Efek Ramadan-Lebaran ke Perekonomian Tak Secerah Harapan Pemerintah

- Masyarakat menahan diri untuk berbelanja selama Ramadan dan Lebaran tahun ini.
- Perputaran uang selama libur Lebaran 2025 diprediksi turun sekitar Rp20 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.
Jakarta, IDN Times - Momen Ramadan dan Lebaran selalu menjadi periode yang biasanya memberi dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Namun tahun ini, kontribusi konsumsi Ramadan dan Lebaran terhadap ekonomi pada kuartal I-2025 diperkirakan tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Antusiasme masyarakat yang biasanya memuncak seiring dengan datangnya Ramadan diikuti dengan Lebaran, sepertinya mulai meredup seiring dengan sejumlah faktor domestik yang mendorong masyarakat lebih menahan daya beli dan memilih untuk menabung. Perputaran uang di momen ini tak seramai periode yang sama tahun sebelumnya.
1. Pemudik turun, perputaran uang ikut susut

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memprediksi perputaran uang selama libur Lebaran 2025 akan mencapai Rp137 triliun. Angka ini turun sekitar Rp20 triliun dibandingkan tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp157,3 triliun.
Penurunan tersebut merupakan imbas dari berkurangnya jumlah pemudik, yang hanya sekitar 146,48 juta orang, atau sekitar 52 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut menunjukkan penurunan sebesar 24 persen dibandingkan tahun lalu, dengan jumlah pemudik sebanyak 193,6 juta orang.
"Jika tahun lalu asumsi perputaran uang selama Idul Fitri 2024 mencapai Rp157,3 triliun, maka asumsi perputaran uang libur Idul Fitri 2025 diprediksi mencapai Rp137,975 triliun," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Sarman Simanjorang dalam keterangan tertulis, Rabu (19/3/2025).
2. Maraknya PHK picu lesunya daya beli

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan perputaran uang, yakni terkait jarak libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) dengan Idul Fitri. Kemudian dengan kondisi ekonomi saat ini seperti maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), masyarakat disebut cenderung berhemat.
Bila mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), komponen konsumsi rumah tangga masih menjadi faktor utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal IV, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 54,04 persen pada 2024, dan tumbuh sebesar 4,94 persen secara kumulatif. Sementara faktor kedua berasal dari komponen pengeluaran, yakni konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).
"Terkait dengan kondisi ekonomi saat ini, masyarakat cenderung menghemat (saving), mengingat dalam beberapa bulan ke depan akan memasuki tahun ajaran baru yang memerlukan biaya masuk sekolah," ungkapnya.
Faktor ketiga, maraknya PHK. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan pada Januari 2025, sebanyak 3.325 orang pekerja telah kehilangan pekerjaan akibat efisiensi perusahaan dan penutupan pabrik, jumlah tersebut belum termasuk PHK massal yang terjadi sepanjang Januari hingga Maret tahun ini.
3. Ada pola belanja yang berubah di masyarakat

BSI Institute membuat proyeksi, perputaran uang pada periode Ramadan tahun ini diperkirakan mencapai Rp1.024,97 triliun. Meski memprediksi perputaran uang di Ramadan tahun ini masih tinggi, riset BSI Institute mendapati adanya potensi penurunan belanja masyarakat usai lebaran.
"Setelah hari besar ini berakhir, terdapat perubahan perilaku individu untuk kegiatan konsumsinya di mana mereka mengurangi pengeluarannya," ujar Senior Resident Researcher BSI Institute, Priyesta Rizkiningsih dalam laporan BSI Institute Quarterly, Minggu (30/3).
Adapun data Bank Indonesia (BI) menunjukkan total uang kartal yang beredar di masyarakat pada Maret 2024 mencapai Rp954,0 triliun, naik 12 persen dari bulan sebelumnya. Ini salah satunya didukung momen Ramadan.
Sementara total uang beredar pada Maret 2024 mencapai Rp8.884 triliun, naik dari Rp8.293,6 triliun pada Maret 2023. Lalu, total uang beredar di April 2024, saat momen Idul Fitri mencapai Rp8.928 triliun, tumbuh sebesar 6,9 persen (year on year/yoy), namun sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 7,2 persen (yoy).
4. Masyarakat lebih pilih investasi emas

