Negara Berkembang Kecewa Pendanaan COP29 Jauh dari Harapan

- Negara maju hanya setuju berkontribusi Rp4.780 triliun per tahun hingga 2035, jauh di bawah tuntutan negara berkembang.
- Target pendanaan total mencapai 1,3 triliun dolar AS per tahun, dengan sisanya diharapkan datang dari sektor swasta dan sumber lainnya.
- Kesepakatan ini dicapai setelah perundingan alot dan penolakan proposal pendanaan 500 miliar dolar AS per tahun dari negara berkembang.
Jakarta, IDN Times - Konferensi perubahan iklim COP29 di Azerbaijan menghasilkan kesepakatan kurang memuaskan. Negara maju hanya bersedia menyumbang 300 miliar dolar AS (Rp4.780 triliun) per tahun hingga 2035. Angka ini jauh di bawah tuntutan negara berkembang sebesar 500 miliar dolar AS (Rp7.900 triliun).
Target pendanaan total sebenarnya mencapai 1,3 triliun dolar AS (Rp20 kuadriliun) per tahun. Namun, sisanya diharapkan datang dari sektor swasta dan sumber lainnya.
Kesepakatan ini dicapai pada Minggu (24/11/2024) dini hari waktu setempat. Perundingan berjalan alot sehingga beberapa delegasi negara berkembang dan pulau kecil sempat meninggalkan ruang negosiasi. India langsung mengecam hasil kesepakatan tersebut.
"Saya menyesalkan bahwa dokumen ini tidak lebih dari ilusi optik yang tidak akan mengatasi besarnya tantangan yang kita hadapi," ujar perwakilan delegasi India, Chandni Raina, dikutip dari Reuters.
1. Target pendanaan jauh dari ekspektasi

Kelompok G77 yang mewakili negara-negara berkembang sebelumnya telah mengajukan proposal pendanaan sebesar 500 miliar dolar AS (Rp7.900 triliun) per tahun. Namun proposal ini ditolak negara-negara maju yang menganggapnya tidak realistis mengingat anggaran mereka yang terbatas, dilansir CNN.
Penolakan ini memicu protes keras dari negara-negara berkembang yang merasa diperlakukan tidak adil. Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil (AOSIS) dan kelompok Negara Kurang Berkembang (LDC) bahkan sempat meninggalkan perundingan pada Sabtu sore karena kecewa dengan arah negosiasi.
Kekecewaan juga muncul terkait format pendanaan yang lebih banyak berbentuk pinjaman dibanding hibah. Negara berkembang khawatir mereka akan terjebak utang yang mempersulit upaya pemulihan dari dampak perubahan iklim.
"Kami pulang hanya membawa sebagian kecil dari pendanaan yang sangat dibutuhkan negara-negara rentan iklim," kata utusan Kepulauan Marshall, Tina Stege, dilansir The Guardian.
Pengalaman sebelumnya menambah skeptisme negara berkembang. Kesepakatan pendanaan 100 miliar dolar AS (Rp1.590 triliun) per tahun yang ditargetkan tercapai pada 2020 baru terealisasi pada 2022.
2. Dinamika politik pengaruhi negosiasi

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pada awal November berdampak terhadap jalannya negosiasi. Ancaman Trump untuk kembali menarik AS dari perjanjian iklim membuat negara-negara maju lebih berhati-hati dalam berkomitmen.
Situasi ini diperburuk oleh peran Arab Saudi yang dianggap banyak pihak telah menghambat proses negosiasi. Negara pengekspor minyak terbesar dunia ini berupaya menghapus kesepakatan pengurangan bahan bakar fosil yang sudah dicapai tahun lalu
Kehadiran lebih dari 1.700 pelobi industri bahan bakar fosil dalam konferensi juga menimbulkan keraguan atas keseriusan upaya penanganan krisis iklim. Jumlah ini bahkan melebihi hampir semua delegasi negara yang hadir.
"Ini adalah negosiasi iklim paling mengerikan dalam beberapa tahun terakhir akibat itikad buruk negara-negara maju," kata Tasneem Essop, direktur eksekutif Climate Action Network, dilansir CNN.
Pemilihan Azerbaijan sebagai tuan rumah turut menuai sorotan. Status negara ini sebagai produsen minyak dengan 90 persen ekspornya dari sektor migas dianggap mempengaruhi hasil kesepakatan.
3. Urgensi pendanaan kian mendesak

Tahun 2024 diprediksi akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan suhu global. Kondisi ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan pendanaan yang lebih besar untuk mengatasi krisis iklim.
Dampak cuaca ekstrem telah melanda berbagai belahan dunia. Banjir bandang menewaskan ribuan orang di Afrika, tanah longsor menghancurkan desa-desa di Asia, dan kekeringan parah mengancam sungai-sungai vital di Amerika Selatan.
Kepala iklim PBB Simon Stiell mengakui kesulitan dalam proses negosiasi namun tetap mengapresiasi hasil yang dicapai.
"Ini telah menjadi perjalanan sulit, tapi kita telah menghasilkan kesepakatan. Tujuan pendanaan baru ini merupakan polis asuransi bagi kemanusiaan," tuturnya.
Dana yang disepakati akan dialokasikan untuk membantu negara-negara rentan menghadapi dampak cuaca ekstrem dan melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Meski nominal yang disepakati jauh dari ideal, kesepakatan ini lebih besar dari pendanaan sebelumnya pada tahun 2009.