Tolak Usulan Trump, Mesir Siapkan Alternatif Rencana Rekonstruksi Gaza

Jakarta, IDN Times - Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi sedang mempersiapkan rencana komprehensif untuk membangun kembali Jalur Gaza tanpa menggusur warga Palestina. Rencana itu menjadi alternatif dari usulan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terkait wilayah kantong Palestina tersebut.
Dilansir Anadolu, Trump berulang kali menyerukan rencana pengambilalihan Gaza dan memukimkan kembali penduduknya untuk mengembangkan apa yang disebutnya Riviera di Timur Tengah. Rencana tersebut ditolak oleh negara-negara Arab dan banyak negara lainnya, yang menganggapnya sebagai pembersihan etnis.
Proses dari rencana Mesir akan diserahkan untuk sementara kepada kendali komite dukungan sosial atau komunitas. Tidak ada anggota Hamas yang akan duduk di komite tersebut. Rekonstruksi diperkirakan akan memakan waktu tiga hingga lima tahun, dengan 65 persen properti di Gaza telah hancur.
Negara-negara Arab, terutama Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar, juga bersiap untuk memberikan penawaran keuangan untuk mendanai rekonstruksi terebut. Namun, dengan catatan bahwa warga Palestina diberikan hak untuk tetap berada di Gaza dan tidak dipaksa untuk mencari perlindungan di Mesir atau Yordania.
1. Rencana rekonstruksi berkoordinasi dengan pihak Palestina dan Arab
Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, mengatakan rencana rekonstruksi Gaza dilakukan melalui koordinasi dengan pihak Palestina dan Arab, serta dukungan internasional.
Dia menekankan perlunya cakrawala politik untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun tersebut dan memutus siklus kekerasan yang berulang.
Abdelatty menguraikan upaya intensif Mesir untuk mengembangkan rencana multi-fase yang komprehensif untuk pemulihan dini dan rekonstruksi di Gaza, Itu memastikan bahwa warga Palestina tetap berada di tanah mereka. Rencana tersebut akan dibahas dan diungkapkan dalam KTT Arab yang diadakan di Riyadh pada 27 Februari mendatang.
Diplomat Mesir itu menegaskan kembali dukungan pihaknya untuk pembentukan negara Palestina yang mencakup Tepi Barat dan Gaza, berdasarkan solusi dua negara. Presiden Sisi mengatakan bahwa hal tersebut adalah satu-satunya jaminan tercapainya perdamaian abadi.
2. Posisi Hamas dalam rencana rekonstruksi Gaza

Sejauh ini, Arab Saudi belum secara eksplisit menyerukan agar Hamas dikeluarkan dari proses rekonstruksi atau pemerintahan Gaza.
Namun, sekretaris jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, baru-baru ini menyerukan agar milisi perlawanan Palestina itu mundur dari pemerintahan Gaza dan menyebutnya sebagai hal yang pantas dan rasional.
"Kepentingan rakyat Palestina harus didahulukan di atas kepentingan gerakan (Hamas), terutama mengingat seruan untuk mengusir warga Palestina dari Gaza, dan akibat dari perang yang menghancurkan Jalur Gaza serta mengoyak tatanan kemanusiaan dan sosialnya sebagai akibat dari keputusan-keputusan tersebut," ungkap pejabat Liga Arab itu.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, tidak mengesampingkan adanya alternatif terhadap rencana Trump. Namun, Rubio mengatakan bahwa rencana apa pun yang menempatkan Hamas di Jalur Gaza akan menjadi masalah, karena Israel tidak akan menoleransi hal tersebut, dan dengan demikian akan kembali ke titik awal, dilansir The Guardian.
3. Tantangan menyeimbangkan kestabilan politik dalam negeri dan bantuan luar negeri

Sejak 1946, AS telah memberi Mesir lebih dari 85 miliar dolar AS (setara Rp1.378 triliun) bantuan luar negeri bilateral, termasuk bantuan militer dan ekonomi. Kairo merupakan penerima bantuan luar negeri AS terbesar kelima pada 2023, di mana 85 persen di antaranya untuk sektor militer, mengutip Al Jazeera.
Meski bantuan asing sangat penting bagi kelangsungan pemerintahan Mesir, perdamaian politik dalam negeri juga tak kalah penting. Kondisi politik dapat menjadi tidak stabil jika pengusiran warga Palestina dibiarkan. Kairo tidak punya pilihan selain bekerja sama dengan negara-negara Arab untuk menyusun proposal tandingan yang dapat dipertahankan bersama.
"Namun, jika Trump tetap bertahan (dengan rencananya), hal ini dapat menempatkan Mesir dalam posisi yang sulit. Di saat Mesir terus menghadapi tantangan ekonomi yang semakin besar terkait dengan utang dan inflasi, hal ini dapat memberikan dampak yang signifikan," kata dosen studi pemulihan pascaperang di Universitas York, Jacob Eriksson.