6.000 Orang Sudah Terverifikasi Jadi Korban Pelanggaran HAM Berat

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku telah berhasil memverifikasi sekitar 6.000 orang yang menjadi korban pelanggaran HAM berat. Angka tersebut diperoleh melalui verifikasi individual. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, pihaknya benar-benar melakukan pemeriksaan ke keluarga korban.
"Saya tidak hafal (angka 6.000) dari kasus mana saja. Tetapi, ada dari kasus (pembantaian) 1965, penghilangan paksa hingga peristiwa Tanjung Priok. Tentu, kita bicara jumlah korban yang lebih besar dari 6.000 itu," ungkap Atnike di Istana Kepresidenan, Senin (16/1/2023).
Ia menambahkan, ribuan korban pelanggaran HAM berat itu terverifikasi berdasarkan surat keterangan dari Komnas HAM. Surat itu, kata Atnike, merupakan pengakuan secara resmi dari negara terhadap individu yang telah mengalami pelanggaran HAM berat. Khususnya, kasus-kasus yang pernah diselidiki oleh Komnas HAM.
Maka, kini tugas Komnas HAM ke depan harus mendukung tindak lanjut upaya-upaya pemulihan bagi korban. "Kami siap mendukung pemerintah untuk memverifikasi korban agar mereka mendapatkan status yang resmi dan memperoleh haknya," tutur dia lagi.
Lalu, apakah surat keterangan dari Komnas HAM bakal dijadikan syarat bagi keluarga korban untuk menerima kompensasi dari negara?
1. Jokowi masih menyusun mekanisme pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat

Lebih lanjut, Atnike menjelaskan, mekanisme pemulihan bagi keluarga korban pelanggaran HAM berat belum rampung disusun oleh pemerintah. Namun, bila akhirnya rampung dibentuk, bakal jadi mekanisme pemulihan untuk pelanggaran HAM berat yang pertama disusun.
"Sementara, saat ini (keluarga korban) diberikan bantuan atau layanan yang tersedia di LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Bantuan yang diberikan mulai dari bantuan medis hingga pelayanan psikososial. Tapi, itu belum ada (dari negara). Maka, penting agar mekanisme pemulihan yang dibentuk adalah tindak lanjut dari TPP HAM," kata dia.
Ia menggarisbawahi mekanisme pemulihan korban dapat memudahkan mereka untuk memperoleh hak-haknya.
2. Komnas HAM ingin memperbaiki prosedur penyelidikan agar sesuai dengan standar Kejaksaan Agung

Lebih lanjut, Atnike menyebut, dalam pertemuan dengan presiden, tidak disebut ada target kapan sisa kasus pelanggaran HAM berat lainnya harus diajukan ke pengadilan. Alih-alih menetapkan target, Komnas HAM memilih fokus untuk memperbaiki prosedur dan standar penyelidikan. Sehingga, terbentuk kesamaan metode dan hukum acara antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Perbedaan hukum acara inilah yang kerap menyebabkan para terdakwa kasus pelanggaran HAM berat divonis bebas di pengadilan.
"Komnas HAM periode 2022-2027 ingin berangkat dari upaya mencari standar penyelidikan dan penyidikan yang disepakati oleh kedua lembaga ini. Kami juga meminta kepada Pak Presiden untuk mendukung Komnas HAM dan Kejagung agar bisa berkoordinasi dengan lebih baik," tutur dia.
Atnike berharap, dengan adanya perbaikan standar prosedur penyelidikan dan penyidikan di antara dua instansi, maka proses yudisial bisa berjalan lebih efektif.
3. Deretan empat kasus pelanggaran HAM berat yang terdakwanya divonis bebas

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD tak menampik proses pengusutan kasus pelanggaran HAM berat memang tidak mudah.
Bahkan, ada sejumlah terdakwa yang telah dihadapkan ke pengadilan namun berujung vonis bebas.
Total ada empat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang mengalami peristiwa itu. Pertama, pelanggaran HAM di Timor-Timur (1999), kedua, Tanjung Priok (1984), ketiga, peristiwa Abepura (2000) dan keempat, Paniai (2014).
"Total semua 35 terdakwa lho yang dibebaskan. Ini terjadi karena standar pembuktian menurut Komnas HAM dan kejaksaan itu berbeda," ungkap Mahfud seperti dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam.
Menurut Kejaksaan Agung, berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, setiap temuan Komnas HAM harus dibawa ke pengadilan.
"Ya, dibawalah perkara itu. Tetapi, kemudian bebas. Begitu," ujarnya.
Menurut Mahfud, sisa delapan kasus lainnya yang belum dibawa ke pengadilan akan dibahas lebih lanjut oleh DPR. Hal itu sesuai di dalam Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000.
"Jadi, dikembalikan saja ke undang-undang. Kalau mau dipaksakan (untuk dibawa ke pengadilan), biar DPR bicara lagi deh gimana cara membawanya ini," tutur dia lagi.