Selain Kasus Hasyim, Ada 54 Kekerasan Seksual Terkait Pemilu pada 2023

- KMPKP mencatat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu, dengan 54 laporan tindakan asusila dan pelecehan seksual ke DKPP pada tahun 2023.
- Berdasarkan temuan dari Kalyanamitra, ditemukan pemaksaan perkawinan bermotif kepentingan pemilu di Sulawesi Selatan, serta faktor dan akar kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024.
Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mencatat kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada 2023, jumlah laporan perbuatan asusila dan pelecehan seksual ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berjumlah 54.
Terbaru bahkan DKPP memecat Hasyim Asy'ari dari jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dia dipecat imbas tindakan asusila terhadap seorang perempuan berinisial CA yang merupakan Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).
“Pada periode tahun 2017-2022, terjadi 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP. Kemudian pada tahun 2022-2023, terdapat empat kasus. Sedangkan pada tahun 2023 meningkat tajam sebanyak 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan ke DKPP,” tulis KMPKP, dikutip Selasa (9/7/2024).
1. Perempuan alami kekerasan seksual hingga perkawinan bermotif kepentingan

Berbagai kasus tersebut terdiri dari pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual di ranah privat maupun publik.
“Bahkan berdasarkan temuan dari Kalyanamitra, misalnya terdapat pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu juga ditemukan di Sulawesi Selatan,” kata KMPKP.
2. Akarnya bisa dari ideologi patriarki hingga norma gender

Berdasarkan studi yang dirilis Kalyanamitra pada 24 Juni 2024, ditemukan faktor dan akar kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 adalah adanya ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender dan ketimpangan relasi kekuasaan. Kemudian kurangnya kesadaran, pendidikan, regulasi dan perlindungan, serta impunitas.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu memang berpotensi menjadi ruang yang rawan bagi perempuan. Dalam suatu sistem pemilu, adanya hierarki antar penyelenggara, serta posisi timpang antara penyelenggara dengan para pihak yang terlibat dalam pemilu dapat membentuk suatu posisi relasi kuasa. Posisi tersebut membuat penyelenggaraan pemilu menjadi satu potensi tempat terjadinya kekerasan berbasis gender,” tulis KMPKP.
3. Pemilih perempuan hingga kandidat perempuan jadi korban

Studi ini juga mengungkapkan korban atau sasaran kekerasan berbasis gender dalam pemilu terbagi dalam beberapa kelompok. Mulai dari pemilih perempuan dan kelompok rentan, LSM, akademisi, jurnalis, advokat masyarakat hingga elawan, penyelenggara pemilu dan kandidat perempuan.