26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JK

Throwback setelah 18 tahun pasca-tsunami Aceh

IDN Times, Jakarta – “Sehari sesudah gempa bumi dan tsunami meluluh-lantakkan sebagian wilayah Aceh. Kami tiba di Lambaro, sekitar 20 menit dari Bandara Sultan Iskandar Muda mengarah ke pendopo gubernuran di tengah kota Banda Aceh. Saya lihat Menteri Sri Mulyani menangis. Uni Lubis bercucuran air mata sambil menyorotkan handycam-nya.”

Jusuf Kalla menuturkan pengalaman tragedi kepada penulis Fenty Effendy yang memuatnya dalam buku berjudul “Ombak Perdamaian: Inisiatif dan Peran JK mendamaikan Aceh. Buku itu diluncurkan pada peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh, 26 Desember 2014.

Pak JK, saat itu wakil presidennya Pak Jokowi, mengajak saya menghadiri peluncuran buku itu, yang berlangsung di Pendopo Gubernuran di Banda Aceh. Tawaran mendadak di pagi hari yang bikin saya terharu, karena Pak JK mengingat kehadiran saya bersama dia, 27 Desember 2004, tepat sehari sesudah tsunami yang membuat Banda Aceh, Meulaboh, Nias, dan sejumlah kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam, luluh-lantak.

Dengan menyesal, saya terpaksa menolak ajakan Pak JK, karena terlanjur berjanji memberikan pelatihan untuk Sekolah Jurnalistik Indonesia di Semarang.

Melihat ribuan mayat disusun berjajar di kedua sisi jalan di kawasan Lambaro, JK mengaku hampir menangis. “Sebenarnya saya juga mau pingsan waktu itu, astagfirullah, astagfirullah,” kata JK berkali-kali.

Hari ini, 26 Desember 2022, genap 18 tahun tsunami di Aceh. Peristiwa bencana alam terbesar dengan korban paling besar dalam 50 tahun terakhir. Sekitar 180 sampai 200 ribu orang tewas, tak ada yang tahu persis jumlahnya. Soal data, negeri ini tergolong payah.

Berikut kisah yang tak pernah saya lupakan dan menjadi tonggak penting dalam karier jurnalistik saya. Membentuk tebal rasa empati yang menjadi misi mulia dalam profesi yang saya tekuni selama tiga dekade.

Baca Juga: Sejak Bencana Tsunami Aceh, 26 Desember Jadi Hari Pantang Melaut

1. Saat gempa dan tsunami Aceh terjadi, sikap waspada bencana masih lemah, termasuk di kalangan media

26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JKMuseum Tsunami Aceh (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Minggu, 26 Desember 2004, seperti layaknya akhir pekan, warga dalam weekend mood. Jurnalis seperti saya juga. Setelah bekerja keras selama enam hari, tiba saatnya untuk leyeh-leyeh. Saat itu belum berlaku libur kerja dua hari seminggu.

Tak ada yang menaruh perhatian lebih kepada informasi yang disiarkan stasiun televisi asing, CNN, bahwa ada gempa bumi dengan kekuatan 9,3 Skala Richter, dengan pusat gempa di Samudera Hindia Belanda.

Televisi menyiarkan program secara normal. Dari acara jalan-jalan sampai ragam topik ringan lain. Siaran berita tak menonjolkan peristiwa gempa. Harap diingat, saat itu informasi soal gempa belum seperti saat ini. Sikap waspada terhadap bencana nyaris tidak ada di kalangan masyarakat umum, termasuk media.

Gara-gara sikap lengah ini, kemudian saya sempat terlibat debat dengan pengamat komunikasi dan pers saat itu, Effendy Ghazali, yang menyayangkan mengapa televisi tak merespons gempa bumi itu dengan cepat dan menjalankan program acara secara “business as usual”. Perdebatan itu dimuat di kolom surat pembaca Kompas.

Saat itu saya bekerja sebagai wakil pemimpin redaksi di stasiun televisi milik Kelompok Kompas Gramedia, TV7. Praktis tidak ada kabar lanjutan dari lokasi terdampak gempa. Kami pun tidak berusaha mencari tahu.

2. Makan malam dengan Wapres JK membuka peluang meliput langsung ke Banda Aceh

26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JKMuseum Tsunami Aceh (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Hari Minggu itu, malam harinya, saya hadir pada acara pertemuan pemimpin media dengan Wakil Presiden JK. Saya duduk berseberangan dengan JK. Acara itu digelar oleh editors club. Selama 12 tahun sejak 1999, saya menjadi titik kontak bagi teman-teman pemimpin redaksi dan wartawan senior yang bergabung dalam sebuah organisasi tanpa bentuk ini.

