RUU Perampasan Aset: Jalan Panjang dari Era SBY, Jokowi sampai Prabowo

- RUU Perampasan Aset pertama kali disusun pada 2008 dan sudah melalui proses panjang sejak pertama kali muncul pada 2010.
- Draf RUU Perampasan Aset telah dibawa ke DPR sejak April 2023, namun pembahasannya tertunda karena tahun politik dan fokus kampanye pemilu legislatif.
- Presiden Jokowi menegaskan urgensi pembahasan RUU tersebut, merespons langkah cepat DPR RI yang membatalkan revisi Undang-Undang Pilkada setelah menuai kritik publik.
Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) termasuk salah satu tuntutan jangka panjang dalam inisiatif "17+8 Tuntutan Rakyat" yang diinisiasi sejumlah pegiat media sosial dan masyarakat.
Tuntutan yang disampaikan saat demonstrasi besar-besaran akhir Agustus lalu ini bersifat sistematis, dan ditujukan untuk ditagih kepada pemerintahan dan DPR, dengan tujuan memperkuat pemberantasan korupsi, serta memulihkan aset hasil tindak pidana secara transparan dan profesional.
Dalam perjalanannya, RUU ini menempuh jalan politik berliku, sejak pertama kali diusulkan lebih dari satu dekade lalu. Dari tarik-menarik kepentingan politik, resistensi lembaga, hingga janji reformasi hukum, nasib rancangan undang-undang ini terus digantung tanpa kepastian nyata.
RUU Perampasan Aset jadi rancangan beleid terpanjang yang belum disahkan, mandek 17 tahun. RUU ini sejatinya sudah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2003. Kemudian pada era Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2020, RUU ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, namun hingga berganti ke pemerintahan Prabowo Subianto, RUU ini belum juga disahkan.
Belakangan, demonstrasi yang terjadi akhir Agustus lalu di Gedung DPR, juga menyuarakan soal pengesahan RUU Perampasan Aset. Secara substansi, beleid ini punya kekuatan sebagai alat negara untuk mengembalikan kerugian yang ada atau recovery asset yang berdampak pada meminimalisasi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Berikut adalah rangkuman perjalanan panjang RUU Perampasan Aset yang hingga saat ini belum juga disahkan sebagai undang-undang, namun hanya bolak-balik masuk ruang rapat parlemen.
1. RUU Perampasan Aset bolak-balik masuk Prolegnas DPR

Indonesia Corruption Watch (ICW) menjelaskan dalam catatannya bahwa naskah RUU Perampasan Aset pertama kali disusun pada 2008. RUU ini sudah melalui proses panjang sejak pertama kali muncul pada 2010. Dalam Prolegnas 2015-2019, RUU tersebut sempat masuk daftar, tetapi tak pernah dibahas karena tidak termasuk prioritas DPR.
Upaya serupa dilakukan lagi pada periode Prolegnas 2020–2024, ketika pemerintah mengusulkan agar RUU ini masuk daftar 2020, namun ditolak DPR. Barulah pada 2023, pemerintah dan DPR mencapai kesepakatan untuk menempatkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas tahun itu.
2. Draf masuk DPR tapi pembahasan tertunda
Draf RUU Perampasan Aset telah dibawa ke DPR pada April 2023. Namun pembahasannya tertunda, salah satunya karena tahun politik, dan banyak anggota legislatif yang fokus kampanye pemilu legislatif (Pileg).
Presiden Jokowi resmi mengirim Surat Presiden (Surpres) tentang RUU ini ke DPR sejak 4 Mei 2023. Surpres itu merespons desakan dari sejumlah anggota parlemen yang menepis mereka jadi penyebab mandeknya RUU Perampasan Aset.
Kala itu, Ketua DPR Puan Maharani sadar pembahasan RUU Perampasan Aset penting, tetapi ia mengingatkan, pembahasan undang-undang tidak bisa dilakukan secara terburu-buru agar hasilnya maksimal.
"Kami menyadari hal tersebut sangat urgent. Kami pun juga berpendapat hal itu segera diselesaikan. Masukan dan tanggapan dari masyarakat, kemudian hal-hal lain yang harus kami cermati itu juga menjadi sangat penting," ungkap Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 20 Juni 2023.
3. Jokowi sempat mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset

Pada 27 Agustus 2024, Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara soal RUU Perampasan Aset. Ia menegaskan urgensi pembahasan RUU tersebut, merespons langkah cepat DPR RI yang membatalkan revisi Undang-Undang Pilkada setelah menuai kritik publik.
Jokowi berharap pola respons serupa juga bisa diterapkan pada isu-isu lain yang mendesak, termasuk RUU Perampasan Aset.
"Respons yang cepat adalah hal yang baik, sangat baik dan harapan itu juga bisa diterapkan untuk hal-hal yang lain juga, yang mendesak. Misalnya, seperti RUU Perampasan Aset," kata Jokowi dalam keterangan yang disampaikan melalui YouTube Sekretariat Presiden pada 27 Agustus 2024.
Jokowi menyebut, RUU Perampasan Aset krusial untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
4. Puan sempat akui RUU Perampasan Aset belum dibahas
Pada Februari 2024, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan RUU Perampasan Aset belum dibahas di parlemen. Ketika itu, ia beralasan parlemen menunggu RUU lain selesai dibahas lebih dulu.
"Di DPR sesuai dengan tata tertibnya memang ada setiap komisi itu akan membahas dua undang-undang. Kalau kemudian dua pembahasan undang-undang itu sudah selesai, baru kemudian komisi tersebut mengusulkan untuk membahas undang-undang yang selanjutnya," ujar Puan pada awal Februari 2024.
"Jadi tentu saja kami menunggu dulu bagaimana posisi dari pembahasan undang-undang di komisi yang terkait," lanjut Ketua DPP PDIP itu.
Namun, hingga di penghujung 2024, RUU Perampasan Aset belum juga dibahas. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menjelaskan, muatan materi yang akan dituangkan dalam RUU Perampasan Aset masih memerlukan pengkajian mendalam.
5. Masuk Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029

