Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Undang-Undang Perlindungan Anak Perlu Direvisi?

ilustrasi pidana anak (pexels.com/Kindel Media)
Intinya sih...
  • Undang-undang memosisikan anak sebagai subjek hukum aktif
  • Perlindungan hukum berpotensi disalahgunakan oleh pelaku anak
  • Sistem rehabilitasi tidak selalu efektif membentuk karakter anak

Di Indonesia, keberadaan undang-undang perlindungan anak awalnya disusun untuk menjamin hak-hak dasar anak dalam tumbuh, berkembang, serta mendapatkan perlakuan yang adil dan bermartabat. Namun, dalam praktiknya, banyak perdebatan muncul mengenai efektivitas dan dampaknya terhadap masyarakat secara luas. Sebagian menganggap undang-undang ini adalah langkah progresif yang penting untuk menjaga generasi muda dari kekerasan maupun eksploitasi. Tapi tidak sedikit pula yang menilai bahwa penerapan undang-undang ini terkadang malah menguntungkan pihak yang seharusnya diberi sanksi, terutama dalam kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku.

Beberapa kasus memperlihatkan bagaimana pelaku kejahatan yang masih di bawah umur justru mendapat perlindungan yang dinilai terlalu longgar, hingga menimbulkan ketidakadilan bagi korban. Hal ini membuat sebagian pihak mempertanyakan apakah undang-undang ini masih relevan atau justru perlu ditinjau ulang secara menyeluruh. Apakah benar undang-undang ini melindungi masa depan anak, atau justru memberi celah pada tindakan yang membahayakan? Berikut lima sudut pandang yang bisa dipertimbangkan sebelum mengambil kesimpulan.

1. Undang-undang menempatkan anak sebagai subjek bukan objek

ilustrasi anak remaja (pexels.com/cottonbro studio)

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seorang individu yang belum berusia 18 tahun termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Pendekatan hukum ini menempatkan anak sebagai subjek hukum aktif yang memiliki hak dan perlindungan, bukan sekadar objek yang pasif. Tujuannya agar anak-anak tidak hanya dipandang sebagai pihak yang perlu diawasi, melainkan juga pihak yang berhak dilibatkan dalam sistem hukum secara manusiawi.

Dalam konteks pelanggaran hukum oleh anak, undang-undang ini mengatur pendekatan keadilan restoratif, bukan penghukuman konvensional. Artinya, proses hukum diarahkan untuk mendidik dan merehabilitasi, bukan semata-mata menghukum. Hal ini penting untuk membentuk perilaku anak agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun jika dilihat dari sisi korban atau masyarakat umum, pendekatan ini sering kali menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan efek jera terhadap anak sebagai pelaku.

2. Perlindungan hukum berpotensi disalahgunakan oleh pelaku anak

ilustrasi hukum (pexels.com/Sora Shimazaki)

Dalam berbagai kasus kejahatan, terutama yang dilakukan oleh anak-anak remaja, sering muncul anggapan bahwa mereka "kebal hukum" karena usia yang belum dewasa. Padahal, sistem hukum sebenarnya tetap mengatur sanksi, hanya saja bentuknya berbeda dari orang dewasa. Namun dalam praktiknya, anak-anak yang berperilaku menyimpang kadang justru memanfaatkan ketentuan hukum ini sebagai tameng untuk menghindari konsekuensi hukum yang serius.

Banyak pelaku kejahatan remaja yang mengulangi tindakannya lagi dan lagi karena merasa aman dari hukuman penjara. Proses hukum yang terlalu lunak, bahkan kadang hanya berhenti di tahap mediasi, bisa memunculkan pola pikir permisif. Dalam konteks ini, undang-undang yang bertujuan melindungi justru bisa menjadi celah yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi tentang bagaimana hukum ini bisa tetap humanis tanpa mengorbankan prinsip keadilan.

3. Sistem rehabilitasi tidak selalu efektif membentuk karakter anak

ilustrasi pidana anak (pexels.com/Kindel Media)

Salah satu alasan kenapa pelaku anak tidak langsung dipenjara adalah karena sistem peradilan anak di Indonesia lebih menekankan pada rehabilitasi dibandingkan hukuman. Menurut pendekatan ini, anak yang berbuat salah dianggap masih bisa diperbaiki. Namun permasalahan muncul ketika program rehabilitasi yang dijalankan tidak didukung oleh fasilitas dan pendamping yang memadai.

Ketika lembaga pembinaan anak kekurangan tenaga profesional atau memiliki metode pembinaan yang tidak sesuai kebutuhan, maka proses rehabilitasi bisa gagal. Anak hanya menjalani formalitas tanpa mengalami perubahan perilaku yang signifikan. Bahkan, beberapa anak bisa justru mendapat pengaruh buruk dari sesama anak dalam sistem pembinaan. Inilah yang membuat efektivitas sistem ini patut dipertanyakan dan perlu diperkuat dari sisi sumber daya serta pengawasan.

4. Perlindungan hukum yang terlalu longgar bisa melemahkan wibawa hukum

ilustrasi pidana anak (pexels.com/Kindel Media)

Dalam masyarakat, hukum harus punya daya paksa, guna menciptakan efek jera dan menjaga ketertiban yang ada. Ketika undang-undang perlindungan anak terlalu condong pada aspek perlindungan, sementara sisi penegakan hukum terhadap perilaku menyimpang tidak tegas, maka wibawa hukum bisa luntur. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa anak bisa berbuat semaunya karena tidak ada sanksi nyata.

Apalagi di era media sosial, banyak anak yang mengekspos perbuatan menyimpang mereka dengan rasa bangga. Secara tidak langsung hal ini bisa menunjukkan bahwa persepsi tentang hukum sebagai alat pendidikan mulai kabur. Masyarakat pun bisa kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia karena ketidakseimbangan antara perlindungan dan tanggung jawab. Maka dari itu, penting untuk menegaskan bahwa perlindungan anak bukan berarti kebebasan tanpa batas.

5. Penyesuaian hukum perlu disesuaikan dengan perkembangan sosial

ilustrasi pidana anak (pexels.com/Kindel Media)

Lingkungan sosial dan karakter anak zaman sekarang jauh berbeda dibandingkan dua dekade lalu saat undang-undang ini pertama kali disusun. Perubahan teknologi, akses informasi, dan pola asuh keluarga berpengaruh besar terhadap perilaku anak. Sayangnya, hukum kita belum sepenuhnya mengikuti dinamika tersebut. Akibatnya, ada kesenjangan antara kebutuhan di lapangan dengan perlindungan yang tersedia secara hukum.

Beberapa ahli hukum menyarankan adanya pembaruan regulasi berdasarkan hasil kajian multidisipliner. Perlindungan tetap perlu diberikan, tetapi kerangka hukum harus lebih responsif terhadap perkembangan zaman. Misalnya, kasus kekerasan digital atau perundungan siber yang melibatkan anak kini makin kompleks dan tak cukup hanya ditangani dengan mekanisme lama. Undang-undang harus mampu menjawab tantangan kontemporer tanpa kehilangan esensi perlindungan terhadap anak.

Undang-undang perlindungan anak memang lahir dari niat baik untuk melindungi generasi penerus bangsa. Namun, tantangan sosial yang terus berkembang menuntut adanya evaluasi terhadap pelaksanaannya. Perlindungan harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab, agar anak-anak kelak tumbuh sebagai pribadi yang adil dan bertanggung jawab. Menghapus undang-undang bukan solusi, tapi memperbaikinya agar lebih relevan dan adil, bisa menjadi langkah yang lebih bijak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us