Singapura Kecewa Kinerja ASEAN Tangani Krisis Myanmar Lambat

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengakui bahwa peran ASEAN dalam menyudahi krisis Myanmar sangat lambat dan mengecewakan. Kendati KTT ASEAN pada April 2021 lalu menghasilkan konsensus lima poin, Myanmar tampaknya enggan untuk mematuhi kesepakatan tersebut.
Di sisi lain, upaya ASEAN untuk menekan Myanmar agar mematuhi konsensus, termasuk melepas tahanan politik dan menghentikan kekerasan terhadap warga sipil, belum juga optimal. Lebih ironis lagi, ASEAN bahkan belum memutuskan siapa sosok yang layak menjadi utusan khusus dalam kasus Myanmar.
"Kami menyadari bahwa pelaksanaan Konsensus Lima Poin berjalan lambat dan sedikit mengecewakan," kata Balakrishnan dalam jawaban tertulis atas pertanyaan parlemen, dikutip dari Reuters.
1. ASEAN terus mengupayakan aktualisasi konsensus lima poin

Balakrishnan menegaskan ASEAN tidak akan kehilangan komitmennya untuk memfasilitasi dan mendukung aktualisasi konsensus lima poin, meskipun dia sadar prosesnya akan sulit dan membutuhkan waktu lama.
“Kami bekerja di dalam ASEAN untuk mempercepat proses ini, dengan maksud untuk meringankan situasi kemanusiaan, menghentikan kekerasan di Myanmar, dan mengembalikannya ke jalur negosiasi langsung oleh semua pemangku kepentingan yang akan mengarah pada keadaan normal, perdamaian, dan stabilitas bagi negara-negara ASEAN jangka panjangnya,” papar dia.
2. Skala krisis ditakutkan meluas hingga mengganggu tatanan kawasan

Sementara itu, Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khawatir kerusuhan politik di Myanmar memicu ketidakamanan Asia Tenggara. Hal itu disebabkan perang sipil, konflik antara aparat dengan masyarakat, sudah berada di ujung mata.
“Krisis politik telah berkembang menjadi bencana hak asasi manusia multi-dimensi,” kata Kepala Badan HAM PBB, Michelle Bachelet, pada Selasa (6/7/2021) sebagaimana diberitakan Channel News Asia.
"Penderitaan dan kekerasan di seluruh negeri adalah prospek yang menghancurkan bagi pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kemungkinan kegagalan negara atau perang saudara yang lebih luas," katanya.
3. Hampir 900 warga sipil tewas akibat kekerasan junta

Sejak kudeta, hampir 900 orang tewas dan sekitar 200 ribu orang terpaksa meninggalkan rumahnya. Pada saat yang sama, setidaknya 5.200 orang telah ditangkap secara sewenang-wenang, termasuk lebih dari 90 wartawan dan delapan media dibredel paksa.
Selain data di atas, kepada Dewan HAM PBB, Bachelet juga menunjukkan beberapa laporan soal penghilangan paksa hingga penyiksaan para tahanan secara brutal. Dia menyebut masyarakat Myanmar saat ini berada dalam keputusasaan, sebab semua orang mulai mengangkat senjata demi melindungi diri dan menentang junta.
"Kelompok oposisi bersenjata yang baru dibentuk ini telah melancarkan serangan di beberapa lokasi, yang ditanggapi oleh pasukan keamanan dengan kekuatan yang tidak proporsional. Saya khawatir eskalasi kekerasan ini dapat memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi warga sipil," katanya.