Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan Dibahas 4 Bulan Lagi

IDN Times/Indiana Malia

Jakarta, IDN Times - DPR tengah menghadapi masa transisi kepengurusan dari tahun 2018 ke tahun 2019. Hal itu menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Pasalnya, RUU PKS terancam tak bisa disahkan.

"Kami memang melihat ada kekhawatiran RUU PKS ini tidak akan disahkan pada periode ini. Tetapi dalam sebuah pertemuan kemarin di salah satu stasiun televisi, ketua RUU PKS sudah menjanjikan ini akan dibahas 4 bulan ke depan. Kami pegang pernyataan itu," ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Azriana R. Manalu, saat ditemui IDN Times di Taman Aspirasi, Jakarta Pusat, Sabtu (8/12).

1. DPR harus ada langkah nyata

IDN Times/Indiana Malia

Oleh sebab itu, kata Azriana, ratusan aktivis hari ini turun ke jalan guna mendorong dan memantau agar pernyataan ketua panja RUU PKS ditepati. Pagi tadi, ratusan aktivis perempuan melakukan pawai akbar "Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)" di kawasan Sarinah hingga Taman Aspirasi.

Tak hanya membawa spanduk, ratusan aktivis pro perempuan tersebut juga membunyikan peluit dan kentongan sebagai simbol darurat kekerasan seksual. "Saya rasa ini salah satu langkah yang dilakukan untuk mengingatkan DPR dan pemerintah. Ada persoalan penting yang harus segera diselesaikan," kata Azriana.

Menurut dia, korban kekerasan seksual terus berjatuhan. Tak cukup hanya menyatakan keprihatinan untuk korban, melainkan harus ada satu langkah nyata dan segera untuk memberikan perlindungan hukum bagi para korban.

2. Isu kekerasan seksual kerap dilihat dari kerangka agama

IDN Times/Indiana Malia

Menurut Azriana, salah satu penyebab lambatnya pengesahan RUU PKS adalah isu kekerasan seksual lebih banyak dilihat dari kerangka agama dan moralitas. Ada kekhawatiran-kekhawatiran yang kemudian dimunculkan, padahal tidak termuat di dalam RUU tersebut.

"Jadi kekhawatiran (anggota DPR) yang dibangun sendiri digunakan untuk tidak segera membahas RUU PKS ini. Misalnya, RUU ini dianggap akan merusak perkawinan, bahkan mengatur sampai di ranah kekerasan dalam perkawinan," kata Azriana.

Padahal, lanjut dia, RUU PKS tidak mengatur hal itu lantaran sudah ada dalam UU Penghapusan KDRT. Dengan demikian, RUU PKS hanya mengatur hal-hal yang belum ada di undang-undang lainnya.

3. DPR harus bisa membuka ruang lebih luas

IDN Times/Indiana Malia

Menurut Azriana, RUU PKS dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual untuk bisa mendapatkan hak-haknya. Dia menilai, kekhawatiran-kekhawatiran yang dibangun oleh sebagian anggota DPR-lah yang membuat proses pengesahan berjalan amat lamban.

"Harusnya DPR bisa membuka ruang yang lebih luas untuk mendiskusikan RUU ini di internal mereka sehingga gak perlu memperlihatkan kekhawatiran akibat gak paham RUU itu kepada masyarakat. Jadi jangan membangun ketakutan terus tapi tidak berusaha membicarakannya dengan badan legislatif yang sudah melalui proses pembahasan," kata Azriana.

4. Kekerasan seksual terus meningkat setiap tahun

IDN Times/Indiana Malia

Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan terus naik setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus, melonjak jauh dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 259.150 kasus. Sebagian besar data tersebut bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR).

5. Pelaku kekerasan paling banyak adalah orang terdekat

IDN Times/Indiana Malia

Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal yang mencapai angka 71 persen atau 9.609 kasus. Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan 31 persen di antaranya mengalami kekerasan seksual.

Dari 31 persen itu, kasus paling tinggi adalah perkosaan inses. Dari kekerasan seksual inses, paling banyak pelakunya adalah pacar, ayah kandung, ayah tiri, suami. Sementara, perkosaan yang dilakukan kakak kandung sebesar 58 kasus.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Isidorus Rio Turangga Budi Satria
EditorIsidorus Rio Turangga Budi Satria
Follow Us