Setelah perayaan Idul Fitri berlalu, banyak hal yang berubah dalam pola konsumsi masyarakat. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah penurunan pengeluaran yang cukup signifikan.
Berdasarkan survei terbaru BSI, sebanyak 78,16 persen responden mengaku pengeluaran mereka menurun setelah hari raya. Hal ini menunjukkan adanya pola konsumsi yang lebih terkendali setelah lonjakan pengeluaran selama Ramadan dan Idul Fitri.
"Setelah hari besar ini berakhir, terdapat perubahan perilaku individu untuk kegiatan konsumsinya di mana mereka mengurangi pengeluarannya," ujar Priyesta.
Namun, ada hal menarik yang terungkap dalam riset tersebut, di mana sebagian besar responden sudah mulai merencanakan keuangan mereka untuk menghadapi Idul Fitri tahun depan. Sekitar 43,74 persen responden bahkan mulai menabung atau mengalokasikan dana mereka satu bulan sebelum Ramadan.
Sementara itu sebanyak 16,65 persen lainnya sudah mempersiapkan keuangan mereka sejak satu tahun sebelumnya. Untuk memastikan kesiapan finansial dalam menyambut Ramadan dan Idul Fitri mendatang, mayoritas responden memilih menabung sebagai strategi utama, dengan persentase mencapai 70,3 persen.
"Selain itu, 14,79 persen memilih berinvestasi, sementara 11,56 persen lainnya membuka usaha atau bisnis guna menambah sumber pendapatan mereka. Dari segi preferensi investasi, emas menjadi pilihan yang paling diminati oleh para responden, dengan angka mencapai 52,48 persen," ungkapnya.
Namun, hasil riset ini juga mengindikasikan tingkat investasi masyarakat masih tergolong rendah. Hal ini sejalan dengan temuan BSI Institute-PEBS (2023), yang menunjukkan bahwa pengeluaran untuk investasi masih berada di bawah 10 persen dari total keseluruhan pengeluaran individu.
5. Pertumbuhan ekonomi kuartal I tak optimal

Meski banyak pihak yang pesimistis terhadap nasib pertumbuhan ekonomi kuartal I, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto meyakini pergerakan mudik Lebaran akan mendongkrak perekonomian pada kuartal I-2025.
Airlangga menjelaskan, secara historis konsumsi masyarakat pada momen Hari Raya Idul Fitri selalu meningkat sehingga perekonomian tumbuh tinggi. Apalagi pemerintah sudah mengadakan sejumlah program untuk mendongkrak daya beli masyarakat pada momen Lebaran seperti diskon tarif tol, tiket pesawat, hingga hari belanja online nasional (Harbolnas).
"Nah, ini yang pemerintah berharap faktor Hari Raya itu jadi pengungkit di kuartal I ini," ujar Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (27/3).
Direktur Eksekutif Center of Economic dan Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan tambahan uang beredar di momen Ramadan dan Idul Fitri tahun ini akan berdampak pada pembentukan produk domestik bruto (PDB) secara nasional yang tidak optimal. Indikator lain yang memotret pelemahan daya beli masyarakat adalah menurunnya porsi simpanan perorangan yang hanya mencapai 46,4 persen terhadap total Dana Pihak Ketiga (DPK).
Hal ini tidak pernah terjadi di awal pemerintahan sebelumnya. Pada awal periode Joko "Jokowi" Widodo dan Jusuf Kalla, simpanan perorangan porsinya 58,5 persen, sedangkan periode Jokowi-Amin Ma'ruf sebesar 57,4 persen. Merosotnya porsi tabungan perorangan mengindikasikan masyarakat cenderung bertahan hidup dengan menguras simpanan, karena upah riil terlalu kecil, tunjangan berkurang, dan ancaman PHK masih berlanjut.
“Dengan berbagai indikator perekonomian tersebut, Celios memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2025 hanya 5,03 persen (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2024 yang mencapai 5,11 persen,” tutur Bhima.