Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sulitnya Rakyat Kecil Dapat Tanah, Reforma Agraria Cuma Jargon?

Petani di desa Pragak kecamatan Parang menunjukkan padinya yang terserang potong leher. IDN Times/ Riyanto.
Petani di desa Pragak kecamatan Parang menunjukkan padinya yang terserang potong leher. (IDN Times/Riyanto.)

Jakarta, IDN Times - Rakyat kecil sulit mendapatkan tanah, tetapi jika korporasi dan pemerintah membutuhkan tanah, semuanya menjadi mudah. Demikian disampaikan anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan mengawali Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan, yang diselenggarakan Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025).

Hadir dalam acara tersebut, Ketua Dewan Penasihat GREAT Institute, Moh. Jumhur Hidayat; Dr. Yagus Suyadi dari Bank Tanah; Dr Agung Indrajit dari Otorita IKN; Prof. Budi Mulyanto dari IPB; Dr. Lilis Mulyani dari BRIN; Dewi Kartika dari KPA; peneliti Great Institute, Ir Hendry Harmen; serta Arwin Lubis yang merupakan aktivis pertanahan sejak 1980-an.

1. Peraturan dan distribusi kepemilikan tanah dianggap berantakan

Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan, yang diselenggarakan Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025).  (Dok Great Institute)
Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan, yang diselenggarakan Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025). (Dok Great Institute)

Ketimpangan kepemilikan tanah, menurut Irawan, disebabkan karena peraturan dan distribusi kepemilikan berantakan.

“Semua ini ekses dari hak negara untuk menguasai tanah. Peraturan dibuat sepihak, dan ATR/BPN pun tidak punya otoritas penuh. Ada tanah yang masih masuk kawasan hutan, padahal masyarakat sudah menempati jauh sebelum republik ini berdiri,” kata Ahmad.

Ia menekankan, ada 2.350 desa yang secara legal berada di kawasan hutan dan warganya terus diperlakukan bak pendatang di tanah leluhurnya sendiri.

“Kalau korporasi butuh tanah, pemerintah selalu memberi jalan. Tapi kalau rakyat, selalu serba sulit.” Lebih jauh, ia menegaskan, hingga 21 April 2025 capaian Reforma Agraria pemerintah masih nol. “Yang paling penting adalah kepastian hukum,” ujarnya.

2. Ketimpangan kepemilikan tanah

Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan, yang diselenggarakan Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025).  (Dok Great Institute)
Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan, yang diselenggarakan Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025). (Dok Great Institute)

Jumhur dalam pembukaannya menyoroti soal ketimpangan kepemilikan tanah.

“Ketimpangan kepemilikan tanah kita parah sekali. Indeks Gini penguasaan tanah mencapai 0,78. Ada satu orang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani justru tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani. Di sisi lain, penggusuran terhadap tanah rakyat masih terus berlangsung,” kata dia.

Jumhur menyebut, forum ini terbuka, egaliter, dan bebas, dengan semangat merdeka dalam riset dan dialog.

“Mumpung presiden kita sekarang, Pak Prabowo Subianto, presiden yang cerdas dan berkerakyatan,” sambung dia.

3. Bank Tanah dinilai bagian dari masalah

Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan, yang diselenggarakan Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025).  (Dok Great Institute)
Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan, yang diselenggarakan Great Institute di Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025). (Dok Great Institute)

Dr. Yagus Suyadi dari Bank Tanah menjelaskan soal tata kelola lembaganya. Namun, sejumlah peserta justru mempertanyakan peran dan keberpihakan Bank Tanah. Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menyebut Bank Tanah bagian dari masalah pertanahan.

“Bank Tanah ini bagian dari masalah, bukan solusi. Ia lahir dari Ciptaker, dan mencampuradukkan Reforma Agraria dengan urusan pengadaan tanah untuk korporasi besar,” kata dia.

Menurut Dewi, Reforma Agraria bukan sekadar redistribusi administratif, melainkan perubahan struktur kepemilikan tanah. Ia menyinggung program food estate sebagai politik pangan yang salah arah: timpang, penuh ketidakadilan.

