UNICEF: 1 dari 3 Warga Palestina di Gaza Tidak Makan Berhari-hari

- 169 orang meninggal akibat kelaparan di Gaza, termasuk 93 anak-anak, sejak Oktober 2023.
- Hanya 73 truk bantuan yang masuk ke Gaza pada Jumat, jauh dari minimal 600 truk yang dibutuhkan setiap hari.
- Warga Palestina di Gaza juga menghadapi ketidakamanan dan kekosongan total dalam hal keamanan dan kekuasaan.
Jakarta, IDN Times - Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) menyatakan bahwa masyarakat Gaza menghadapi risiko kelaparan yang sangat parah, dengan satu dari tiga orang di sana tidak makan selama berhari-hari. Lembaga tersebut mendesak komunitas internasional untuk bertindak cepat guna mengatasi krisis tersebut.
“Saat ini, lebih dari 320 ribu anak kecil berisiko mengalami kekurangan gizi akut,” kata Ted Chaiban, wakil direktur eksekutif UNICEF untuk aksi kemanusiaan dan operasi pasokan, dalam sebuah pernyataan pada Jumat (1/8/2025).
Ia menyebutkan bahwa indikator malnutrisi di Gaza telah melewati ambang kelaparan parah.
“Hari ini, saya ingin tetap fokus pada Gaza, karena di sanalah penderitaan paling parah terjadi dan anak-anak meninggal dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita berada di persimpangan jalan, dan pilihan yang diambil saat ini akan menentukan apakah puluhan ribu anak akan hidup atau mati," ujarnya.
1. 169 orang meninggal akibat kelaparan di Gaza
Dilansir dari Anadolu, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa tujuh warga Palestina, termasuk seorang anak, meninggal dunia akibat kelaparan dan kekurangan gizi pada Sabtu (2/8/2025). Dengan demikian, jumlah kematian akibat kelaparan di Jalur Gaza telah mencapai 169 orang, termasuk 93 anak-anak, sejak Oktober 2023.
“Situasinya memburuk dengan cepat,” kata kementerian, seraya menyerukan intervensi segera dari komunitas internasional dan organisasi kemanusiaan.
Israel mulai memblokir masuknya bantuan makanan ke Gaza pada Maret 2025. Blokade tersebut dilonggarkan pada akhir Mei, dengan distribusi bantuan diambil alih oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), lembaga yang didukung oleh Israel dan Amerika Serikat (AS).
Namun, menurut data PBB, lebih dari 1.300 warga Palestina telah terbunuh saat berusaha mendapatkan makanan dari pusat-pusat bantuan milik GHF. Para pengungkap fakta (whistleblower) mengungkapkan bahwa sebagian besar korban sengaja ditembak oleh tentara Israel atau kontraktor keamanan AS yang disewa oleh GHF.
2. Hanya 73 truk bantuan yang masuk ke Gaza pada Jumat
Pada Sabtu, Kantor Media Pemerintah di Gaza melaporkan bahwa hanya 73 truk bantuan kemanusiaan yang memasuki Jalur Gaza pada Jumat. Sebagian besar di antaranya bahkan dijarah akibat kekosongan keamanan.
Pihak berwenang sebelumnya menyatakan bahwa minimal 600 truk bantuan dan bahan bakar harus memasuki wilayah tersebut setiap hari demi memenuhi kebutuhan mendesak lebih dari 2 juta penduduk Gaza.
Sementara itu, beberapa negara Barat dan Arab mulai melakukan pengiriman bantuan melalui udara awal pekan ini. Namun, lembaga-lembaga bantuan tidak yakin bahwa metode ini dapat menyediakan cukup makanan secara aman demi mengatasi krisis parangan yang semakin parah di Gaza.
“Lihatlah, pada tahap ini, semua metode harus digunakan — setiap pintu masuk, setiap rute, setiap cara pengiriman — tetapi bantuan udara tidak bisa menggantikan volume dan skala yang dapat dicapai oleh konvoi melalui darat,” kata pejabat UNICEF, Chaiban.
3. Warga juga hadapi ketidakamanan
Ahmed al-Najjar, seorang jurnalis Gaza yang mengungsi di Khan Younis, mengatakan bahwa warga Palestina di wilayah tersebut menghadapi tragedi dan siksaan di tengah gempuran bom, kelaparan, dan perasaan tidak aman.
“Kami tidak hanya berbicara tentang ketakutan terus-menerus akan bom Israel yang dijatuhkan di atas kepala kami, tetapi juga tentang kekosongan total dalam hal keamanan dan kekuasaan, yang membuat kami di sini merasa tidak yakin dan tidak aman atas keselamatan kami sendiri,” kata al-Najjar kepada Al Jazeera.
Ia mengungkapkan bahwa berjalan di luar dan pergi membeli sekantong tepung atau kebutuhan pokok lainnya sudah membuat orang merasa tidak yakin apakah mereka bisa pulang dengan selamat.
“Tidak ada kehadiran polisi atau pasukan keamanan di jalanan; kami justru menyaksikan penargetan terus-menerus dan sistematis terhadap aparat kepolisian di dalam ‘zona aman’ ini," tambahnya.