Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Anies Tanggapi Putusan MA soal Usia Kepala Daerah: Butuh Restu DPR

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. (IDN Times/Santi Dewi)

Jakarta, IDN Times - Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tidak ingin terburu-buru memberikan komentar soal putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23/P/HUM/2024, yang mengubah batas minimum usia calon kepala daerah.

Ini merupakan imbas dari pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020, yang dilakukan Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana ke MA. Sidang terhadap perkara itu hanya dilakukan dalam waktu tiga hari. 

Menurut Anies, hingga kini ketentuan dalam PKPU tersebut belum diubah Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan butuh persetujuan anggota DPR RI.

"Lho, kan PKPU belum berubah kan? Kita lihat saja nanti PKPU. Lagi pula, pengubahan isi PKPU juga membutuhkan persetujuan dari DPR," ujar Anies di Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (8/6/2024). 

Anies mengaku akan tetap menghormati aturan konstitusi. Sebab, semua aturan di bawahnya merujuk kepada undang-undang di atasnya. 

"Jadi kita lihat saja. KPU dan DPR insyaallah, mereka akan terus menjaga norma dan menjaga keadaban dalam bernegara," tutur mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. 

1. Komisi II DPR bahas putusan MA yang ubah batas minimum usia calon kepala daerah pekan depan

Gedung DPR/MPR (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara, anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, mengatakan pihaknya segera membahas putusan MA yang mengubah syarat batas minimal usia calon kepala daerah. Menurutnya, kewenangan MA dalam melakukan pengujian terhadap PKPU sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Putusan MA kan bersifat final dan mengikat. Untuk itu perlu diadopsi dan dimasukkan dalam peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan kepala daerah sebelum diterapkan," ujar politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu dalam keterangan tertulis dan dikutip Sabtu (8/6/2024). 

Guspardi mengatakan, secara konstitusi, MA berwenang mengubah norma dalam peraturan, termasuk PKPU terkait pencalonan kepala daerah. Putusan MA itu wajib dilaksanakan.

"Putusan MA tersebut wajib dimasukkan dalam norma persyaratan umur bagi calon yang akan mengikuti kontestasi Pilkada 2024, baik perseorangan maupun dari gabungan Partai Politik," tutur dia. 

Namun, menurut politikus PAN ini, KPU sebaiknya menindaklanjuti dengan melakukan evaluasi dan revisi terlebih dahulu, sebelum akhirnya dirumuskan ke dalam PKPU. 

2. Ketua Komisi II DPR nilai putusan MA bukan sekadar untuk kepentingan Kaesang

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia. (IDN Times/Melani Putri)

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, juga senada dengan Guspardi Gaus. Ia sepakat dengan isi putusan MA, meskipun KPU tetap harus mengkaji lebih lanjut putusan MA tersebut. 

Doli pun menepis putusan MA tersebut hanya demi kepentingan putra bungsu Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Kaesang Pangarep jelang Pilkada 2024. Menurutnya, putusan MA bakal memberikan ruang bagi anak-anak muda untuk bisa berpartisipasi di dalam acara politik 2024. 

"Jadi, saya rasa putusan ini penting dijalankan. Karena anak muda kita saat ini banyak yang berpotensi menjadi pemimpin. Hanya saja tafsirannya perlu dikaji," ujar Doli di Papua pada 31 Mei 2024. 

Politikus Partai Golkar itu pun mengajak publik untuk menerima putusan MA tersebut. Sebab, suka atau tidak suka, putusan MA bersifat final. 

3. Mahfud menantang KPU untuk mengambil keputusan berani

Guru besar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. (Dokumentasi media Mahfud)

Sementara, mantan cawapres pada Pilpres 2024 Mahfud MD mengaku geram, dan enggan mengomentari putusan MA yang mengubah batas minimum usia calon kepala daerah.

Mahfud menilai, apa yang telah dilakukan hakim agung melampaui kewenangannya. Sebab, perubahan PKPU Tahun 2020 tersebut sama saja dengan mengubah UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada). 

"Kalau mau diterima isi putusan MA, maka sama saja dengan membatalkan isi undang-undang. Sedangkan, menurut konstitusi di negara kita, MA tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi undang-undang," ujar Mahfud, seperti dikutip dari akun YouTube Mahfud. 

Menurut Mahfud hanya ada dua cara untuk membatalkan undang-undang. Satu, melalui legislative review yakni diubah oleh lembaga legislatif atau DPR. Kedua, melalui judicial review lewat Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Atau bisa juga menggunakan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) bila situasinya darurat. Jadi, ini jauh melampui kewenangan MA," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu juga menilai putusan MA bersifat inkracht dan mengikat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tak bisa menghindari putusan MA itu. 

"Tetapi, secara prosedur dan kewenangan, jelas (putusan) ini salah. Ini bukan saja cacat etik dan moral melainkan juga cacat hukum," tutur pria yang berpasangan dengan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024 itu.

Namun, Mahfud menantang KPU untuk mengambil sikap yang berani sesuai dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 17 tertulis setiap keputusan yang cacat moral, tidak perlu dilaksanakan. Apalagi, menurut Mahfud, putusan MA juga cacat secara hukum. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us