Kisah Kelaparan di Nigeria: Hanya dengan Karunia Tuhan Kami Bisa Makan

Jakarta, IDN Times – Di bawah terik matahari, saat itu pukul 2 siang, Hannah Mgbede bertanya ke suaminya apakah dia bisa beristirahat sejenak dari mengirik padi. Dia ingin menyusui bayi perempuannya berusia 18 bulan, yang diikat dipunggungnya selama melakukan pekerjaan yang melelahkan itu.
Suaminya, Ibrahim Mohammed, biasa memanen sebanyak 10 karung beras setahun dari pertaniannya. Namun, jumlah itu menurun menjadi tiga karung setelah penyerang membakar rumahnya hingga rata dengan tanah beberapa tahun yang lalu, usai konflik antara petani dan penggembala meningkat di bagian barat laut dan tengah Nigeria.
Dengan hasil yang menurun itu, Mohammed tidak menghasilkan cukup uang untuk membeli bibit ubi, kedelai, dan jagung guinea (sorgum).
“Kadang-kadang kami berhasil makan sekali (sehari). Sejak krisis, hanya dengan kasih karunia Tuhan kita diberi makan untuk tetap hidup,” kata Mohammed, yang memiliki tiga anak, berusia lima tahun ke bawah, dikutip dari AP.
1. Konflik mengancam 'keranjang makanan' Nigeria

Mohammed lebih lanjut menuturkan, di negara bagian Benue, panen beras, ubi, dan kedelai pernah begitu melimpah sehingga disebut sebagai keranjang makanan Nigeria. Namun, kekerasan selama beberapa tahun terakhir mengurangi hasil panen di wilayah itu.
Lebih dari 1 juta petani di negara bagian itu telah mengungsi karena konflik komunal antara penggembala dan petani, yang bersaing untuk mendapatkan air dan tanah, kata para pejabat. Menurut gubernur negara bagian Benue, mereka sedang menuju krisis pangan.
Di Nigeria utara, setidaknya ada sekitar 13 juta penduduk sedang menghadapi kelaparan di tengah musim paceklik. Tindak kekerasan juga menghantui petani karena jalan yang kurang aman untuk mengangkut hasil pertanian. Pasar juga telah dihancurkan para penyerang.
Produksi beras turun begitu banyak, sehingga harga di pasaran melambung tinggi mencapai 60 persen di negara bagian Benue serta di beberapa negara bagian lain.
“Ada risiko kelaparan yang sangat nyata karena konflik dan COVID-19 membuat lebih sulit menjangkau mereka yang paling membutuhkan,” kata juru bicara Program Pangan Dunia (WFP).
2. Dampak kelaparan di wilayah Benue

Sekitar 3.000 penduduk yang melarikan diri dari konflik di Benue kini tinggal di sebuah kamp di wilayah pemerintah daerah Guma.
Salah seorang pengungsi bernama Mtonga Iliamgee mengaku setiap hari dia berjuang memberi makanan keluarganya yang terdiri dari 10 orang. Dia terlihat menyiapkan makanan satu-satunya hari itu pada pukul 1 siang.
“Kita hidup untuk hari ini dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok,” tutur Iliamgee.
Felix Agune, wakil kepala sekolah kamp pengungsian, mengatakan beberapa anak datang ke kelas sambil menangis karena mereka tidak sarapan.
Rex Elanu, direktur program One to One Healthcare Initiative mengatakan, organisasi nonpemerintah mencoba mengisi kesenjangan, namun hal itu tidak terlalu berdampak karena tingkat kelaparan yang terlalu tinggi di wilayah itu.
3. Pemerintah mengupayakan berbagai hal agar tingkat kelaparan menurun

Pemerintah kini telah meluncurkan inisiatif di bawah Rencana Transformasi Peternakan Nasional dengan harapan mampu meredam konflik.
Konflik yang sudah ada diperburuk oleh proliferasi senjata dan kegagalan pemerintah untuk menuntut pelaku masa lalu dari kedua kelompok.
Pejabat pemerintah telah bersikeras bahwa mereka berusaha membuat situasi tetap aman agar para petani bisa kembali bekerja. Mereka juga berusaha mendorong peternak nomaden agar membuat peternakan tetap, supaya mengurangi pertentangan dengan petani.
Benih dan pupuk juga telah dipasok kepada petani untuk meningkatkan produksi pangan dan meredam dampak pandemi, serta mendorong lebih banyak pemuda untuk terjun ke pertanian, menurut juru bicara kementerian pertanian.
Terlepas dari kekerasan tersebut, para petani Nigeria mampu menghasilkan panen yang cukup memenuhi kebutuhan pokok di negara itu, seperti beras, singkong, dan ubi.
“Nigeria bertahan dengan produk yang dihasilkan oleh petani kecil. Para petani melakukan yang terbaik untuk memberi makan bangsa,” kata Theodore Ogaziechi dari kementerian pertanian.
Namun, beberapa petani masih takut untuk kembali bekerja seperti biasanya. Beberapa orang yang telah kembali bekerja dilaporkan terbunuh.
“Jika ada rasa aman bagi para petani ini, kami akan terus mempertahankan posisi kami sebagai lumbung pangan bangsa. Tetapi, jika tidak ada yang dilakukan, seperti sekarang, itu adalah tantangan besar,” kata gubernur Benue.
4. Konflik petani dan peternak memperebutkan sumber air

Ribuan orang Nigeria telah tewas dalam bentrokan selama puluhan tahun antara masyarakat agraris dan penggembala ternak nomaden, yang memperebutkan akses terbatas ke air dan lahan penggembalaan.
Para petani menuduh para penggembala merebut ladang mereka, sementara para penggembala, yang kebanyakan dari kelompok etnis Fulani, mengklaim bahwa lahan pertanian adalah rute penggembalaan tradisional mereka.
Konflik juga telah merambah ke dimensi etnis dan agama dalam beberapa tahun terakhir. Para penggembala Fulani adalah Muslim, sedangkan para petani sebagian besar beragama Kristen, mengutip Al Jazeera.
Gesekan yang telah berakar lebih dari satu abad ini disebabkan oleh kekeringan, pertumbuhan penduduk, perluasan pertanian menetap ke daerah-daerah komunal, serta tata kelola yang buruk.