Kami sering berdiskusi soal banyak topik aktual, dengan narasumber terkait. Pak JK salah satu narasumber tetap. Sebelum meluncurkan sebuah kebijakan, biasanya dia akan menelepon saya minta bantuan mengontak teman-teman editors club untuk diskusi informal. Tidak jarang debat, karena sejumlah pemimpin media saat itu senior, seusia Pak JK.

Banyak juga pihak lain yang melakukan hal yang sama. Dari kalangan pejabat hingga lembaga swadaya masyarakat yang ingin berdiskusi dengan pemimpin media. Mengapa saya? Mungkin karena saat itu saya satu-satunya perempuan di situ, tergolong paling muda juga. Perempuan dianggap lebih telaten mengorganisasikan acara.

Saya lupa apa tema khusus malam itu, tapi itu adalah pertemuan pertama dengan Pak JK sebagai wakil presidennya Susilo Bambang Yudhoyono. Awalnya kami tidak membahas soal gempa dan tsunami di Aceh. Informasi dari sana praktis tidak ada.

Makan malam itu berlangsung di Klub Bimasena, Hotel Dharmawangsa, di kawasan Jakarta Selatan. Pak JK datang agak telat. Meja diatur memanjang. Jadi, jarak antara saya dan Pak JK cuma sekitar 1,2 meter.

Sekitar pukul 21.00 WIB, JK menerima telepon. Sesaat kemudian dia mengucap, “astagfirullah, astagfirullah.” Itu telepon dari Pak Sofyan Djalil, saat itu Menteri Komunikasi dan Informasi. Rupanya siang hari setelah informasi gempa, JK mengirim Sofyan Djalil, menteri yang berasal dari Aceh, untuk pergi ke Banda Aceh. Sofyan mengecek bagaimana situasi di lapangan. JK punya insting, dan heran kok tidak ada informasi dari lokasi?

JK terdiam sesaat setelah menerima telepon itu. Dia memanggil ajudan untuk mendekat.  Mereka bisik-bisik. “Besok pagi-pagi sekali saya ke Banda Aceh,” kata JK, kepada saya. Teman-teman yang duduk agak jauh tidak mendengar, sebagian masih makan. Sebagian ngobrol. Saya spontan berkata, “saya ikut ya Pak.” JK mengiyakan dan meminta saya berkumpul di Bandara Halim Perdana Kusumah, esok harinya, pukul 5 pagi.

Baca Juga: Mengenang Tsunami Aceh 15 Tahun Silam, Nelayan Aceh Libur Melaut 

3. JK menggunakan pesawat pribadinya untuk membawa rombongan pertama dari pemerintah pusat yang mendarat di Banda Aceh pasca-gempa dan tsunami

26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JKNama-nama korban tsunami berderet di menara Museum Tsunami Aceh. (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Senin, 27 Desember 2004, usai waktu subuh saya sudah berada di VIP Room, Base Ops Angkatan Udara di Bandara Halim PK. JK menyiapkan pesawat jet pribadinya, Atthirah, diambil dari nama ibu kandungnya, untuk mengangkut rombongan ke Banda Aceh. Bandara di sana rusak parah. Tak ada pesawat komersil yang berani mendarat.

Di dalam rombongan, ada empat menteri, yaitu Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Menteri Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asy’ari. Lainnya adalah staf di kantor wapres, termasuk staf dari Pasifik Satelit Nusantara, yang membawa beberapa perangkat telepon satelit.

Infrastruktur lumpuh, termasuk listrik dan telepon. Tapi, sebelum mendarat di sana, kami tidak membayangkan dahsyatnya dampak bencana itu.

Selain saya, dari media ada jurnalis Metro TV Najwa Shihab dan juru kameranya. Memang nasibnya bekerja di TV umum, bukan TV berita, jatah kursi di pesawat kepresidenan cuma satu.

Perjalanan itu direncanakan untuk pulang pergi. Jadi, rencananya kami kembali sore hari.  Tidak ada di antara kami yang membawa baju ganti.  Masing-masing hanya membawa tas kerja biasa, seperti mau ke kantor. Saya membawa kamera mini, handycam. Praktis dan tidak berat.

