4 Tahun Jokowi-JK, Apa Kabar Indonesia?

Jakarta, IDN Times -Tepat di tanggal 20 Oktober 2018, Joko "Jokowi" Widodo-Jusuf Kalla memimpin Indonesia selama empat tahun. Selama masa itu juga, apresiasi dan kritik datang silih berganti.
Di tengah pujian karena pembangunan infrastruktur hingga ke pelosok negeri, Jokowi-JK mendapat kritik di bidang ekonomi. Kritik makin deras ketika gejolak perekonomian dunia berdampak pada Indonesia.
Salah satu indikasinya adalah pelemahan mata uang rupiah yang hingga mencapai ambang psikologis baru, Rp15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS). Lalu bagaimana kabar berbagai sektor Indonesia dalam 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK?
1. Target pertumbuhan ekonomi 7 persen belum tercapai di pemerintahan Jokowi-JK

Ekonomi menjadi salah satu bidang yang menjadi sasaran "serang" oposisi. Bahkan, calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto menyebut bahwa Indonesia tengah menjalankan ekonomi kebodohan.
"Ini menurut saya bukan ekonomi neoliberal lagi. Ini lebih parah dari neolib. Harus ada istilah, ini menurut saya ekonomi kebodohan. The economics of stupidity. Ini yang terjadi," kata Prabowo saat memberi sambutan di Rakernas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin Pondok Gede, Jakarta Timur, Kamis (11/10).
Sejak 1997 hingga 2014, menurut Prabowo, kekayaan Indonesia yang hilang atau dinikmati oleh asing mencapai US$300 miliar. Sehingga, Indonesia hanya memiliki sedikit cadangan kekayaan nasional. Dan dengan sedikitnya cadangan kekayaan di dalam negeri, kata Prabowo, Indonesia akan sulit menjadi negara yang sejahtera.
Meski oposisi menyebut perekonomian Indonesia merosot, namun data Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa perekonomian Indonesia di kuartal II 2018 justru meningkat.
Menurut data di website bps.go.id, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen. Angka tersebut tumbuh lebih tinggi daripada kuartal I 2018 sebesar 5,06 persen. Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2018 juga lebih tinggi dibandingkan pada kuartal II 2017 yang sebesar 5,01 persen.
Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh lapangan usaha. Dan pertumbuhan tertinggi yang dicapai lapangan usaha jasa lainnya yang tumbuh 9,22 persen. Kemudian dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) yang tumbuh sebesar 8,71 persen.
Walaupun data BPS menunjukkan perekonomian Indonesia meningkat dari 2017 hingga 2018, tetapi pengamat ekonomi dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan kenaikan presentase tersebut belum menutupi target pemerintahan Jokowi-JK saat awal.
Kala itu, Jokowi-JK menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 mencapai rata-rata 7 persen. Namun Bhima ungkapkan bahwa hal tersebut sulit dicapai.
"Pemerintah pada awalnya terlalu overshoot dengan mengesampingkan fakta bahwa ekonomi Indonesia sangat bergantung pada harga komoditas. Baru di ujung 2017 harga minyak kembali naik," kata Bhima saat dihubungi IDN Times, Sabtu (20/10).
Sayangnya, imbuh Bhima, kenaikan minyak itu tidak diikuti oleh harga-harga komoditas unggulan, misalnya sawit dan karet.
2. Kinerja pertumbuhan ekonomi di era SBY lebih tinggi

Harus diakui, lkata Bhima, kinerja pertumbuhan ekonomi di era Jokowi memang tertinggal dibandingkan era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di era SBY, pertumbuhan ekonomi pernah tercatat di atas 6 persen.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi di era Jokowi, salah satunya, dikarenakan industri manufraktur yang terus menurun. "Di kuartal II 2018, bahkan sempat di bawah 20 persen. ini cukup menghawatirkan karena industri manufaktur menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, dan multiplier effect-nya tinggi ke sektor lainnya," terang Bhima.
Di era Jokowi, lanjutnya, pemerintah terlalu cepat loncat ke sektor jasa sehingga meninggalkan industri yang semakin menurun. Artinya poin produktivitas dan daya saing masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh tim ekonomi Jokowi.
Selain itu, nilai tukar rupiah yang terus menurun juga menjadi salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi di era Jokowi. Pelemahan rupiah terhadap dolar yang saat ini ada di level Rp15.200 diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
"Ada peran faktor eksternal seperti perang dagang, kenaikan suku bunga The Fed, dan instabilitas geopolitik. Tapi secara fundamental memang ada hal yang harus jadi evaluasi," kata dia.
Bhima pun memberi solusi. Menurut dia, pemerintahan Jokowi harus melakukan terobosan melalui kemudahan perizinan investasi dan sinkronisasi regulasi dari pusat dan daerah. Kemudian, ia pun membandingkan nilai tukar rupiah di era SBY masih terjaga cukup baik di level 9.395 per dolar AS.
3. Kemiskinan 9,8 persen, tapi tetap sulit capai target pertumbuhan ekonomi 7 persen

