Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

HRW: China Ganti Ratusan Nama Desa Muslim Uighur

Ilustrasi bendera China. (unsplash.com/Yan Ke)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah China diduga berupaya menghapus jejak budaya dan agama dari etnis minoritas Muslim Uighur, dengan mengganti nama ratusan desa dan kota di wilayah Xinjiang.

Xinjiang, yang terletak di bagian barat China, telah lama menjadi tempat tinggal bagi mayoritas Muslim Uighur dan memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda dengan etnis Han yang mendominasi China.

Menurut laporan Human Rights Watch (HRW) dan Uyghur Hjelp, sedikitnya ada 630 nama tempat yang diubah sepihak oleh otoritas China. Beijing kemudian menggantikannya dengan istilah yang mencerminkan ideologi Partai Komunis.

Melansir dari The Guardian pada Rabu (19/6/2024), sebagian besar perubahan terjadi pada periode puncak penindasan terhadap warga Uighur antara 2017-2019.

1. Jejak Islam dan budaya Uighur dihapus dari nama desa

Dari penelusuran yang dilakukan, penggantian nama desa yang dilakukan China secara sistematis menyasar beberapa kategori. Pertama, otoritas menghapus referensi tentang Islam atau tradisi Uighur, seperti kata "hoja" yang merujuk pada guru agama Sufi yang dihilangkan dari sedikitnya 25 nama desa. Istilah "mazar" yang berarti kuil atau tempat ziarah juga turut dihapus dari 41 lokasi.

"Nama-nama desa yang memuat unsur keagamaan seperti 'masjid' atau 'hoja' semuanya diganti. Ini jelas bagian dari kampanye pemerintah China untuk menyingkirkan identitas religius dan kultural Uyghur," ungkap Maya Wang, Direktur Senior HRW untuk Asia, dilansir dari Al Jazeera.

Kategori lain yang menjadi target adalah nama desa-desa yang berhubungan dengan kerajaan, republik, atau tokoh Uighur sebelum terbentuknya Republik Rakyat China di tahun 1949. Data menunjukkan kini sudah tidak ada lagi desa di Xinjiang yang mencantumkan kata "khalifa" (pemimpin) atau "meschit" (masjid) pada namanya.

Nama-nama desa tersebut diganti menggunakan istilah berbahasa Mandarin, seperti "Persatuan", "Harmoni", atau "Bunga Mawar".

2. Warga Uighur kesulitan pulang kampung

Penggantian nama desa yang terjadi secara masif pada periode 2017-2019 berdampak besar bagi kehidupan warga Uighur. Sejumlah landmark budaya dan sejarah komunitas Uighur yang tersemat pada nama daerah kini telah terhapus.

Sebagai contoh, desa Qutpidin Mazar di Kashgar yang semula merujuk pada makam ulama Persia abad ke-13, Qutb al-Din al-Shirazi, diganti menjadi Desa "Rose Flower" pada 2018.

Kebijakan ini juga memunculkan kebingungan dan kesulitan bagi warga Uyghur, khususnya mereka yang baru dibebaskan dari kamp pendidikan ulang dan hendak pulang ke kampung halaman.

Dalam wawancara yang dilakukan Uyghur Hjelp terhadap 11 penduduk desa, seorang narasumber menuturkan dirinya kesulitan untuk membeli tiket transportasi. Pasalnya, nama desanya yang lama sudah tidak tercantum dalam sistem.

Pengacara hak asasi manusia etnis Uighur, Rayhan Asat mengatakan, kebijakan ini merupakan bagian dari agenda Beijing untuk memusnahkan identitas kultural Uighur. Ia juga menuduh Beijing sedang menciptakan sistem apartheid di Xinjiang.

"Nama desa Uighur bukan cuma catatan sejarah, tapi juga representasi dari ikatan komunitas, kekhasan budaya setempat, dan nilai-nilai yang diwarisi turun-temurun. Penghapusan nama ini bertujuan memutus rantai sejarah dan melenyapkan akar budaya orang Uighur," tegasnya.

3. Komunitas internasional kecam kebijakan represif Beijing

Pengubahan nama desa merupakan satu dari sekian banyak kebijakan represif yang diterapkan China di Xinjiang. Sejak 2014, Beijing dilaporkan telah menahan sekitar 1 juta warga Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya ke dalam kamp-kamp pendidikan ulang.

Para tahanan dinilai rentan mengalami berbagai bentuk pelanggaran HAM, termasuk kerja paksa, indoktrinasi, dan penyiksaan. Di luar kamp, China juga memberlakukan pembatasan ketat terhadap ekspresi budaya dan praktik keagamaan Uighur.

Praktik-praktik ini menuai kecaman dari dunia internasional. Pada 2021, HRW menyatakan kebijakan China terhadap Uighur sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Setahun setelahnya, Komisaris Tinggi HAM PBB Michele Bachelet menyimpulkan bahwa diskriminasi di Xinjiang dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Sejumlah negara lain bahkan telah menyebutnya sebagai genosida, tudingan yang dibantah Beijing dengan dalih kontra-terorisme.

"Ratusan ribu orang Uighur masih mendekam di kamp dan penjara. Dunia, termasuk PBB, harus menggandakan upaya untuk meminta pertanggungjawaban China atas penindasan sistematis ini," tegas Abduweli Ayup, pendiri Uyghur Hjelp. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us