4. Mendarat di Banda Aceh, disambut bukti-bukti tragedi yang dahsyat tak terperi

26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JKSisa-sisa lumatan tsunami di Aceh. (Dok. Rappler)

Penerbangan langsung ke Banda Aceh memakan waktu hampir tiga jam. Saat mendarat di bandara, suasana lengang. Sepi. Landasan retak-retak. Sambutan untuk rombongan wapres kecil, hanya segelintir orang. Raut wajah duka, bingung. Lelah.

Keluar dari bandara, saya melihat sejumlah tenda pengungsi di seberang bandara. Warga berkumpul di sana. Jumlahnya ratusan. Perasaan saya mulai tidak enak. Hanya ada satu mobil, lusuh dan kusam yang disediakan untuk rombongan wapres. Kalau tidak salah minibus.

Kejadiannya sangat cepat. Pak JK dan rombongan menteri melesat berangkat meninggalkan bandara. Kami tersisa, tertinggal dan bingung. Bagaimana menyusul mereka?

Sebuah mobil bak terbuka lewat, saya cegat. Saya menumpang di bak belakang dan meminta sopir mengejar rombongan wapres. Beberapa kilometer dari bandara, mobil terhenti, di kawasan Jembatan Lambaro. Badan saya gemetar dan lemas. Di depan, kiri, kanan jalanan dan jembatan, ribuan mayat berserakan. Astagfirullah.

5. Saya menyaksikan Wapres JK menahan air mata saat menemui korban bencana gempa dan tsunami Aceh

26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JKPFI Aceh menggelar pameran foto bertajuk Tanah Retak dalam memperingati 15 tahun peristiwa Tsunami Aceh (IDN Times/Saifullah)

Saya pernah meliput tragedi berdarah di Ambon, 1999. Konflik berdarah di Sampit, Kalimantan Tengah, 2001. Melihat korban tewas karena segala sebab, dari dibacok hingga dipenggal. Sedih, kaget, membuat mual, dan ada rasa marah mengapa itu terjadi.

Di Lambaro, saat berupaya berdiri tegak di antara ribuan mayat korban tsunami, saya terhenyak. Mulut komat-kamit mengucap segala doa. Rasanya ingin menangis sekuat-kuatnya. Beberapa meter dari saya, ada JK dan rombongan. Bu Sri Mulyani meneteskan air mata. Pelan-pelan saya mengabadikan dahsyatnya dampak bencana. Tangan saya gemetar. 

Belakangan saya baru sadar, saya tak terganggu dengan bau yang muncul dari mayat-mayat yang dibungkus lumpur.

Saya berupaya fokus. Tapi air mata mengalir. Tidak ada persiapan sapu tangan, tisu basah, apalagi masker. Pelan-pelan saya berjingkat melewati tubuh-tubuh tak bernyawa. Ada seorang ibu mendekap erat bayinya. Mereka meninggal dunia bersama. Duh!

6. Wapres JK memimpin rapat darurat penanganan Gempa dan Tsunami Aceh di Pendopo Gubernuran

26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JKSehari sesudah tsunami Aceh, 26 Desember 2004, warga mencari anggota keluarga yang jadi korban. (Dok. Rappler)

Dari Lambaro, saya menyusul JK ke rumah sakit. Lagi-lagi kami disambut pemandangan memilukan. Korban selamat bergeletakan karena luka parah. Korban meninggal dunia dibungkus apa saja, dari kain sarung hingga tikar pandan yang berlumuran lumpur.

Di sana saya bertemu Pak Mar’ie Muhammad, Ketua Umum Palang Merah Indonesia. Pak Mar’ie dikirim Pak JK ke sana bareng Pak Sofyan Djalil.

Rombongan kemudian menuju ke Pendopo Gubernuran, yang alhamdulillah selamat.  Padahal bangunan-bangunan di sekitarnya banyak yang rusak parah. Pendopo ini tak begitu jauh dari Lapangan Blang Padang, alun-alun utama Banda Aceh.

Tiba di Pendopo, ratusan pengungsi bersesak-sesakan di halaman. Di selasar gedung.  Pak JK memimpin rapat darurat. Dia menelepon Presiden SBY yang saat itu berada di Papua untuk menghadiri acara Natal Bersama. Pak JK juga menelepon Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar agar segera mengerahkan segala kemampuan, termasuk pesawat Hercules, helikopter dan pasukan untuk menuju lokasi terdampak bencana.

