AKUR: Eksekusi Lahan Tanah Adat Mayasih Cacat Hukum

Jakarta, IDN Times - Masih ingat deretan perempuan masyarakat Adat Karuhun (AKUR) Sunda Wiwitan merebahkan diri di bagian paling depan untuk melawan proses eksekusi tanah adat Mayasih (2017) yang adalah warisan leluhurnya?
22 April 2022 lalu, Pengadilan Negeri Kuningan, Jawa Barat, mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pencocokan (constatering) dan sita eksekusi, yang akan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2022.
Penetapan sita eksekusi dalam kasus Tanah Adat Mayasih, bagi masyarakat AKUR Sunda Wiwitan adalah bentuk kesewenang-wenangan dan bagian dari genosida terhadap warisan budaya leluhur yang ada di Kuningan.
1. Tanah Adat Mayasih merupakan warisan leluhur

AKUR Sunda Wiwitan menegaskan bahwa Tanah Adat Mayasih merupakan tanah adat warisan leluhur yang harus dikelola secara komunal adat dan bukan tanah warisan milik pribadi.
“Maka, eksekusi tanah adat adalah cacat hukum, karena menjadikan Tanah Adat Mayasih sebagai milik pribadi,” demikian pernyataan AKUR melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Senin (16/5/2022).
Padahal, berdasarkan dokumen-dokumen penting yang dikeluarkan sesepuh terdahulu seperti Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana, bahwa mereka memberikan “hak pengelolaan aset” tanah adat kepada tokoh-tokoh masyarakat, bukan untuk menjadi hak milik.
2. Eksekusi tanah adat cacat hukum

Surat Pernyataan tahun 1964 dan tahun 1975 oleh Pangeran Tedjabuwana memberikan mandat “pengelolaan aset-aset tanah adat kepada tokoh-tokoh masyarakat. Kemudian, tokoh-tokoh itu mendirikan yayasan dan menyerahkan pengelolaan aset bersama tersebut kepada yayasan.
Dengan pengelolaan tinggalan Pangeran Madrais dan Pangeran Tedjabuwana oleh yayasan, maka pengelolaan aset tersebut bukan milik orang per orang/pribadi, melainkan sebagai aset komunal, dan ditindaklanjuti oleh Yayasan Pendidikan Tri Mulya.
3. Makam bakal leluhur Sunda Wiwitan disegel

Dua tahun lalu, penyegelan bakal makam leluhur Sunda Wiwitan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kuningan juga ditentang 112 lembaga kebudayaan, pun AKUR.
Bangunan yang disegel tersebut berdiri di lahan milik pribadi di Curug Goong, Desa Cisantana.
Sebab penyegelan dianggap sebagai tindakan inkonstitusional dan melanggar hak dasar warga negara dalam mengamalkan agama dan kepercayaan.