“Padahal Reforma Agraria justru punya hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan, tanah tidak boleh jadi alat penindasan manusia terhadap manusia,” kata dia.

Sementara, Dr. Agung Indrajit dari Otorita IKN memaparkan perspektif teknologi. Ia merujuk pada Land Administration Domain Model (LADM) sebagai pendekatan digital, untuk mengurangi asimetri informasi dalam pertanahan.

“Tanah tidak sekadar soal administrasi atau regulasi, tapi juga data yang harus transparan, interoperable, dan bisa mengurangi permainan informasi,” ujarnya.

4. Hak ulayat dianggap terus melemah akibat regulasi sektoral

Tanaman tomat petani di Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidorejo, Magatan membusuk. IDN Times/ Riyanto.
Tanaman tomat petani di Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidorejo, Magatan membusuk. (IDN Times/ Riyanto.)

Tak kalah penting, Dr. Lilis Mulyani dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti soal hak ulayat yang terus melemah akibat regulasi sektoral.

“Masyarakat adat sudah lama jadi korban. Reforma agraria seharusnya bukan hanya redistribusi tanah, tapi juga penguatan hak ulayat yang tergerus oleh regulasi kehutanan maupun perkebunan,” katanya.

Di sisi lain, Agustiana, Sekjen Serikat Petani, mempertegas suara petani tentang Reforma Agraria yang seharusnya berdampak baik bagi masyarakat petani.

“Bagi petani, Reforma Agraria bukan sekadar jargon. Ini soal hidup-mati. Selama tanah terkonsentrasi di segelintir orang, petani akan tetap miskin, dan negara kehilangan dasar kedaulatan pangannya,” kata dia.

5. Problem agraria bukan hanya di pedesaan

Petani saat menunjukkan lahan sawah yang terbengkalai di Sukabumi (IDN Times/Istimewa)
Petani saat menunjukkan lahan sawah yang terbengkalai di Sukabumi (IDN Times/Istimewa)

Tak hanya itu, problem agraria bukan hanya di pedesaan. Ir. Hendry Harmen dari Great Institute mengingatkan Reforma Agraria juga harus hadir di perkotaan. Ia menyinggung backlog perumahan yang mencapai 12,7 juta unit, 400 lebih RW kumuh menampung 1,2 juta jiwa, dan harga lahan di Jakarta Pusat yang menembus Rp150 juta per meter persegi.

“Reforma Agraria perkotaan harus menjawab hak atas hunian layak, bukan hanya tanah pertanian. Pekerja informal paling rentan, sementara skema KPR formal tak bisa mereka akses,” kata dia.

Sedangkan Arwin Lubis menyampaikan gagasan strategis terkait rencana pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA). Ia mengingatkan, UUPA 1960 menegaskan tanah bukan milik raja atau negara, melainkan rakyat.

“Negara tidak bisa menjual tanah. Negara hanya boleh mengambil bea atas layanan keagrariaan,” katanya.

6. BPRA agar dibentuk langsung di bawah Presiden

WhatsApp Image 2025-10-01 at 20.42.33 (1).jpeg
FGD Reforma Agraria

Awin Lubis mengusulkan agar BPRA dibentuk langsung di bawah Presiden dengan struktur ramping, tapi memiliki satu deputi khusus: Deputy Tafsir Tegas. Tujuannya agar tak ada lagi tafsir ganda antara ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan lembaga lain yang membuat pelaksanaan Reforma Agraria berlarut-larut.

“Kita sudah terlalu lama menunggu. Ada tanah-tanah eks HGU yang habis sejak puluhan tahun lalu, tapi distribusinya tak terdengar,” ujar Arwin.

Ahmad Irawan menambahkan Pansus BPRA harus pansus besar, yang melibatkan berbagai Komisi di DPR RI. Dia menilai BPRA dapat menyelesaikan tumpang tindih berbagai peraturan mengenai agraria.

Irawan yakin BPRA dapat diimplementasikan secepatnya, mengingat Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco menunjukkan komitmen besar dalam pembentukan BPRA.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

Singapura Tolak Masuk Aktivis Prodemokrasi Hong Kong, Kenapa?

02 Okt 2025, 09:09 WIBNews