Pemerintah Mali Akhiri Perjanjian Damai dengan Pemberontak Tuareg

Jakarta, IDN Times - Juru bicara pemerintah junta militer Mali Abdoulaye Maiga, mengumumkan pembatalan perjanjian damai tahun 2015 dengan pemberontak Tuareg. Perjanjian tersebut disepakati di Aljazair pada 2015 lalu dan ditengahi oleh PBB.
Dalam pernyataan pada Kamis (25/1/2024), Perjanjian Aljazair diputuskan telah berakhir karena para penandatangan tidak menepati komitmen. Mereka juga marah karena Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune, pada Februari menjamu para pemberontak.
1. Peningkatan tindakan tidak bersahabat
Maiga mengatakan ada peningkatan jumlah tindakan yang tidak bersahabat. Selain itu, ada juga peningkatan permusuhan dan campur tangan dalam urusan dalam negeri Mali yang dilakukan Aljazair.
Dilansir Associated Press, Bamako telah memanggil duta besar Aljazair bulan lalu atas intervensi dan tindakan yang tidak bersahabat. Aljir dinilai mengadakan pembicaraan dengan pemberontak separatis Tuareg tanpa melibatkan Mali.
Kementerian Luar Negeri Aljazair menyesal atas keputusan Mali dan membantah berupaya menentang perjanjian itu.
"Rakyat Mali harus tahu bahwa keputusan-keputusan yang disayangkan dan tidak diinginkan tersebut telah membuktikan di masa lalu bahwa opsi militer adalah ancaman pertama terhadap persatuan dan integritas wilayah Mali," katanya.
2. Kelompok Tuareg tidak terkejut
Salah satu pihak dalam perjanjian tersebut adalah kelompok Coordination of Azawad Movements (CMA) yang terdiri dari aliansi suku-suku yang didominasi Tuareg. Mereka mengaku tidak terkejut dengan keputusan pemerintah junta.
"Kami telah memperkirakan hal ini sejak mereka mendatangkan Wagner, mengusir MINUSMA (penjaga perdamaian PBB) dan memulai permusuhan dengan menyerang posisi kami di lapangan," kata juru bicara CMA Mohamed Elmaouloud Ramadane dikutip dari Al Jazeera.
Perjanjian Aljazair mulai rusak pada Agustus tahun lalu ketika pertempuran terjadi antara CMA dengan pasukan pemerintah meningkat. Peningkatan pertempuran terjadi saat misi PBB yang telah berlangsung 10 tahun di negara itu juga berakhir.
3. PBB serukan pentingnya dialog

Sampai saat ini, ketika pasukan PBB telah pergi dari Mali, pertempuran terus berlanjut antara pasukan pemerintah dengan pejuang separatis CMA.
Dewan Keamanan PBB pada Januari, telah memperingatkan pentingnya tetap berpegang pada perjanjian damai 2015 dan menyerukan semua pihak untuk melanjutkan dialog, kutip RFI.
Kekerasan di Mali terjadi pada 2012 saat militan ISIS dan al-Qaeda membajak kelompok separatis Tuareg. Kelomopok separatis saat itu menginginkan otonomi wilayah gurun yang disebut Azawad.
Ketika perjanjian damai disepakati pada 2015 bersama CMA, ISIS dan al-Qaeda terus melakukan penyerangan dan pembunuhan warga sipil. Bahkan gerakan mereka menyebar ke negara-negara tetangga.