Latvia: Rusia Tetap Jadi Ancaman Meski Putin Tidak Memimpin

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Latvia Krisjanis Kariņs, pada Minggu (17/3/2024), mengatakan bahwa Rusia akan tetap menjadi ancaman Eropa setelah Presiden Rusia Vladimir Putin tidak lagi memimpin. Ia menyebut Rusia masih akan menggerakkan paham imperialismenya.
"Dari sudut pandang NATO, kami masih akan mengalami masalah dengan Rusia untuk jangka panjang. Bahkan setelah perang ini usai dan perang yang akan datang. Kami akan tetap bermasalah dengan Rusia yang tidak berkaitan dengan kepemimpinan Putin," terangnya.
Ia menambahkan, saat ini tidak melihat adanya pergerakan di Rusia untuk menunjuk pemimpin dengan paham liberal. Karins menyebut hal tersebut sepertinya tidak akan ada di masa yang akan datang.
1. Kemlu Latvia tidak terkejut atas hasil pilpres Rusia
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Latvia tidak terkejut dalam melihat hasil pilpres di Rusia. Pihaknya juga menekankan bahwa Latvia tidak akan mempedulikan hasil tersebut.
"Sosok individu yang bertanggung jawab terhadap dimulainya perang paling besar di Eropa setelah berakhirnya Perang Dunia II telah terpilih kembali sebagai Presiden Rusia. Proses yang dinamai pemilu ini tidak bebas dan tidak adil. Latvia menetapkan pemilu Rusia tidak punya legitimasi demokratis," ujarnya, dikutip LSM.
"Sejak 2000, Vladimir Putin sudah memimpin Rusia selama lebih dari 20 tahun lamanya. Bahkan, terdapat kemungkinan Putin menyelenggarakan pilpres periode kelima dengan amandemen Undang-Undang (UU) untuk menghilangkan periode pemerintahan sebelumnya," sambungnya.
Selain itu, pilpres Rusia tahun ini diselenggarakan di tengah tekanan hebat dan sensor tinggi terhadap media independen. Kremlin juga terus meningkatkan pengaruh dan propagandanya di ranah penyebaran informasi.
2. Latvia minta Inggris terapkan wajib militer di negaranya

Karins menyatakan bahwa Inggris seharusnya menerapkan wajib militer bagi warganya untuk menghalangi agresi militer Rusia. Ia menyerukan adanya pertahanan total di negara-negara NATO untuk mengerahkan pasukan dalam jangka pendek.
"Kami merekomendasikan kuat kebijakan ini. Kami sedang membangun sebuah sistem yang kami juluki sebagai pertahanan total yang meliputi seluruh bagian dari warga sipil," terangnya, dikutip The Telegraph.
Ia pun meyerukan agar Inggris meniru sistem militer di Finlandia yang dapat menjadi model baik untuk anggota NATO. Karins menyebut sistem di Finlandia sangat baik karena memiliki komponen cadangan yang sangat terlatih dan mudah dipanggil.
Pada Januari, Panglima Militer Inggris Jenderal Dir Patrick Sanders mengatakan, militer Inggris membutuhkan dalam melatih dan mempersenjatai warga sipilnya atau disebut dengan pasukan sipil jika memang dibutuhkan.
3. Warga Rusia di Latvia gelar demonstrasi menolak Putin
Pada Minggu, ratusan warga Rusia di Riga, Latvia menggelar demonstrasi damai menolak Putin di tengah penyelenggaraan pilpres Rusia. Mereka menjadi penggerak protes bertajuk 'Noon against Putin' di sejumlah negara Eropa.
Dilaporkan Reuters, para demonstran yang menolak agresi militer Rusia ke Ukraina dan mendukung pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny itu berkumpul di depan Kedutaan Besar Rusia di Riga pada siang hari.
"Kami sudah tahu hasil pilpres ini, tetapi bagi kami ini adalah sebuah harapan besar bahwa pemilu seperti ini akan kembali terjadi di Rusia," ujar salah satu penggagas bernama Marina Fomina.
"Saya tidak ingin adanya perang, saya tidak ingin sesuatu seperti apa yang sudah terjadi di Ukraina terus berlangsung," kata Vladimir, salah satu demonstran yang datang sembari ikut dalam pilpres.