Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ibu di Afghanistan Terpaksa Beri Teh-Obat Tidur Agar Anak Tidak Rewel

bendera Afghanistan (unsplash.com/Farid Ershad)

Jakarta, IDN Times - Kurangnya dana mengakibatkan Program Pangan Dunia (WFP) PBB memotong bantuan makanan untuk 10 juta warga Afghanistan selama setahun terakhir. Hal ini merupakan pukulan telak bagi masyarakat miskin di negara tersebut, terutama bagi sekitar 2 juta rumah tangga yang dijalankan oleh perempuan.

“Terakhir kali saya bisa membelikan susu untuk bayi saya adalah dua bulan lalu. Biasanya saya hanya mengisi botol susu dengan teh, atau merendam roti dalam teh lalu memberikannya ke dia,” kata Sohaila Niyazi di rumahnya di Kabul, dikutip dari BBC.

Sohaila adalah janda enam anak. Anak bungsunya, yang bernama Husna Fakeeri, masih berusia 15 bulan. Teh yang diberikan Sohaila adalah minuman yang terbuat dari daun teh hijau dan air panas, tanpa susu atau gula.

Sementara untuk menenangkan bayinya yang lapar, Sohaila memberikannya obat tidur

“Saya memberinya obat tidur supaya dia tidak bangun dan minta susu karena saya tidak punya susu untuk diberikan. Setelah diberi obat, dia tidur dari pagi ke pagi. Kadang-kadang saya memeriksa apakah dia masih hidup atau sudah mati," tambahnya.

1. Tiga juta anak di Afghanistan alami kekurangan gizi

Sejak kematian suaminya pada 2022, Sohaila sangat bergantung pada bantuan yang diberikan oleh WFP. Namun, badan PBB tersebut mengatakan pihaknya kini hanya mampu menyediakan bantuan pangan untuk 3 juta orang. Jumlah tersebut kurang dari seperempat dari mereka yang mengalami kelaparan akut di negara itu.

Di bawah pemerintahan Taliban, Sohaila mengatakan dia tidak bisa pergi bekerja untuk memberi makan keluarganya. Ia kini sepenuhnya bergantung pada sumbangan dari kerabat atau tetangga.

Bayi Sohaila mengalami kekurangan gizi sedang, yang menurut UNICEF menimpa 3 juta anak di negara tersebut. Lebih dari seperempat di antaranya mengalami malnutrisi akut.

Di tengah ancaman kekurangan gizi pada anak-anak, bantuan untuk layanan kesehatan di Afghanistan pun harus ditarik.

Sejak pergantian rezim pada 2021, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) membayar gaji para petugas kesehatan, dan mendanai obat-obatan dan makanan di lebih dari 30 rumah sakit. Namun, mereka kini tidak lagi mempunyai sumber daya untuk melanjutkan program tersebut. Bantuan juga telah ditarik dari sebagian besar fasilitas kesehatan, termasuk satu-satunya rumah sakit anak-anak di Afghanistan, yaitu Rumah Sakit Anak Indira Gandhi di Kabul.

“Gaji dokter dan perawat sekarang berasal dari pemerintah. Gaji mereka dipotong setengahnya,” kata Mohammad Iqbal Sadiq, direktur medis rumah sakit yang ditunjuk Taliban.

Rumah sakit juga telah menutup unit rawat jalan dan hanya memberikan layanan bagi pasien yang perlu dirawat inap. Sementara itu, bangsal malnutrisi penuh, dengan beberapa anak terkadang terbaring dalam satu ranjang.

Mohammad Shafi, bayi berusia 18 bulan, hanya memiliki berat badan setengah dari yang seharusnya. Kedua orang tuanya telah meninggal. Ia hanya ditemani oleh neneknya yang sudah lanjut usia, Hayat Bibi, di rumah sakit tersebut

"Saya mengandalkan belas kasihan Tuhan. Saya tidak punya tempat lain untuk berpaling. Saya benar-benar tersesat. Saya sendiri sedang berjuang. Kepala saya sangat sakit hingga seperti akan meledak," kata Hayat Bibi.

2. Para perempuan kesulitan mencari kerja di bawah pemerintah Taliban

Di rumah lainnya di Kabul, seorang perempuan yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku pernah dihentikan Taliban karena berjualan di pinggir di jalan. Dia juga mengaku dirinya pernah ditahan satu kali.

Suaminya terbunuh dalam perang dan dia memiliki empat anak yang harus dinafkahi. 

“Setidaknya mereka harus mengizinkan kami bekerja dan mencari nafkah dengan jujur. Saya bersumpah demi Tuhan kami tidak akan melakukan hal-hal buruk. Kami hanya pergi mencari makanan untuk anak-anak kami dan mereka melecehkan kami seperti ini,” kata perempuan itu.

Dengan situasi yang serba sulit, dia pun terpaksa mengirim putranya yang berusia 12 tahun untuk bekerja.

“Saya bertanya kepada seorang anggota Taliban, apa yang harus saya berikan kepada anak-anak saya jika saya tidak mendapat penghasilan? Dia bilang beri mereka racun tapi jangan keluar rumah. Dua kali pemerintah Taliban memberi saya sejumlah uang, tapi itu tidak cukup," keluhnya.

3. Taliban tidak mau berkompromi soal kebijakan mereka

Sebelum Taliban berkuasa, tiga perempat belanja negara berasal dari uang asing yang diberikan langsung kepada rezim sebelumnya. Kebijakan ini dihentikan pada Agustus 2021, sehingga membuat perekonomian terpuruk.

Badan bantuan turun tangan untuk menyediakan bantuan sementara, namun sebagian besar dana tersebut kini telah habis.

“Bantuan telah dipotong karena perekonomian negara-negara donor tidak berjalan dengan baik. Dan ada dua bencana besar, COVID-19 dan perang di Ukraina. Jadi kami tidak bisa mengharapkan bantuan dari mereka. Kami tidak akan mendapatkan bantuan dengan berbicara dengan mereka," kata juru bicara utama pemerintahan Taliban, Zabihullah Mujahid.

"Kita harus mandiri. Perekonomian kita sudah stabil dan kita memberikan kontrak pertambangan yang akan menciptakan ribuan lapangan kerja. Tapi tentu saja, saya tidak mengatakan bantuan harus dipotong karena kita masih menghadapi tantangan," katanya. 

Ketika disinggung soal peraturan ketat Taliban terhadap perempuan yang membuat para donatur menarik bantuannya, Mujahid menegaskan Taliban akan tetap menjaga teguh nilai-nilai mereka dengan cara apa pun.

“Jika bantuan digunakan sebagai alat tekanan, maka Imarah Islam mempunyai nilai-nilainya sendiri yang akan dijaga dengan cara apa pun. Masyarakat Afghanistan telah melakukan pengorbanan besar di masa lalu untuk melindungi nilai-nilai kami dan akan menanggung pemotongan bantuan juga,” kata Mujahid.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us