Mengenang Kisah Dharsono, Jenderal Idealis Kritik Sukarno dan Soeharto

Dharsono merupakan mantan Panglima Divisi Siliwangi

Jakarta, IDN Times - Penulis Rum Aly meluncurkan buku berjudul 'Kisah Seorang Jenderal Idealis H.R. Dharsono'. Buku sejarah ini mengisahkan bagaimana perjuangan Hartono Rekso Dharsono sebagai Jenderal TNI yang kaya dengan berbagai gagasan.

Letnan Jenderal H.R. Dharsono dikenal sebagai tokoh idealis yang mengkritisi Orde Lama di bawah kekuasaan Sukarno. Bahkan dia ikut beperan menopang Soeharto untuk mengakhiri kekuasaan Sukarno. Sifat kritisnya tak berhenti sampai di situ, dia juga tetap idealis saat Orde Baru berkuasa.

Baca Juga: Kisah Seram Bukit Soeharto yang Simpan Sejarah Kelam di Zaman Jepang

1. Menggagas perombakan struktur politik dan kepartaian

Mengenang Kisah Dharsono, Jenderal Idealis Kritik Sukarno dan SoehartoH.R Dharsono bersama Soeharto (dok keluarga, buku Kisah Seorang Jenderal Idealis H.R. Dharsono)

H.R. Dharsono merupakan seorang pejuang dalam perang kemerdekaan dan menjadi panglima divisi fenomenal Siliwangi 1966 sampai 1969.

Sosoknya dikenal karena pemikirannya yang kaya gagasan tentang masa depan politik nasional, yang merupakan salah satu pondasi kehidupan bernegara. Namun sayang, gagasannya tentang pembaruan politik Indonesia justru kandas di kaki sebagian rekan-rekan militernya yang telah menjelma sebagai penguasa pragmatis, bersama kalangan penguasa politik kepartaian. 

Tak lain karena mereka semua sama-sama ingin mempertahankan status quo, demi kepentingan kekuasaan mereka masing-masing pasca-tumbangnya Sukarno.

Dalam buku tersebut, selain menuturkan sejumlah titik krusial dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945 sampai 1950, juga dijelaskan momen penting dalam sejarah kekuasaan di masa Indonesia merdeka. Salah satunya adalah proses pengakhiran kekuasaan Sukarno setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan PKI. 

Adapun separuh lebih dari topangan kekuatan Jenderal Soeharto dalam menghadapi Sukarno ada pada Jenderal H.R. Dharsono, yang kala itu menjadi Panglima Siliwangi. Posisi Divisi Siliwangi waktu itu amat strategis dan menentukan, karena Ibu Kota Jakarta praktis dikelilingi busar wilayah divisi tersebut. 

Proses perubahan kekuasaan kala itu itu tergambarkan berisi lakon politik yang di sana-sini beraroma pewayangan. Namun berbeda dengan Soeharto yang sangat khas Jawa, Jenderal H.R. Dharsono bersikap lebih tegas di garis depan proses menurunkan Sukarno.

Paling menarik perhatian dan menjadi catatan penting dalam sejarah politik Indonesia dan keberadaan Dharsono, ialah gagasan pembaruan politik pada tahun 1968 sampai 1969 bersama kelompok aktivis pergerakan 1966 dan Bandung. 

Dalam konteks pembaruan politik pasca-era Nasakom, Dharsono dan aktivis lainnya menggagas perombakan struktur politik dan kepartaian melalui konsep dwi grup, yang mengerucut sebagai dwi partai. Gagasan itu kemudian membuat Soeharto dan sejumlah jenderal di lingkarannya menolak dan bergerak mengandaskan gerakan tersebut.

Baca Juga: Sejarawan Ingatkan Pesan Sukarno, RI Jangan Anut Demokrasi Liberal

2. Dharsono diasingkan hingga dipenjara

Mengenang Kisah Dharsono, Jenderal Idealis Kritik Sukarno dan SoehartoH.R Dharsono bersama Ali Sadikin (dok keluarga, buku Kisah Seorang Jenderal Idealis H.R. Dharsono)

Dharsono lantas diasingkan dengan penugasan baru jauh dari Tanah Air, yakni menjadi duta besar di Thailand, Kamboja serta tugas perdamaian di Vietnam. Senasib dengan Dharsono, dua jenderal idealis lainnya, Sarwo Edhie Wibowo dan Kemal Idris, pada sekitar waktu yang sama juga ditugaskan jauh dari Jakarta untuk beberapa tahun lamanya. 

Setelah tak lagi menjabat di pemerintahan, Dharsono yang sejak awal di dalam kekuasaan bersikap kritis, ternyata tetap kritis saat berada di luar kekuasaan. Dia mengkritisi penyimpangan rekan-rekan militernya terhadap dwi fungsi ABRI yang sebenarnya adalah sebuah konsep ideal untuk membantu tegaknya pemerintahan sipil yang kuat.

Dharsono mengkritisi disimpangkannya konsep Orde Baru dari sebuah sistem yang ideal menjadi praktek kekuasaan yang dijalankan secara buruk. Dia juga mengkritik berbagai praktek korupsi dan kolusi dalam tubuh kekuasaan serta meningkatnya sikap represif penguasa militer, antara lain dalam Peristiwa Tanjung Priok September 1984. 

Karena kritik dan tuntutannya agar peristiwa berdarah ini diperjelas, dia kemudian digiring ke dalam sebuah jebakan konspiratif dan berakhir dengan tuduhan subversi yang berujung pada pemenjaraan.

Baca Juga: 9 Gaya Etnik ala Cicit Sukarno, Kebaya hingga Baju Tari Legong

3. Di balik terbitnya buku 'Kisah Seorang Jenderal Idealis H.R. Dharsono'

Mengenang Kisah Dharsono, Jenderal Idealis Kritik Sukarno dan SoehartoH.R Dharsono ketika dipenjara (dok keluarga, buku Kisah Seorang Jenderal Idealis H.R. Dharsono)

Salah seorang anak Jenderal Dharsono, Dhani Dharsono, mengungkapkan bahwa keinginan menulis buku ini sudah ada sejak lama. Bahkan ketika sang ayah berada di penjara. 

"Keinginan membuat buku ini sebenarnya berawal dari ayah masuk penjara. Di LP Cipinang periode tahun 1984-1990. Tetapi pada saat itu, ketika kami minta ayah nulis, itu dia bilang 'saya gak punya bahan'," kata Dhani di acara peluncuran buku yang digelar di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Sabtu (18/2/2023). 

Dhani menuturkan, karena kurangnya bahan dan informasi, keinginan menulis buku itu pun meredup. Namun setelah Dhani dipertemukan dengan Rum Aly yang merupakan mantan redaktur Harian Mahasiswa Indonesia, harap terbitnya buku tersebut mendapat angin segar.

Rum Aly diyakini punya informasi yang cukup banyak untuk menulis buku tentang ayahnya. Terlebih, keikutsertaan Rum Aly dalam media generasi muda itu memberi kesempatan untuk mengikuti dari dekat berbagai peristiwa politik pada periode 1966 hingga 1974. Termasuk periode di mana Jenderal H.R. Dharsono masih tampil idealis dalam perjuangan menurunkan Sukarno dan melancarkan pembaruan politik. 

"Akhirnya saya dipertemukan oleh Pak Rum Aly, beliau adalah mantan redaktur harian mahasiswa indonesia. Yaitu koran yang terbit pada tahun 1966 sampai 1974. Jadi beliau memberitakan harian mahasiswa Indonesia, jadi informasinya cukup banyak tentang ayah," imbuh dia. 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya