, bukan partai baru tetapi juga bukan partai lama seperti Golkar atau PDIP. Donna mengungkapkan, jangka waktu berdirinya partai memengaruhi suara akar rumput di masyarakat.
"Kecuali dulu ya 2009 itu memang luar biasa Demokrat, suaranya gede banget dan paslonnya juga menang. Secara umumnya semakin parpol mengakar masyarakat, maka loyalisnya akan semakin banyak," imbuh Donna.
5. Fenomena efek ekor jas susah terjadi di Indonesia

Donna menyampaikan fenomena efek ekor jas sulit terjadi di negara dengan sistem multipartai seperti Indonesia.
"Karena memang efek ekor jas itu di negara multipartai sistem seperti Indonesia menjadi akan susah, kita kan memang partainya banyak banget ya," ungkap dia.
Menurut Donna, coattail effect awalnya diasumsikan akan terjadi saat Indonesia mulai menggelar pemilu serentak, khususnya pada 2019. Fenomena itu diharapkan agar memuluskan jalannya pemerintahan dengan efektif, karena disokong dukungan dari legislatif.
"Memang dulu awalnya kita mengasumsikan bahwa dengan adanya pemilu serentak bakal ada coattail effect terus pemerintahannya akan menjadi efektif. Kalau pemerintahan yang efektif pasti akan stabil, karena didukung oleh suara yang kuat di parlemen," ucapnya.