Sri Lanka Loloskan RUU Kontroversial yang Atur Konten Online

Jakarta, IDN Times - Parlemen Sri Lanka menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) peraturan internet pada Rabu (24/1/2024). Aturan tersebut banyak dikritik karena dianggap sebagai tindakan membungkam kebebasan pendapat di saat negara memasuki tahun pemilu.
Dilansir Associated Press, aturan baru tersebut memungkinkan pemerintah untuk membentuk komisi keamanan yang ditunjuk oleh presiden dengan kewenangan yang luas, termasuk memerintahkan masyarakat dan penyedia layanan internet untuk menghapus unggahan online yang dianggap sebagai pernyataan terlarang.
Selain itu, komisi tersebut juga dapat mengejar secara hukum orang-orang yang mempublikasikan unggahan terlarang.
Pemerintah Presiden Ranil Wickremesinghe mengesahkan RUU tersebut di dewan yang beranggotakan 225 orang. RUU resmi diadopsi dengan suara 108 berbanding 62, di mana koalisi yang berkuasa menguasai suara. Hanya 62 anggota parlemen yang memberikan suara menentang RUU kontroversial tersebut.
1. RUU kontroversial tersebut dinilai akan merusak kebebasan
Anggota parlemen oposisi mengkritik RUU tersebut karena dinilai menciptakan lingkungan yang sangat menindas. Media, internet, dan kelompok hak-hak sipil telah meminta pemerintah untuk mencabut RUU tersebut, dengan mengatakan bahwa hal tersebut akan merusak kebebasan.
Human Rights Watch mengatakan, RUU tersebut akan menciptakan undang-undang represif yang luas dan tidak jelas.
Koalisi Internet Asia (AIC), yang beranggotakan Apple, Amazon, Google dan Yahoo, mengatakan RUU tersebut akan melemahkan pertumbuhan dan investasi asing langsung (FDI) untuk ekonomi digital Sri Lanka.
"Meskipun perusahaan-perusahaan anggota kami sangat memperhatikan keamanan online bagi mereka yang menggunakan layanan mereka, undang-undang tidak boleh menghambat inovasi dengan membatasi debat publik dan pertukaran ide yang dapat berdampak pada ekonomi digital," ungkap Direktur Pelaksana AIC, Jeff Paine, dikutip dari CNN.
2. Sri Lanka sebut RUU akan mengatasi kejahatan dunia maya

Menteri Keamanan Publik Sri Lanka, Tiran Alles, yang memperkenalkan RUU tersebut di Parlemen, mengatakan aturan baru akan mengatasi masalah terkait penipuan online, penyalahgunaan, dan pernyataan palsu yang mengancam keamanan serta stabilitas nasional.
Dia mengungkapkan, lebih dari 8 ribu pengaduan telah diajukan pada tahun lalu terkait kejahatan online, termasuk pelecehan seksual, penipuan keuangan, pelecehan dunia maya, dan pencurian data.
"Hal ini bukan untuk menindas media atau oposisi. Setiap pengaduan akan ditanggapi oleh komisi, yang akan ditunjuk oleh presiden, dan mereka akan memutuskan bagaimana tindakan yang harus diambil," ujar Alles, dilansir Al Jazeera.
3. Aktivis dan oposisi Sri Lanka memprotes keputusan parlemen
Setelah pemungutan suara pada Rabu, sekelompok kecil aktivis dan anggota oposisi melakukan protes di luar parlemen. Anggota parlemen dari oposisi utama, Harsha de Silva, mengatakan bahwa undang-undang tersebut merupakan ancaman bagi demokrasi Sri Lanka.
"Hal ini akan mempunyai dampak negatif yang parah terhadap perluasan e-commerce di Sri Lanka, dalam menyediakan lapangan kerja bagi kaum muda dan membantu perekonomian kita, yang sangat membutuhkan pertumbuhan," ucap Harsha.
Pada Selasa (23/1/2024), ketika anggota parlemen mulai memperdebatkan RUU tersebut, anggota oposisi utama, Eran Wickramaratne, mengatakan dia tidak mengerti mengapa pemerintah terburu-buru untuk mengesahkan RUU tersebut.
Menurutnya, perlu waktu lebih banyak dan pendekatan yang lebih baik dalam mengesahkan undang-undang yang penting tersebut.