Sidang Eks Petinggi ACT Digelar Virtual, Ahyudin cs Dengarkan Dakwaan

Jakarta, IDN Times - Sidang perdana kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan tiga terdakwa yakni mantan Presiden ACT Ahyudin, Presiden ACT periode 2019-2022, Ibnu Khajar dan eks Senior Vice President Operational ACT Hariyana Hermain digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022).
Tiga mantan petinggi ACT itu didakwa menggelapkan dana bantuan untuk keluarga korban kecelakaan Pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 nomor penerbangan JT 610. Ketiganya mendengarkan dakwaan dari balik tahanan Bareskrim Polri.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu," ucap jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
1. ACT didakwa selewengkan dana korban Lion Air

Adapun perkara ini bermula ketika The Boeing Company atau perusahaan penyedia pesawat Boeing menyalurkan dana sebesar 25 juta dollar Amerika Serikat (AS) sebagai bentuk Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) bagi keluarga atau ahli waris korban kecelakaan Lion Air nomor penerbangan 610 tersebut.
Pesawat berjenis Boeing 737 Max 8 milik Lion Air itu jatuh pada 29 Oktober 2018 yang mengakibatkan 189 penumpang dan kru tewas setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta.
Selain itu, Boeing juga memberikan dana sebesar 25 juta dollar AS sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan.
Dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
Masing-masing ahli waris korban Lion Air 610 mendapatkan santunan dari Boeing sebesar 144.320 dollar AS atau senilai Rp2 miliar. Selain itu, ahli waris juga mendapatkan dana santunan berupa dana sosial BCIF yang dikelola oleh ACT.
"Pihak Yayasan ACT menghubungi keluarga korban dan mengatakan bahwa Yayasan ACT telah mendapatkan amanah (ditunjuk) dari Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari Boeing," jelas jaksa.
Lebih lanjut, pihak keluarga korban kecelakaan Lion Air itu diminta untuk menyetujui agar ACT dapat mengelola dana sosial dari BCIF sebesar 144.500 dollar AS.
Yayasan ACT mengaku bahwa dana itu akan digunakan untuk membangun fasilitas sosial yang ditujukan kepada penerima manfaat atas rekomendasi dari ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 tersebut.
2. ACT didakwa gunakan Rp138 miliar dana korban Lion Air

JPU mengungkapkan bahwa ACT telah menggunakan dana bantuan dari Boeing tidak untuk peruntukannya.
"Dana BCIF tersebut digunakan oleh terdakwa tidak sesuai dengan implementasi Boeing dan malah digunakan bukan untuk kepentingan pembangunan fasilitas sosial sebagaimana yang ditentukan dalam protokol BCIF," kata JPU.
Jaksa mengungkapkan bahwa Yayasan ACT telah menerima dana dari BCIF Rp138.546.388.500. Akan tetapi, dana bantuan untuk keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air itu hanya diimplementasikan sebesar Rp20.563.857.503.
Jika dirinci total dana yang terimplementasi Yayasan ACT sebagaimana proyek Boeing sesuai perjanjian kerja sama (PKS) sebesar Rp18.188.357.502. Kemudian ACT melakukan pembayaran proyek Boeing atas nama Lilis Uswatun Rp2.375.000.001 dan pembayaran proyek Boeing atas nama Francisco Rp500.000.000.
Sementara itu, rincian uang senilai Rp117.982.530.997 yang digelapkan para terdakwa meliputi 22 item pembayaran sebagai berikut:
1. Pembayaran gaji dan THR karyawan dan relawan sebesar Rp33.206.008.836
2. Pembayaran ke PT Agro Wakaf Corpora sebesar Rp14.079.425.824
3. Pembayaran ke Yayasan Global Qurban sebesar Rp11.484.000.000
4. Pembayaran ke Koperasi Syariah 212 sebesar Rp10.000.000.000
5. Pembayaran ke PT Global Wakaf Corpora sebesar Rp8.309.921.030
6. Tarik tunai individu sebesar Rp7.658.147.978
7. Pembayaran untuk pengelola sebesar Rp6.448.982.311
8. Pembayaran tunjangan pendidikan sebesar Rp4.398.039.690
9. Pembayaran ke Yayasan Global Zakat sebesar Rp3.187.549.852
10. Pembayarran ke CV Cun sebesar Rp3.050.000.000
11. Pembayaran program sebesar Rp3.036.589.272
12. Pembayaran ke dana kafalah sebesar Rp2.621.231.275
13. Pembelian kantor cabang sebesar Rp1.909.344.540
14. Pembayaran ke PT Trading Wakaf Corpora sebesar Rp1.867.484.333
15. Pembayaran pelunasan lantai 22 sebesar Rp1.788.921.716
16. Pembayaran ke Yayasan Global Wakaf sebesar Rp1.104.092.200
17. Pembayaran ke PT Griya Bangun Persada sebesar Rp946.199.528
18. Pembayaran ke PT Asia Pelangi Remiten sebesar Rp188.200.000
19. Pembayaran ke Ahyudin sebesar Rp125.000.000
20. Pembayaran ke Akademi Relawan Indonesia sebesar Rp5.700.000
21. Pembayaran lain lain sebesar Rp945.437.780
22. Dana tidak teridentifikasi sebesar Rp1.122.754.832
Atas perbuatan tersebut, Ahyudin, Ibnu, dan Hariyana didakwa melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Ahyudin tidak mengajukan eksepsi

Ahyudin memilih untuk tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
"Terdakwa tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, I Ketut Sumedana, melalui keterangan tertulis, Selasa, (15/11/2022).
Dengan demikian, Sidang terhadap pendiri Yayasan ACT itu akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU pada Selasa pekan depan.
Sementara itu, dua terdakwa lainnya Ibnu Khajar dan Hariyana binti Hermain memilih untuk mengajukan eksepsi atas dakwaan yang telah dibacakan oleh jaksa.
"Sidang dilanjutkan pada 22 November 2022 dengan agenda pembacaan nota keberatan atau eksepsi," jelas Ketut.