PBB: Singapura Berhasil Menekan Ekspor Senjata ke Junta Myanmar

Jakarta, IDN Times - Singapura telah merespons tekanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menekan penjualan senjata melalui wilayahnya ke Myanmar. Langkah ini dianggap memberikan pukulan telak bagi para jenderal Myanmar yang merebut kekuasaan melalui kudeta tiga tahun lalu.
Menurut Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, Singapura langsung menanggapi laporannya pada 2023. Laporan tersebut mengungkap bahwa entitas yang berbasis di Singapura telah menjadi sumber terbesar ketiga bahan dan senjata ke militer Myanmar dan krusial bagi pengadaan senjata mereka.
"Laporan lanjutan saya kepada Dewan HAM menemukan bahwa ekspor bahan senjata dari Singapura ke Myanmar telah turun 83 persen," ujar Andrews dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (12/4/2024).
1. Laporan PBB ungkap keterlibatan perusahaan Singapura dalam transfer senjata ke Myanmar
Laporan berjudul "The Billion Dollar Death Trade" yang dirilis Andrews pada 2023 mengungkap transfer senjata dan bahan terkait dari berbagai negara senilai lebih dari 1 miliar dolar AS (sekitar Rp16 triliun) kepada junta militer Myanmar.
Di antaranya, ditemukan 138 perusahaan berbasis Singapura yang terlibat dengan total transfer senjata senilai 254 juta dolar AS (Rp4 triliun) ke Myanmar dari 2021 hingga 2022.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Singapura menyatakan, pemerintah menghargai upaya Andrews dalam memberikan informasi untuk membantu penyelidikan Singapura terkait kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan.
2. Singapura diam-diam perketat pengawasan terhadap Myanmar
Zachary Abuza, profesor di National War College, berpendapat bahwa Singapura telah diam-diam memperketat pengawasan terhadap Myanmar.
"Meskipun ada yang bisa mereka lakukan lebih banyak lagi, Singapura pantas mendapat banyak pujian karena diam-diam menekan pemerintah militer dalam setahun terakhir," tuturnya.
Selama beberapa dekade, Singapura menjadi saluran keuangan utama bagi Myanmar. Namun, lingkungan itu menjadi kurang permisif bagi junta dan kroninya, memaksa mereka mengalihkan transaksi melalui yurisdiksi yang berbeda. Meski tidak menghentikan arus keuangan, hal ini membebankan biaya baru bagi mereka.
3. Rusia, China, dan India masih pasok senjata ke Myanmar

Laporan Andrews mengungkapkan bahwa Rusia dan China masih menjadi sumber utama sistem senjata canggih bagi militer Myanmar. Sejak kudeta, Rusia telah memasok senjata senilai lebih dari 400 juta dolar AS (sekitar Rp6,4 triliun), sementara China mencapai Rp4,1 triliun.
Bulan lalu, pada peringatan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Alexander Fomin kembali menjadi tamu kehormatan, meskipun banyak negara memilih untuk memboikot acara tersebut.
Selain itu, India juga disebut masih mengirim senjata ke Myanmar, meskipun jumlahnya tidak sebesar Rusia dan China. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk menghentikan pasokan senjata ke junta militer Myanmar masih menghadapi tantangan besar.