Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

UEA Tolak Gabung Pasukan Internasional Gaza Tanpa Mandat Jelas

bendera Uni Emirat Arab
bendera Uni Emirat Arab (unsplash.com/Saj Shafique)
Intinya sih...
  • UEA menolak bergabung dalam Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza tanpa mandat yang jelas
  • Dr. Anwar Gargash menegaskan bahwa UEA perlu kejelasan sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pasukan tersebut
  • Mandat ISF dinilai terlalu luas dan beberapa negara lain seperti Yordania, Israel, dan Azerbaijan juga ragu-ragu untuk bergabung
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times- Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan kemungkinan besar tidak akan bergabung dengan Pasukan Stabilisasi Internasional di Gaza (ISF) yang dipimpin Amerika Serikat (AS). Keputusan ini diambil karena Abu Dhabi merasa belum melihat kerangka kerja atau mandat yang jelas untuk misi tersebut.

Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Anwar Gargash, penasihat diplomatik untuk Presiden UEA, dalam sebuah konferensi di Abu Dhabi pada Senin (10/11/2025). Pasukan Internasional Gaza sendiri adalah fase selanjutnya dari gencatan senjata yang rapuh di Gaza.

1. UEA perlu kejelasan sebelum kirim pasukan ke Gaza

Dr. Anwar Gargash menegaskan posisi UEA dalam acara Debat Strategis Abu Dhabi. Ia menekankan bahwa negaranya perlu kejelasan sebelum memutuskan untuk bergabung dalam pasukan tersebut.

"Kami belum melihat kerangka kerja yang jelas untuk pasukan stabilisasi, dan dalam keadaan seperti itu, kami kemungkinan besar tidak akan berpartisipasi dalam pasukan semacam itu,” kata Gargash, dilansir The National.

Namun, ia menambahkan bahwa UEA akan terus mendukung semua upaya politik untuk perdamaian di Gaza. Dr. Gargash juga meyakinkan UEA akan tetap menjadi penyedia bantuan kemanusiaan terdepan bagi warga Gaza.

UEA sebelumnya masuk dalam daftar negara Muslim yang dipertimbangkan untuk berkontribusi pada ISF. AS dilaporkan telah mendekati beberapa negara mayoritas Muslim agar berkontribusi dalam pasukan ini. Sementara itu, Dr. Gargash mengakui rencana perdamaian Gaza yang ditengahi AS cukup signifikan, tapi belum sempurna.

2. Mandat pasukan internasional dinilai terlalu luas

ISF yang diusulkan oleh AS merupakan bagian dari inisiatif yang lebih luas untuk menstabilkan kawasan pasca-gencatan senjata. Gencatan senjata yang ditengahi AS tersebut mulai berlaku pada 10 Oktober 2025 setelah dua tahun pertempuran.

Washington telah menyusun draf resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengusulkan mandat ISF selama minimal dua tahun. Rencananya, ISF akan bertugas membantu mengamankan perbatasan, melindungi pengiriman bantuan, dan mendukung kepolisian Palestina yang baru dilatih, dilansir The Straits Times.

Dalam draf tersebut, ISF diberi wewenang untuk menggunakan semua tindakan yang diperlukan untuk demiliterisasi Gaza. Bagian inilah yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara Arab karena mandatnya dinilai terlalu luas. Mereka menilai, mandat ini akan melebar ke tugas pemerintahan baru Gaza yang seharusnya dijalankan oleh warga Palestina.

“Rakyat Palestina sudah cukup menderita. Mereka pantas mendapatkan keadilan dan perdamaian, serta sebuah negara di mana mereka hidup berdampingan dengan Israel yang aman,” ungkap Dr. Gargash.

3. Beberapa negara lain enggan kirim pasukan ke Gaza

Selain UEA, negara-negara lain di kawasan juga masih ragu-ragu untuk bergabung dalam ISF. Misalnya, Yordania yang sejak awal menyatakan bahwa mereka tidak akan mengirimkan pasukan.

Israel telah menolak partisipasi Turki dalam pasukan tersebut, meskipun Turki dianggap penting karena memiliki hubungan dengan Hamas. Sementara itu, Azerbaijan tidak berencana mengirim pasukan kecuali gencatan senjata penuh telah tercapai di Gaza.

Terlepas dari keraguan-keraguan ini, Presiden AS, Donald Trump menyatakan, misi ini akan segera dikerahkan ke Gaza. Namun, Israel dikabarkan menentang dimasukkannya referensi mengenai solusi dua negara dalam draf resolusi.

"Sangat penting untuk memastikan pasukan tersebut dikerahkan bukan untuk menstabilkan pendudukan ilegal Israel, tapi untuk menegakkan hukum internasional dan mengakhirinya," ujar Jamal Nusseibeh, warga AS-Palestina yang turut merancang gencatan senjata, dilansir The Guardian.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us

Latest in News

See More

Warga India Demo Protes Polusi Udara, Minta Pemerintah Bertindak

12 Nov 2025, 07:09 WIBNews