Selanjutnya, isu ketimpangan dan kemiskinan juga tak luput dari sorotan publik. Menurut data BPS, data kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 berada di angka 25,95 juta orang yang berarti sekitar 9,82 persen dari populasi. Sebagai perbandingan, tahun 2017 masih ada 26,58 juta orang atau 10,12 persen yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Dari data BPS, presentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2017 sebesar 7,26 persen, turun menjadi 7,02 persen pada Maret 2018. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2017 sebesar 13,47 persen, turun menjadi 13,20 persen pada Maret 2018.
Meski indikator kemiskinan membaik pada 2018, Bhima menjelaskan bahwa target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen di 2019 sulit tercapai.
"Upaya pemerintah meningkatkan jumlah penerima PKH, reforma agraria, dana desa, dan pembangunan infrastruktur penting tapi hasilnya masih membutuhkan waktu," jelasnya.
Meski demikian, Bhima tetap mengapresiasi penekanan kemiskinan di tahun 2018. Di era SBY tingkat kemiskinan pada September 2014 mencapai 27,7 juta orang atau 10,96 persen.
4. Tingkat pengangguran di 2018 berkurang 140 ribu orang dari tahun 2017

Untuk pengangguran, Bhima menerangkan bahwa di 2019, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan 4-5 persen. Untuk mencapai target itu, sejumlah upaya pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja terutama di sektor jasa kemasyarakatan, termasuk dana desa. Lalu juga di sektor transportasi dan perdagangan.
Melalu data BPS, tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2018 mencapai 5,13 persen. Jumlah tersebut berkurang sebanyak 140 ribu orang bila dibandingkan tahun 2017.
"Masih bisa dikejar untuk turun ke 5 persen, asalkan pemerintah konsisten mendorong sektor industri, pertanian dan ekonomi digital. Perbandingan pengangguran diakhir era SBY sebesar 5,94 persen," ungkap Bhima.
5. Pembangunan infrastruktur di era Jokowi berkembang pesat

Selama masa kepemimpinan Jokowi-JK, pembangunan infrastruktur menjadi salah program yang menuai pujian. Masyarakat menilai bahwa pembangunan infrastruktur dari pemerintahan Jokowi-JK berkembang sangat pesat.
Menurut dari dari kemenkeu.go.id, alokasi anggaran infrastruktur tahun 2018 mencapai Rp410,7 triliun. Anggaran tersebut terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Di tahun 2017, anggaran infrastruktur sebesar Rp388,3 triliun.
Saat penyampaian Keterangan Pemerintah atas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2019 Beserta Nota Keuangannya di DPR, Selasa (16/8), Jokowi menyampaikan bahwa anggaran infrastruktur tahun 2019 meningkat lagi menjadi Rp420,5 triliun.
Adapun sasaran target sementara dari alokasi dana tersebut diantaranya, pembangunan dan preservasi jalan yang meliputi pembangunan jalan baru 865 m, pembangunan jalan tol 25 m, pembangunan jembatan 8.695 m. Untuk infrastruktur informasi dan telekomunikasi, pemerintah menargetkan pembangunan desa broadband terpadu 100 lokasi, pembangunan BTS di daerah blankspot terutama di daerah 3T 380 lokasi.
Ada juga target pemerintah untuk pembangunan rusun untuk warga berpenghasilan rendah sebanyak 13.405 unit, bantuan stimulan atau peningkatan pembangunan sebanyak 180 ribu unit. Tidak hanya itu, pemerintah juga menargetkan pembangunan LRT lanjutan 23 km'sp, pembangunan bandara udara 8 lokasi, pembangunan jalur kereta api 620 km'sp.
Capaian infrastruktur pemerintahan Jokowi-JK tahun 2018, antara lain, jalan baru 1.033 km, jembatan 9.072 km, rel kereta 618,3 km, 3 bandara, dan 188 bendungan. Pencapaian infrastruktur tersebut meningkat dibandingkan tahun 2017, dimana jalan baru hanya mencapai 611 km, jembatan 6.110 km, 3 bandara, dan 27 bendungan.
Namun, prestasi di bidang infrastruktur ini dibayangi masalah hak asasi manusia (HAM). Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ahmad Taufan mengaku menerima beberapa pengaduan dari masyakarakat terkait pembangunan infrastruktur.
"Yang terdiri dari pembangunan jalan tol, revitalisasi jalur dan stasiun kereta api, pembangunan bandara, pembangunan waduk dan Iain-lain. Konflik Iahan di perkebunan, pertambangan dan kehutanan juga tetap menjadi Iaporan masyarakat ke Komnas HAM," terang Taufan di sekitar Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/10).
Sementara, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Johnny G Plate mengungkapkan bahwa dalam pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan, jembatan, irigasi memerlukan areal tanah yang luas. Oleh karena itu, pemerintah besarta DPR telah mengalokasikan pengembalian dana talangan, yang ditangani oleh lembaga manajemen aset negara di bawah menteri keuangan.
"Nah kami tentu berharap proses landbank atau penguasaan tanah dilakukan dengan baik dalam negosiasi-negosiasi atau pembicaraan langsung dengan pemilik lahan sehingga proses ganti rugi atau ganti untung dapat berjalan dengan baik," jelas Johnny di Posko Cemara, Jakarta Pusat, Jumat (19/10).
Selama dalam proses pembangunan tersebut, ada lokasi-lokasi tanah tertentu dimana ganti untung atau ruginya diserahkan untuk disimpan pengadilan. Dan pada harga disetujui oleh pemilik lahan, bisa diambil secara langsung.
"Apabila sengketa-sengketa yang belum jelas, tentu kami harapkan bahwa perangkat-perangkat hukum memberikan asistensinya terlebih dahulu bahwa pembangunan infrastruktur fisik yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk kepentingan kemaslahatan perekonomian nasional kita," tutur Johnny.
6. Beberapa kasus penegakan hukum dianggap belum dijadikan prioritas

Masalah penegakan hukum juga masuk dalam program Nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Dalam 4 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai ada beberapa kasus penegakan hukum yang belum diprioritaskan oleh pemerintah.
Melalui websitenya icjr.or.id, ICJR mencatat bahwa dalam perkembangan dan pencapaian agenda reformasi kebijakan hukum yang dijalankan oleh Pemerintahan Jokowi-JK, dirasakan belum memenuhi dan belum merealisasikan apa yang tertuang dalam Nawacita ke-4.
Salah satunya adalah reformasi kebijakan pidana, baik materiil maupun hukum acara. Masalah ini tidak bisa dipisahkan dari Rancangan KUHP (RKUHP).
ICJR mencatat, RKUHP belum berpihak terhadap HAM, perlindungan anak, perempuan dan kelompok marjinal, pemberantasan korupsi, sampai dengan reformasi penegakan hukum.
Menurut ICJR, ada ketentuan dalam RKUHP yang sama sekali tidak berpihak pada kelompok sasaran yang ingin dilindungi oleh pemerintah. "Secara garis besar, RKUHP bersifat sangat kolonial dan khas pemerintahan otoriter, hampir mayoritas pasal yang bersifat kolonial dalam KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda, masih ada dalam RKUHP," demikian pernyataan ICJR.
Alhasil pembahasan RKUHP dilakukan tanpa arah yang jelas. Evaluasi yang jelas penting untuk mengatasi masalah disharmoni peraturan. Kegagalan dalam harmonisasi peraturan nantinya berujung pada tingginya angka pemenjaraan di Indonesia.
Selain itu, ada beberapa hal lain yang juga menjadi sorotan ICJR, seperti kebijakan hukuman mati yang masih diterapkan, kebebasan berpendapat dan berekspresi masih dalam ancaman, Indonesia yang masih legitimasi penggunaan hukuman badan atau tubuh, meningkatnya angka overcrowding di Indonesia, sistem peradilan pidana anak masih luput dari fokus reformasi hukum pidana, dan kebijakan perlindungan saksi dan korban yang masih dianggap lemah.
Dari beberapa catatan ICJR tentang masalah penegakan hukum yang belum masuk ke dalam prioritas, Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani, menjelaskan bahwa persoalan penegakan hukum dan HAM bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Pasalnya, penegak hukum memiliki dua sisi. Di satu sisi, mereka adalah bagian dari aparatur pemerintahan, tapi di sisi lain para penegak hukum memiliki independensi.
"Tetapi kami sepakat ini tetap menjadi atensi dan kita berharap juga bahwa di sisa satu tahun terakhir masa pemerintah Pak Jokowi ada atensi khususlah soal itu," ujar Arsul di Posko Cemara, Jakarta Pusat, Sabtu (20/10).
7. Beberapa kasus HAM berat belum diselesaikan dalam pemerintahan Jokowi-JK

Komnas HAM membeberkan catatan mereka mengenai penegakan HAM di 4 tahun Jokowi-JK. Kesimpulannya, beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM dinilai belum menjadi prioritas pemerintah.
Kasus pertama yang disoroti oleh Komnas HAM adalah tentang pelanggaran berat di masa lalu yang belum juga terselesaikan. Kedua, tentang konflik sumber daya alam, termasuk perebutan lahan masih bergejolak di Indonesia. Dan ketiga, pelanggaran intoleransi yang masih dianggap ada di era pemerintahan Jokowi-JK.
Ketua Komnas Ahmad Taufan menjelaskan, persoalan HAM berat masa lalu menjadi salah satu PR yang belum diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Komnas HAM sudah menyerahkan berkas indikasi pelanggaran HAM Jaksa Agung RI sejak awal tahun 2002. Namun, hingga ini belum ada langkah konkret penyelesaian secara hukum.
Menurutnya, ketidakjelasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat tersebut adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan.
Catatan kedua berkaitan dengan sumber daya alam. Taufan menerangkan, konflik sumber daya alam masih menjadi pengaduan yang banyak disampaikan ke Komnas HAM.
"Berbagai isu konflik sumber daya alam masih mewarnai dalam perjalanan 4 tahun Pemerintah Jokowi-JK jika beberapa tahun lalu konflik sumber daya lama hanya didomimasi pada isu perkebunan, pertambangan dan kehutanan saja," kata Taufan.
Catatan terakhir dari Komnas HAM adalah maraknya kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi. Kata Taufan, peristiwa intoleransi masih mewarnai dalam empat tahun Pemerintahan Jokowi-JK.
"Sebagai contoh, peristiwa penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di NTB dan peristiwa-peristiwa serupa lainnya terjadi di beberapa wilayah lain di Indonesia. Upaya hukum yang dilakukan dalam setiap peristiwa intoleransi tidak pemah menyeret aktor pelaku utamanya ke pengadilan," ungkap Taufan.
Kemudian, sambungnya, dalam waktu yang bersamaan juga muncul tindakan-tindakan persekusi yang dilakukan oleh berbagai ormas ataupun kelompok massa.
"Tindakan persekusi tersebut terjadi karena dilatarbelakangi adanya perbedaan pandangan. Media sosial digunakan sebagai sarana yang ampuh untuk melakukan mobilisasi massa untuk melakukan persekusi," jelas Taufan.
Selama 4 tahun, Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga mengatakan bahwa persoalan pelanggaran HAM masa lalu tersebut memang kompleks. Bukan hanya di pemerintahan Jokowi saja, melainkan juga di pemerintahan sebelumnya.
"Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi gak lebih maju daripada yang lalu. Jadi memang kami berharap ada langkah yang lebih konkret karena dalam statement politik, Nawacita itu kan disebutkan sebagai prioritas," kata Sandra di sekitar Cikini, Jumat (19/10).
Sandra juga menjelaskan bahwa Komnas HAM telah melakukan upaya bersama Menko Polhukam, namun tidak ada status jelas dari pemerintah terkait kasus-kasus yang telah dilaporkan oleh pemerintah.
"Karena peran Komnas HAM kan jelas penyelidikan, dan penyelesaian itu harus judicial. Judicial dalam arti gini, kalau memang dianggap tidak cukup bukti adanya pelanggaran HAM berat ya nyatakan. Bukan kemudian bentuk segala macam tim," ujar Sandra.
Sementara, Arsul Sani menerangkan bahwa terkait penyelesaian kasus HAM di era Jokowi karena memang sudah diwarisi oleh pemerintahan sebelumnya.
"Kalau kita hitung dari masa Reformasi itu kan dimulai dari pemerintahan zaman Gus Dur, Ibu Megawati, Pak SBY dan Pak Jokowi. Tentu ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, mengapa kasus-kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat itu tidak begitu gampang untuk diselesaikan. Artinya faktualnya, prosesnya tersendat, terhambat tidak maju seperti itu," jelas Arsul yang juga politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.
Melewati masa 4 tahun kepemimpinan, masyarakat tentu mengharapkan pemerintah bisa terus memenuhi program-program yang dijanjikan. Semoga di sisa beberapa bulan sebelum menuju Pemilu 2019, pemerintahan Jokowi-JK bisa menuntaskan program-program yang belum terselesaikan.
Nah, bagaimana kalian menilai 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK?