Dapur Amal di Gaza Terancam Tutup Akibat Krisis Bahan Baku

Jakarta, IDN Times - Dapur amal di Jalur Gaza, yang dikenal dengan tekeya, telah menjadi satu-satunya fasilitas yang memberikan makanan secara gratis kepada para pengungsi. Namun, tempat itu kini terancam tutup akibat menipisnya stok makanan di gudang bantuan dan toko-toko lokal serta harga yang melambung tinggi.
Hany Abu Al-Qassem, yang mengelola tekeya di Rafah, mengatakan tim relawannya biasa menyiapkan 10 jenis hidangan untuk ribuan pengungsi yang tinggal di dekatnya. Kini, mereka hanya menyediakan dua atau tiga jenis makanan saja, tanpa protein hewani, untuk menghemat anggaran.
“Kami sudah mengurangi setengah porsi makanan kami, padahal dengan meningkatnya jumlah pengungsi, seharusnya porsinya ditingkatkan. Jika keadaan semakin memburuk, kami mungkin akan menghentikan operasi sama sekali, begitu juga dengan tekeya lainnya,” katanya kepada The National.
1. Para pengungsi merasa tidak berdaya
Ummu Khalid (58 tahun) telah merasakan dampak krisis yang dihadapi tekeya. Dalam beberapa pekan terakhir, keluarganya di Rafah hanya makan tiga kali seminggu dari tekeya terdekat. Padahal, mereka sebelumnya bisa mendapatkan makanan setiap hari.
“Porsinya kecil, tapi membantu. Masakannya juga beragam, dan sekarang jumlahnya semakin berkurang,” katanya.
Perempuan itu khawatir akan tibanya hari ketika keluarganya tidak bisa mendapatkan apa pun.
“Saya pernah melihat anak-anak, yang mengantre berjam-jam untuk mendapatkan makanan, kembali ke tenda mereka dengan air mata berlinang, dan piring kosong,” ujarnya.
“Bantuan yang kami terima terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar kami. Kami juga tidak punya uang untuk membeli kebutuhan, dan jika kami mempunyai sesuatu, kami kesulitan memasaknya karena kekurangan roti dan bahan bakar serta kesulitan mendapatkan air. Kami tidak berdaya," tambah dia.
2. Harga bahan makanan naik berkali-kali lipat
Adnan Sheikh El-Eid, supervisor tekeya Al-Rahma di Rafah, mengatakan bahan makanan pokok seperti nasi, bulgur, pasta, lentil, daging, dan kacang-kacangan sangat sulit ditemukan. Selain itu, barang-barang yang diperlukan untuk memasak seperti minyak, rempah-rempah dan kayu, persediaannya sedikit atau dijual dengan harga selangit.
“Minyak goreng, yang dijual dengan harga 7 shekel (sekitar Rp29 ribu) per liter, kini dijual dengan harga lebih dari 20 shekel (sekitar Rp83 ribu), sementara harga satu kilo lentil naik dari 5 shekel (sekitar Rp20 ribu) menjadi 20 shekel, dan kayu bakar dari 800 shekel (sekitar Rp3 juta) per ton menjadi 3 ribu shekel (sekitar Rp12 juta)," tuturnya..
Kondisi ini mengakibatkan tekeyanya hanya dapat memasak 35 panci sehari, dibandingkan sebelumnya 60 panci.
Al-Eid mengungkapkan bahwa operasi tekeya bergantung pada donasi dari donor luar negeri dan pasokan makanan yang masuk ke Gaza. Namun, hal ini belum cukup untuk mengimbangi skala krisis kemanusiaan yang terjadi.
“Kami harus mengusir orang-orang pergi tanpa makanan. Ini menghancurkan hati kami, tapi apa yang bisa kami lakukan? Tidak ada yang bergerak untuk menghentikan ini," tambahnya.
3. Bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Pengiriman pasokan medis dan bantuan lainnya untuk tawanan Israel dan warga sipil Palestina telah memasuki Jalur Gaza, sebagai bagian dari perjanjian yang dimediasi oleh Qatar dan Prancis.
Bantuan yang tiba pada Rabu (17/1/2024) adalah kesepakatan pertama yang disetujui oleh Israel dan kelompok Palestina Hamas, sejak gencatan senjata berakhir pada 1 Desember.
Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengatakan, 146 truk masuk dari penyeberangan Karem Abu Salem yang dikontrol Israel. Sementara 48 truk memasuki penyeberangan Rafah dengan membawa makanan, air dan pasokan medis, selain 12 truk komersial.
“Truk bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Gaza selatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak,” kata Hani Mahmoud dari Al Jazeera, melaporkan dari Rafah di selatan Jalur Gaza pada Kamis (18/1/2024)
“Warga Palestina di sini sudah terbiasa dengan rutinitas antre lebih dari setengah hari hanya untuk mendapatkan bantuan atau kupon makanan. Ini sangat sulit karena jumlah bantuan kemanusiaan yang masuk sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan lebih dari 1,9 juta pengungsi Palestina,” tambahnya.