Uni Eropa: Kejatuhan Suriah Tunjukkan Kelemahan Rusia-Iran

Jakarta, IDN Times - Perwakilan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Kaja Kallas, pada Minggu (8/12/2024), mengklaim bahwa kekalahan rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah menunjukkan kelemahan dari Rusia-Iran. Ia pun menyambut baik runtuhnya rezim Assad yang menandai berakhirnya Perang Sipil Suriah.
Setelah pasukan pemberontak berhasil masuk ke Damaskus, Assad dan keluarganya sudah meninggalkan negaranya. Anak ketiga mantan Presiden Suriah Hafez al-Assad itu diketahui sudah berada di Moskow dan mendapatkan suaka politik dari Rusia.
1. Ajak negara-negara ikut bantu membangun kembali Suriah
Kallas menambahkan, UE berniat mengembalikan keamanan di Eropa dan sekitarnya. Ia pun menyerukan negara-negara lain membantu Suriah untuk membangun kembali negaranya usai dilanda perang saudara.
"Runtuhnya rezim diktator Assad sudah ditunggu lama. Ini menunjukkan kelemahan dari pendukungnya, yakni Rusia dan Iran. Prioritas kami adalah memastikan keamanan di kawasan. Proses pembangunan kembali Suriah akan lama dan sulit. Semua pihak harus siap ikut dalam upaya konstruktif ini," terangnya, dilansir Politico.
Sementara itu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengungkapkan, runtuhnya rezim diktator Assad di Suriah adalah sebuah perubahan sejarah besar. Ia mengklaim perkembangan ini menunjukkan kesempatan di kawasan Timur Tengah.
2. Rusia tarik pasukan dan persenjataan dari Suriah

Direktorat Intelijen Militer Ukraina (HUR) mengklaim Rusia sudah memulai penarikan aset militer di Suriah usai runtuhnya rezim Assad. Rusia disebut sudah menarik aset Angkatan Laut (AL) yang ditempatkan di Suriah.
"Militer Rusia sudah menarik dua kapal perang, yakni frigat Admiral Grygorovych dan kapal kargo Inzhenier Trubin dari pangkalan AL Tartus yang selama ini berada di bawah kontrol Rusia sebagai bagian perjanjian keamanan," terangnya, dilansir dari The Kyiv Independent.
Selain itu, Rusia sudah menarik seluruh persenjataannya dari Suriah menggunakan pesawat kargo melalui pangkalan Angkatan Udara (AU) Khmeimim.
HUR menyebut, hilangnya Tartus dan Khmeimim menjadi bukti kekalahan Rusia dan mengurangi pengaruhnya di Timur Tengah. Sementara, intervensi Rusia dalam Perang Sipil Suriah berperan penting dalam memperkuat rezim Assad.
3. Pemimpin pemberontak ingin kembalikan agama minoritas di Suriah
Menanggapi kemenangan pasukan pemberontak di beberapa kota, pemimpin pemberontak Suriah Hassan Abdel Ghani mengatakan bakal mengembalikan komunitas agama minoritas di Suriah.
"Pasukan kami sudah mengambil alih beberapa area yang menjadi rumah bagi kelompok minoritas. Kami meminta semua komunitas agama minoritas kembali bangkit. Era sektarianisme dan tirani di Suriah sudah berakhir selamanya," terangnya, dikutip dari Kyiv Post.
Kelompok minoritas kerap mendapat persekusi di tengah konflik berkepanjangan di Suriah. Kelompok minoritas tersebut, komunitas Kristen di Aleppo, minoritas Alawaite di Homs dan beberapa kelompok lainnya.
Perang Sipil Suriah yang berlangsung lebih dari 13 tahun telah mengakibatkan lebih dari 500 ribu orang tewas. Bahkan, memaksa setengah dari populasi penduduk Suriah mengungsi ke negara lain.