Iran Tangguhkan Penerapan UU Hijab yang Kontroversial

Jakarta, IDN Times - Iran telah menghentikan penerapan Undang-Undang (UU) jilbab yang baru akibat penolakan signifikan baik dari dalam negeri maupun internasional, termasuk dari Presiden Masoud Pezeshkian. UU ini semula dijadwalkan mulai berlaku pada Jumat (20/12/2024).
Wakil Presiden Shahram Dabiri, pada Selasa (18/12/2024), mengumumkan bahwa peraturan tersebut akan ditinjau kembali oleh pimpinan politik dan Dewan Keamanan Nasional.
“Berdasarkan diskusi yang diadakan, diputuskan bahwa undang-undang ini tidak akan diajukan oleh parlemen ke pemerintah untuk saat ini,” kata Dabiri, seraya menambahkan bahwa UU tersebut tidak layak untuk diterapkan saat ini.
1. Pelanggar aturan jilbab akan menghadapi hukuman yang lebih berat
Disetujui oleh parlemen pada September 2023, UU kontroversial ini menerapkan hukuman yang lebih berat, termasuk penjara hingga 15 tahun bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab dan bagi bisnis yang melayani mereka.
Peraturan ini juga memberikan kewenangan kepada otoritas terkait untuk mengakses rekaman pengawasan pribadi dan mendorong warga untuk melaporkan pelanggaran.
UU tersebut menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia, dengan Amnesty International mengatakan bahwa Iran berusaha memperkuat sistem penindasan yang sudah sangat mencekik warganya.
Presiden Pezeshkian yang reformis juga menentang UU tersebut. Ia memperingatkan bahwa aturan itu dapat memicu protes lebih lanjut seperti yang terjadi pada 2022.
Sementara itu, Masoumeh Ebtekar, mantan wakil presiden bidang perempuan dan keluarga, menyebut UU tersebut sebagai dakwaan terhadap separuh penduduk Iran, dilansir dari BBC.
2. Penerapan UU jilbab yang baru dinilai akan memperburuk situasi di Iran
Pekan lalu, lebih dari 300 aktivis hak asasi manusia, penulis dan jurnalis Iran secara terbuka mengecam UU jilbab yang baru dan mendesak Pezeshkian untuk menepati janji kampanyenya.
Selama pemilihan presiden pada Juli, Pezeshkian telah secara terbuka mengkritik perlakuan pemerintah terhadap perempuan Iran terkait masalah jilbab. Dia juga berjanji tidak akan ikut campur dalam kehidupan pribadi mereka, sebuah sikap yang disukai oleh banyak warga Iran, terutama generasi muda yang frustrasi dengan kontrol ketat pemerintah.
Pendukung Pezeshkian meyakini bahwa UU tersebut tidak akan membuat perempuan muda takut untuk melanggarnya, melainkan justru akan memperburuk situasi. Sementara itu, para pendukung UU jilbab yang baru mengkritik keragu-raguan Dewan Keamanan Nasional dan menuntut presiden untuk menandatangani peraturan tersebut supaya dapat segera diterapkan.
3. Penyanyi Iran ditangkap pekan lalu karena tidak kenakan hijab dalam konser virtual
Perdebatan tentang jilbab semakin memanas ketika penyanyi Iran, Parastoo Ahmadi, ditangkap pekan lalu usai menyiarkan konser virtualnya secara langsung di YouTube tanpa mengenakan jilbab. Penangkapan Ahmadi dan rekan-rekan bandnya memicu kemarahan publik, sehingga mendorong pihak berwenang untuk membebaskan mereka keesokan harinya.
Ketegangan seputar jilbab masih belum mereda sejak protes nasional pada 2022 yang dipicu oleh kematian Jina Mahsa Amini di dalam tahanan polisi. Perempuan etnis Kurdi itu meninggal pada 16 September 2022, setelah ditangkap oleh polisi moral Iran karena karena diduga tidak mengenakan jilbab sesuai aturan.
Iran membantah bertanggung jawab atas kematiannya. Namun, penyelidik PBB menyimpulkan bahwa Amini tewas karena menjadi sasaran kekerasan fisik, dan menyalahkan polisi moral atas insiden tersebut. Sejak kematiannya, banyak perempuan Iran mulai berani melepas jilbab di depan umum sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah.