Dubes Rusia: RI Belum Batalkan Kesepakatan Pembelian Sukhoi Su-35

Jakarta, IDN Times - Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva mengatakan hingga kini belum ada pembatalan kesepakatan pembelian jet tempur Sukhoi Su-35 full combat. Vorobieva mengaku hingga kini belum menerima notifikasi resmi dari Kementerian Pertahanan RI mengenai rencana pembatalan pemesanan jet tempur canggih itu.
Informasi mengenai pembatalan pesanan jet tempur dari Rusia itu sejalan dengan rencana Indonesia yang hendak memborong jet tempur Rafale buatan Prancis. Pada 10 Februari 2022, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meneken kontrak pembelian enam jet tempur Rafale. Penandatanganan kontrak itu disaksikan oleh Menhan Prancis, Florence Parly di kantor Kementerian Pertahanan.
Sementara, pada 2018 lalu, Indonesia sepakat membeli 11 unit jet tempur Sukhoi Su-35. Ketika itu Menhan dijabat oleh Ryamizard Ryacudu.
"Yang dapat saya katakan saat ini, kesepakatan itu (pembelian Sukhoi) belum dibatalkan. Kami masih terus berharap kesepakatan ini akan sukses. Tetapi, pada dasarnya hal itu dikembalikan lagi kepada Kementerian Pertahanan Indonesia. Pemerintah Indonesia yang memutuskan kerangka kerja samanya yang telah disusun," ungkap Vorobieva menjawab pertanyaan IDN Times di dalam diskusi virtual yang digelar pada Kamis, (17/2/2022).
"Kami tidak memiliki penghalang apapun dan kami siap untuk menuntaskan kontrak ini," tutur dia lagi.
Apakah Rusia kecewa ketika Indonesia akhirnya malah melanjutkan pemesanan jet tempur ke Prancis?
1. Indonesia memiliki kebebasan untuk bisa membeli alutsista yang dibutuhkan

Sementara, ketika ditanyakan apakah Rusia kecewa karena kesepakatan pembelian jet tempur Sukhoi Su-35 terbengkalai cukup lama, Vorobieva mengatakan hal tersebut menjadi kewenangan Indonesia sepenuhnya. "Indonesia memiliki hak dan kedaulatan penuh untuk membeli alutsista dari negara mana pun. Meski sudah teken kesepakatan untuk membeli Rafale, prosesnya tidak akan secepat yang dikira. Kami akan melihat bagaimana kelanjutan mengenai hal ini," ujar Dubes perempuan yang telah bertugas di Indonesia sejak 2018 lalu itu.
Ia kembali menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi resmi terkait pembatalan kesepakatan tersebut. Informasi bahwa Indonesia tak lagi melanjutkan pembelian Sukhoi Su-35, disampaikan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Fadjar Prasetyo pada akhir Desember 2021 lalu.
Fadjar mengatakan kini rencana pembelian mengerucut kepada dua jet tempur yakni Dassault Rafale asal Prancis dan F-15 EX yang diproduksi oleh Amerika Serikat.
"Kami menginginkan pesawat generasi 4,5 dan menginginkan yang 'heavy' atau medium ke atas, karena saat ini kita sudah ada F-16 (buatan Amerika Serikat) dan ada Sukhoi buatan Rusia," ujar Fadjar di Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta seperti dikutip dari kantor berita ANTARA, 22 Desember 2021.
Ia menambahkan keputusan untuk tak lagi melanjutkan pembelian Sukhoi juga merupakan diskusi dengan Kementerian Pertahanan. "Kami dengan berat hati harus meninggalkan Sukhoi Su-35, karena kan kembali lagi dari awal. Kami sebutkan bahwa pembangunan kekuatan udara sangat bergantung dari anggaran," kata dia lagi.
2. Sukhoi Su-35 semula digunakan untuk gantikan skadron berisi jet tempur F5

Sementara, menurut analisa dari pengamat militer, Andi Widjajanto, semula pembelian jet tempur Sukhoi Su-35 untuk menggantikan skadron di Tanah Air yang berisi F5 yang sudah tua. Jet tempur tersebut berjumlah 16 dan kini terparkir di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur. Para penerbang tempur F5 disebut dengan julukan Eagle.
Namun, kemudian Indonesia juga berencana menggunakan jet tempur yang nantinya dibeli dari Amerika Serikat untuk menggantikan F5 yang dibuat pada 1987 lalu. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada bulan ini memang memberikan lampu hijau untuk penjualan 36 unit jet tempur F-15EX kepada Indonesia. Tetapi, hal itu masih harus menunggu persetujuan dari Kongres AS.
"Tetapi, dari Kemenhan belum memutuskan apakah F5 benar-benar diganti menggunakan jet tempur F-15EX. Selain itu, pada dasarnya juga belum ada pengajuan lebih kongkrit dari Kemenhan RI merespons penawaran dari AS. AS kan menawarkan dengan paket yang bernilai total Rp200 triliun," ungkap Andi ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada hari ini.
3. Kesulitan pembelian Sukhoi Su-35 harus menggunakan metode imbal dagang

Andi menjelaskan, salah satu kesulitan untuk menuntaskan pembelian Sukhoi Su-35 lantaran pembeliannya menggunakan metode imbal dagang. Hal itu dilakukan karena sesuai ketentuan di dalam UU nomor 16 tahun 2012 tentang industri pertahanan. Ia mengatakan pembelian dengan imbal dagang ini bermakna, tak semua pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, tetapi bisa juga dengan komoditas yang dijual ke Rusia.
"Kalau melihat pembayaran yang dilakukan oleh India, pembayaran tunai bukan dilakukan dalam US Dollar, melainkan Rubel dan Rupee. Sementara, itu akan menyulitkan bagi Kementerian Keuangan bila menggunakan mata uang tersebut," kata pria yang menjadi Koordinator Lab 45.
Sementara, terkait pembelian alutsista, Indonesia memiliki lender dari lembaga finansial global yang berbasis di London dengan kredit ekspor. "Sedangkan, lender yang bermitra dengan Indonesia menggunakan mata uang dollar," ujarnya.
Berdasarkan Australian Strategic Policy Institute, salah satu alasan mengapa Indonesia lambat dalam memproses pembelian Sukhoi Su-35 lantaran terancam dikenai sanksi oleh Negeri Paman Sam. Sanksi tersebut disebut CAATSA (Countering America's Adversaries Through Sanctions Act) yang diloloskan oleh senat AS pada 2017 lalu.
Isi CAATSA yakni Negeri Paman Sam berhak menjatuhkan sanksi kepada negara mana pun yang membeli alutsista dari tiga negara yakni Iran, Korea Utara dan Rusia. Negeri Tirai Besi dimasukan ke dalam daftar CAATSA lantaran mereka terlibat dalam aneksasi Crimea di Ukraina, peperangan di Suriah dan mengacaukan pemilu AS pada 2016 lalu.
Andi menilai seandainya Indonesia resmi membatalkan pemesanan 11 Sukhoi Su-35, tidak akan berdampak banyak ke industri pertahanan Rusia. Hal itu lantaran pemesanannya yang tidak terlalu besar. Pembeli terbesar Sukhoi Su-35 adalah China yakni 24 unit.
Di sisi lain, justru Indonesia yang akan kesulitan seandainya pembelian Sukhoi tersebut tetap berjalan. Sebab, mekanisme yang berlaku hanya imbal dagang tanpa transfer teknologi.