ICC Akan Keluarkan Surat Penangkapan Pemimpin Junta Myanmar

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Pidana Internasional (ICC) akan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing. Panel tiga hakim ICC saat ini sedang mempertimbangkan permohonan yang diajukan Jaksa ICC Karim Khan pada Rabu (27/11/2024).
Permohonan penangkapan ini merupakan yang pertama kalinya diajukan ICC terhadap pejabat tinggi pemerintah Myanmar. Min Aung Hlaing dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan berupa deportasi dan persekusi terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya.
Proses pengambilan keputusan diperkirakan memakan waktu sekitar tiga bulan, dilansir dari Reuters.
1. Tuduhan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya
Lebih dari 730 ribu warga Rohingya terpaksa mengungsi ke Bangladesh akibat aktivitas militer Myanmar pada 2017. Tim investigasi PBB menyimpulkan operasi tersebut dilakukan dengan niat genosida. Gelombang kekerasan menyebabkan Muslim Rohingya mengalami pembantaian, pemerkosaan massal, dan pembakaran pemukiman.
ICC telah melakukan penyelidikan mendalam selama hampir 5 tahun terhadap kekerasan yang terjadi pada 2016-2017.
"Setelah investigasi ekstensif, independen, dan tidak memihak, kami menyimpulkan ada alasan yang masuk akal bahwa Min Aung Hlaing bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan kemanusiaan," ujar Karim Khan, dilansir dari laman ICC.
Tim investigasi mengumpulkan berbagai bukti kuat termasuk kesaksian saksi mata, dokumen resmi, serta materi foto dan video yang telah diverifikasi keasliannya. Bukti-bukti tersebut memperkuat dugaan keterlibatan langsung militer Myanmar dalam aksi kekerasan sistematis.
Pemerintah Myanmar selalu membantah semua tuduhan genosida. Mereka bersikeras operasi militer hanya ditujukan pada kelompok teroris.
2. Myanmar bukan anggota ICC
Meski Myanmar bukan anggota ICC, pengadilan tetap memiliki wewenang menangani kasus ini. Status Bangladesh sebagai negara anggota ICC memberi dasar hukum bagi ICC. Sebagian kejahatan kemanusiaan junta Myanmar terjadi di wilayah Bangladesh yang menjadi tempat pengungsian warga Rohingya.
Penyelidikan ICC menghadapi berbagai hambatan akibat minimnya akses ke Myanmar. Situasi semakin rumit setelah kudeta militer pada 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi.
Sehari sebelum pengumuman, Karim Khan mengunjungi kamp pengungsi Kutupalong di Cox's Bazar untuk bertemu korban. Tim jaksa ICC berencana akan mengajukan lebih banyak permohonan perintah penangkapan terkait kasus Myanmar.
"Dalam kunjungan ke kamp pengungsi selama 3 tahun terakhir termasuk kemarin, saya bertemu perempuan Rohingya yang menuntut pertanggungjawaban. Saya duduk bersama aktivis muda yang ingin ikut menegakkan keadilan. Saya berbicara dengan orang-orang, dari yang tua dan sakit-sakitan, semua bersatu menuntut keadilan atas apa yang dialami mereka," ujar Khan.
3. Satu juta warga Rohingya terusir dari Myanmar
Melansir The Guardian, hampir 1 juta pengungsi Rohingya kini hidup di kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazar. Kamp tersebut menjadi kompleks pengungsi terbesar dan terpadat di dunia yang diwarnai berbagai masalah keamanan dan kemanusiaan.
Etnis Rohingya menghadapi diskriminasi sistematis di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 etnis resmi negara. Mereka justru menyebut Rohingya sebagai "orang Bengali" dengan maksud membatalkan kewarganegaraan mereka, dilansir dari AP.
Maria Elena Vignoli, penasihat senior keadilan internasional di Human Rights Watch, menyambut keputusan ICC.
"Keputusan jaksa ICC mengajukan surat penangkapan Min Aung Hlaing terjadi di tengah berlanjutnya kekejaman terhadap warga sipil Rohingya. Langkah ICC sangat penting untuk menghentikan siklus kekerasan dan impunitas," ujar Vignoli.
Nasib Rohingya sempat kurang mendapat perhatian dunia akibat konflik di Ukraina dan Gaza. Pemerintah oposisi Myanmar turut mendukung penuh penerbitan surat penangkapan Min Aung Hlaing. Mereka mendorong agar surat penangkapan dikeluarkan secepatnya.