Masih terguncang karena pengalaman meliput di Lambaro, saya mengikuti rapat itu. Untung ada Pak JK. Dia menjadi komandan yang efektif, dan percaya diri. Termasuk ketika kemudian meminta Pak Mar’ie Muhammad berkoordinasi dengan ulama agar ribuan mayat dapat segera dikuburkan dalam satu lubang raksasa di kawasan Lambaro. Kini menjadi makam monumen Lambaro.

Makan siang untuk rombongan wapres disajikan. Menunya nasi, sayur sop, dan emping.  Ada kecap. Hanya itu yang tersedia. Tak ada yang berselera makan. Termasuk Pak JK.

Saya dan Najwa Shihab kemudian meminjam telepon satelit dari petugas PSN. Kami melakukan laporan beeper by phone untuk stasiun televisi masing-masing. Laporan pertama dari wilayah terdampak bencana itu membuat ruang redaksi di seluruh media bergerak. Bencana ini dahsyat, dan bakal menyita energi peliputan sangat banyak dan panjang. Sebuah momentum penting bagi seluruh jurnalis dan media yang terlibat di dalamnya. Juga bagi negeri ini dan penanganan bencana.

7. Di Lapangan Blang Padang, saya merasakan dampak sebuah 'kiamat kecil'

26 Jam Pasca-Tsunami di Aceh, Menyaksikan Kiamat Kecil Bareng Pak JKAnggota tentara Australia membantu korban tsunami Aceh. (Dok. Rappler)

Setelah bertelepon, saya ikut Pak Mar’ie Muhammad ke Lapangan Blang Padang. Korban-korban selamat yang saya wawancarai di sekitar Pendopo mengatakan, kejadian gempa yang disusul tsunami itu bagaikan 'kiamat kecil'. Bikin pasrah, menganggap inilah akhir kehidupan. Dampaknya saya lihat di Lapangan Blang Padang. Rumah-rumah pejabat di sekitarnya rusak parah. Ribuan mayat dalam kondisi menyedihkan.

Ingatan saya melayang ketika Agustus 2003, saya membawa tim produksi TV7 menggelar Panggung Dangdut “Colak-Colek” di Lapangan Blang Padang. Kami membawa 30-an artis penyanyi dangdut top, termasuk Bunda Dorce. Ratusan ribu warga berjoget gembira sampai lewat tengah malam. Pengunjung meluber sampai ke jalan-jalan di luar lapangan.  Itu konser paling besar yang pernah dilakukan di provinsi yang disebut sebagai Serambi Mekah, provinsi yang puluhan tahun didera konflik.

Di Lapangan Blang Padang, 18 tahun lalu, saya menyaksikan sebuah roda kehidupan yang berputar. Ngeri. Tragis.

Sore harinya kami kembali. Sebelum meneruskan ke Jakarta, rombongan Wapres JK mampir di Bandara Polonia, Medan. Di sana JK memimpin rapat darurat lagi. Saya mengontak kantor memberi informasi situasi di lapangan. Itu adalah awal dari enam bulan bolak-balik ke Aceh meliput proses penanganan darurat sampai pemulihan. Pula mengorganisasikan penyaluran bantuan untuk korban dan mendirikan sekolah darurat di tenda-tenda untuk anak-anak yang jadi korban. Lengkap.

Saya juga menerima pesan telepon dari sejumlah pihak yang menonton laporan saya di TV7. Termasuk pengusaha Arifin Panigoro dan aktivis anti-korupsi, Teten Masduki. Dari informasi Teten kemudian pengusaha Susi Pudjiastuti yang memiliki usaha sewa pesawat kemudian menelepon saya.

The rest is history, Susi Air kemudian berhasil mendarat di Banda Aceh pada Rabu, empat hari sesudah tsunami. Dia membawa kru CNN. Wajah tragedi tsunami dahsyat itu menyebar ke seluruh dunia.

Pada 30 Desember 2004 saya kembali lagi dengan Pak JK ke Banda Aceh. Kali ini dengan persiapan lebih baik. Termasuk membawa peralatan siaran via satelit yang terurai. Protokol kantor wapres sempat menegur ketika melihat ada dua kotak besar, berisi peralatan siaran, masing-masing seberat 100 kilogram saya sertakan di bagasi pesawat.  "Gak boleh. Ini pesawat wapres, VVIP.”

Akhirnya boleh. Mungkin karena untuk kondisi darurat. Informasi penting disebarluaskan.

 

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: 5 Fakta Dahsyat Tsunami Aceh 15 Tahun Lalu, Gelombang Capai 30 Meter

Topik:

  • Rochmanudin
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya