Saat Korban Sterilisasi Paksa di Jepang Buka Suara

Tokyo, IDN Times - Korban operasi sterelisasi paksa di Jepang mulai berani bersuara. Salah satunya adalah korban dengan nama samaran Junzo Iizuka. Kepada The Guardian, Iizuka menceritakan bahwa operasi tersebut dilakukan terhadapnya tanpa persetujuan.
Iizuka mengaku bahwa operasi terjadi pada tahun 1963. Saat itu, usianya baru 16 tahun. "Saya diberi anestesi dan saya tidak ingat apa pun setelah itu," katanya.
1. Dia dicurigai menderita kelainan mental

Perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu mengaku baru menyadari puluhan tahun setelahnya. Informasi yang didapatnya menyebutkan, tabung uterusnya diikat. Dengan begitu ia tak bisa memiliki keturunan. Iizuka saat itu dipaksa menjalani operasi karena dicurigai memiliki kelainan mental.
Iizuka mengaku sempat mencoba menanyakan tentang kemungkinan normalisasi kesuburannya. Sayangnya, operasi yang dilakukan terhadapnya bersfifat permanen.
2. Jepang lakukan sterelisasi paksa untuk memperbaiki "kualitas" SDM

Iizuka sendiri merupakan 1 dari 16.500 perempuan orang yang menjadi sasaran sterilisasi paksa. Operasi itu dilakukan untuk menghentikan kelahiran anak-anak "inferior".
Langkah itu dilakukan oleh negeri Matahari Terbit tersebut usai kalah dalam perang dunia kedua. Kualitas sumberdaya manusia, saat itu menjadi "tersangka" kekalahan Jepang. Pemerintah pun kemudian membuat sebuah Undang-undang untuk melanggengkan operasi ini.
Undang-undang ini menargetkan orang-orang yang dianggap memiliki penyakit mental. Kesuburan mereka direnggut agar tak memiliki keturunan.
3. Total, ada sekitar 25 ribu orang jadi korban

Undang-undang ini pun membuat ribuan orang jadi korban. Selama kurun 1948 hingga 1996, sekitar 25.000 orang disterilkan menurut hukum.
Parahnya, 16.500 di antaranya tidak menyetujui prosedur tersebut. Pasien termuda yang diketahui berusia sembilan atau 10 tahun. Bahkan, sekitar 70 persen kasus melibatkan perempuan atau anak perempuan.
4. Beberapa korban membawa kasus ini ke ranah hukum

Satu korban sterilisasi paksa memilih untuk menempuh jalur hukum. Diberitakan Japan Times, ia menggugat pemerintah sebesar Rp 1,41 miliar pada akhir Maret lalu. Perempuan yang berasal dari Prefektur Miyagi itu menilai bahwa negara gagal melindungi para penyandang disabilitas.
Sebaliknya, Menteri Kesehatan, Katsunobu Kato, menolak mengomentari kasus tersebut. Ia mengatakan belum menerima dokumen hukum terkait. Kementerian juga mengatakan tidak berencana untuk menyelidikinya. Karena banyak catatan sterilisasi paksa telah dibuang oleh kantor pemerintah.
5. Sudah dihapuskan sejak 1996, diskriminasi terhadap difabel masih tinggi

Meskipun ketentuan sterilisasi paksa akhirnya dihapuskan pada tahun 1996, namun diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Jepang masih cukup tinggi.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan terjadi Pada Juli 2016 lalu. Saat itu, 19 orang ditikam hingga mati di sebuah rumah khusus digabel di Sagamihara, barat daya Tokyo. Seorang mantan karyawan rumah itu dituduh melakukan pembantaian tersebut. Sebab, sebelumnya ia menulis tentang memimpikan dunia tanpa penyandang disabilitas.



