Memasuki akhir 2024, RUU Perampasan Aset akhirnya masuk Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029. Rapat paripurna DPR telah menyepakati 41 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2025, dan 176 RUU ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029. Salah satunya adalah RUU Perampasan Aset.
"Ketika kita perdalam, memang itu tidak masuk dalam bagian tindak pidana korupsi. Jadi perampasan aset itu bagian dari pada dengan pidana pokoknya adalah pidana umum," kata Bob Hasan saat ditemui di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 19 November 2024.
Kala itu, Bob Hasan mengatakan, RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas Prioritas karena DPR tak mau terburu-buru membahasnya. Sebab, RUU ini harus disusun dengan baik.
"Jadi ada beberapa pertimbangan dalam hal muatan materi ini sebagai drafnya itu harus benar-benar disesuaikan dengan ekspektasi dari pada masyarakat," kata dia.
6. Pemerintah tunggu inisiatif DPR
Pada awal 2025, pemerintah mengumumkan RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas DPR, dan menunggu DPR mengambil inisiatif.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendral, mengatakan posisi pemerintah sudah mendukung, tinggal di tangan DPR. Pemerintah pun mulai roadshow melobi ke fraksi-fraksi dan pimpinan partai politik, termasuk Menkumham yang siap mengajukan usulan jika mendapat lampu hijau.
Yusril mengatakan pemerintah saat ini masih menunggu DPR RI, apakah akan merevisi draf yang sudah dibahas pada periode sebelumnya atau tidak. Dia juga menegaskan pemerintah tidak akan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset.
Namun, usai adanya gelombang demonstrasi pada akhir Agustus lalu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menyatakan, belum ada pembahasan RUU Perampasan Aset. Baleg masih fokus menyelesaikan sejumlah RUU yang masuk daftar Prolegnas.
Adapun, RUU Perampasan Aset turut menjadi salah satu tuntutan demonstrasi yang berlangsung di Jakarta dan hampir kota-kota besar di Indonesia dalam sepekan terakhir ini.
"Belum. Sekarang ini kita bicara prolegnas yang ada," kata Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 2 September 2025.
7. Prabowo disebut sudah beberapa kali minta DPR bahas RUU Perampasan Aset

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea mengungkapkan Presiden Prabowo berjanji akan melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset. Janji tersebut disampaikan Prabowo saat bertemu dengan pimpinan partai politik, tokoh lintas agama, dan pimpinan serikat buruh di Istana, Jakarta, Senin, 1 September 2025.
"Beliau berjanji, yang pertama, RUU Perampasan Aset segera dibahas," ujar Andi Gani di Istana, Senin malam.
Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, menegaskan komitmen parlemen untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, proses pembahasan RUU ini akan bersinggungan dengan sejumlah regulasi lain, sehingga DPR perlu melakukan sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) maupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pernyataan itu disampaikan Saan saat menerima audiensi perwakilan aliansi dan organisasi mahasiswa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 3 September 2025.
"Terkait dengan legislasi, akan mempercepat, khususnya pembahasan RUU Perampasan Aset. Selain itu, ada RUU lain PPRT, Masyarakat Adat atau yang lainnya. Tapi dari semua, titik tekanannya adalah terhadap RUU Perampasan Aset, ya. Tentu DPR berkomitmen untuk membahas dan menyelesaikan ini," ujar politikus Partai NasDem itu.
Sementara, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra, mengklaim Presiden Prabowo sudah beberapa kali mengupayakan agar DPR bisa membahas RUU Perampasan Aset sesegera mungkin.
"Pak Presiden pun sudah beberapa kali juga menegaskan supaya DPR segera membahas RUU itu," kata dia, di Istana, Kamis (4/9/2025).
Yusril mengatakan, sudah ada koordinasi dengan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas untuk mendorong RUU Perampasan Aset bisa masuk Prolegnas periode 2025-2026.
"Sedang menunggu keputusan, apakah akan diambil inisiatifnya oleh DPR. Nantinya, jika hal itu memang disepakati, DPR silakan mempersiapkan RUU Perampasan Aset itu yang dulu sebenarnya sudah pernah diajukan oleh pemerintah pada masa Pak Jokowi, dan pemerintah siap untuk membahas itu, dan tergantung nanti siapa yang ditunjuk oleh Pak Presiden untuk membahas RUU Perampasan Aset itu," ujar dia.