Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Putusan MA soal Syarat Usia Kepala Daerah, Ini Kata Ketua KPU

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Ketua KPU Hasyim Asy'ari sedang harmonisasi Rancangan PKPU tentang Pencalonan Pilkada.
  • Putusan MA mengabulkan uji materi PKPU Nomor 9 Tahun 2020 terkait syarat usia calon kepala daerah.
  • Bawaslu RI menunggu sinkronisasi Putusan MA ke dalam PKPU tentang pencalonan kepala daerah yang sedang dalam proses harmonisasi oleh KPU.

Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy'ari, enggan berkomentar banyak soal Putusan Mahkamah Agung (MA) terkait tafsir syarat usia kepala daerah.

Hasyim hanya menyebut, pihaknya saat ini masih melakukan harmonisasi rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pilkada.

"Saya belum komentar dulu karena masih harmonisasi. Saya belum komentar," kata dia menjawab pertanyaan awak media di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (3/6/2024).

1. MA minta KPU ubah aturan batas usia calon kepala daerah

Lambang Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Adapun, MA mengabulkan uji materi PKPU Nomor 9 Tahun 2020 yang dilayangkan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana. 

Gugatan itu terkait Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota mengenai ketentuan syarat usia minimal calon kepala daerah.

"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: PARTAI GARDA REPUBLIK INDONESIA (PARTAI GARUDA)," bunyi Putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024.

Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9/2020 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Aturan PKPU itu mengatur syarat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur ialah berusia paling rendah 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon.

MA mengungkapkan bahwa Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "....berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".

Dengan demikian, aturan batas usia minimal kepala daerah itu dihitung sejak yang bersangkutan dilantik sebagai calon terpilih, bukan lagi saat ditetapkan sebagai paslon.

Oleh sebab itu, MA meminta kepada KPU RI untuk mencabut aturan dalam Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tersebut.

Putusan MA itu diketahui diketok oleh Ketua Majelis Yulius bersama Majelis lainnya, Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunandi pada Rabu (29/5/2024).

2. Bawaslu hormati putusan MA

Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty (dok. Bawaslu)

Bawaslu RI menanggapi polemik soal Putusan MA yang mengubah tafsir syarat batas usia calon kepala daerah.

Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty menjelaskan, pihaknya menghormati Putusan MA terhadap gugatan PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tersebut.

"Kalau Putusan MA, kan Bawaslu pelaksana undang-undang ya. Jadi dalam konteks ini tentu Bawaslu harus hormati seluruh proses yang sudah berjalan," kata dia saat ditemui awak media di Bali, Sabtu (1/6/2024).

Lolly menyampaikan, Putusan MA sampai hari ini masih sedang ditunggu oleh KPU untuk bisa disinkronisasi ke dalam PKPU tentang pencalonan kepala daerah. 

"Jadi, ya kita tunggu dalam prosesnya, karena KPU itu akan memasukkannya dalam PKPU yang saat ini sudah dalam proses harmonisasi," jelasnya.

3. Hakim MA dilaporkan ke KY

(IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sekelompok orang yang mengatasnamakan Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi (Gradasi) melaporkan Majelis Hakim MA ke KY terkait putusan soal syarat usia kepala daerah.

Adapun ketiga hakim yang dilaporkan itu ialah Yulius sebagai hakim ketua, serta Cerah Bangun dan Yudi Martono Wahyudani sebagai hakim anggota. Ketiganya dianggap terlibat dalam memeriksa, mengadili, dan memutus Perkara Nomor 23 P/HUM/2024.

Ketua Gradasi, Abdul Hakim mengungkap sejumlah pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Bersama Ketua MA Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua KY Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009.

Ia menilai, proses Pemeriksaan yang dilakukan terlalu waktu singkat dan terkesan terburu-buru. Dalam perkara a quo dilakukan hanya dalam waktu kurang dari tiga hari dari tanggal 27 Mei 2024 sejak didistribusikan hingga pembacaan putusan pada tanggal 29 Mei 2024.

"Didapati adanya dugaan kuat bahwa perkara a quo menjadi perkara prioritas yang didahulukan dan diistimewakan dibanding dengan perkara-perkara yang lain yang diajuakan ke MA. Sehingga hakim terkesan tidak independen diduga melanggar asas Imparsialitas (ketidakberpihakan) dan tidak berintgitas," kata Abdul saat ditemui di Kantor KY, Jakarta Pusat, Senin (3/6/2024).

Lebih lanjut, Gradasi juga menganggap Putusan MA itu problematik karena memperluas tafsiran Pasal 4 Ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 yang pada pokoknya berbunyi “Sejak Ditetapkan Menjadi Calon” diubah menjadi “Sejak Pelantikan”.

Menurut Abdul, putusan itu menimbulkan ketidak pastian hukum dan fatal dalam memahami logika hukum.

"Melampaui kewenangannya, secara teoritis dan normatif bukan kewenangan MA melainkan open legal policy sehingga seolah-olah putusan ini dipaksakan dan melampaui kewengannya," tegasnya.

Gradasi juga menyoroti tidak adanya relevansi konstitusional materiil yang diujikan dalam perkara tersebut.

"Serta tidak adanya validasi kepastian hukum karena disandarkan pada sesuatu yang tidak pasti pula sehingga putusan ini inkontitusional," imbuh Abdul.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us