Bincang Mantan: Soal Memilih Jurusan Kuliah dan Kemungkinan Penyesalan yang Akan Datang

Oleh Adelia Putri dan Bisma Aditya
JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.
Bisma: Mengerjakan sesuatu yang kita senangi dan dibayar enak banget, lho!
Dulu saya sekolah di SMA yang sangat amat IPA oriented (SMA yang dulu sering banjir di daerah Bukit Duri, pasti tahu kan?). Di angkatan saya aja dari 10 kelas yang ada, 9 kelas IPA dan cuma 1 kelas yang IPS. Kebayang kan cita-cita saya pasti tidak jauh dari jurusan teknik atau kedokteran.
Waktu kelas satu saya pengin banget masuk Fakultas Kedokteran UI, sedangkan pas kelas dua sampai kelas tiga saya penginnya masuk ITB. Alasannya jelas, Ibu saya pengin punya anak di FKUI dan Bapak saya yang alumni dan dosen ITB pasti mau anaknya masuk sana juga. Selain itu saya sudah kadung masuk SMA yang memang dikenal sebagai pemasok mahasiswa di kampus-kampus itu sehingga saya sudah di jalur yang tepat, so, why not?
Semua berubah waktu saya kelas 3 nyaris akhir, diwaktu semua teman saya sudah firm dengan pilihan universitasnya, saya akhirnya sadar bahwa saya penginnya masuk Fakultas Hukum UI!! Kayak dapat ilham aja gitu setelah nonton dan baca buku soal lawyer.
Memang nekat, sih, sisa satu semester sebelum ujian tanpa bimbel, tapi harus ngejar mata pelajaran IPS sambil tetap belajar IPA supaya lulus Ujian Nasional. Tapi karena saya sadar sepenuhnya kalau memang ini yang saya mau, jadi semua tantangan itu saya coba menikmati aja dengan belajar dan berjuang lebih keras.
Hasilnya? Meski saya jadi tidak menuruti kemuauan orang tua saya (mereka sangat demokratis soal ini), susah-susah belajar IPS last minute, bahkan kadang dicap pengkhianat karena ambil lahan anak-anak IPS, tapi sekarang saya sudah lulus kuliah dan bekerja di bidang yang merupakan passion saya.
Betul-betul hard work pays off!!
Saya enggak kebayang ya kalau dulu tidak memutuskan ikutin passion saya dan tetap mengikuti “jalur” saya dan akhirnya jadi dokter atau engineer. Kayaknya saya bakal tidak bahagia banget deh. Nah parahnya, karena jurusan itu terkait erat dengan pekerjaan, dan pekerjaan itu sifatnya seumur hidup, mungkin saya bisa seumur hidup tuh tidak bahagianya.
Bersyukur banget sekarang, dengan bisa kerja di bidang yang saya suka, saya udah lupa tuh sama semua kesulitan yang dulu saya hadapi. Saya bisa bangun pagi setiap hari dengan happy dan saya harap happy-nya seumur hidup juga, dan semua keoptimisan ini bisa saya rasa karena saya dulu berani mengambil keputusan untuk mengikuti apa yang jadi keinginan saya meski seberat apapun halangannya.
Pesan yang mau saya sampein, SMA itu cuma 3 tahun, jadi jangan mendasari pilihan karier kamu dari tren di SMA kamu atau ikut-ikutan teman. Jangan dasari pilihan jurusan kamu dari apa yang orangtua kamu mau (meski pasti orangtua mau yang terbaik), tapi kan nanti kamu yang jalanin seumur hidup. Jangan juga urung memilih jurusan yang kamu mau karena kesulitannya, karena belajar untuk masuk kuliah tidak lama prosesnya.
Percaya deh, ngerjain sesuatu yang kamu suka dan dibayar itu enak banget lho. Memang mungkin sih pada kenyataannya bidang yang kamu pilih tidak sesuai dengan harapan, tapi at least kamu di sana karena keinginan dan perjuangan kamu dan kamu akan lebih menghargai segalanya.
Akan lain rasanya kalau kamu kuliah karena faktor luar. Karena kamu tidak betul-betul mau ada di bidang itu, segala ketidaksesuaian pasti akan terasa dan ujung-ujungnya mengeluh. Enggak senang. Galau. Negatif intinya.
Intinya, jurusan kuliah itu menentukan cara kalian menjalani hidup ke depannya. Jangan ikut-ikutan orang lain lah, hidup cuma sekali, jalani lah apa yang kamu suka supaya bahagia aja yang seumur hidup, bukan penyesalan.
Adelia: Jurusan kuliahmu belum tentu memastikan jalanmu selanjutnya
Kecuali kamu betul-betul mendalami sebuah keilmuan dan profesi, pilihan jurusan kuliah bukan akhir dari segalanya.
Jangan salah, saya bukan bilang kamu enggak perlu mikir lama-lama mengenai jurusan yang akan kamu ambil. Jurusan kuliah itu sangat penting lho, karena akan menentukan arah hidup kamu ke depannya, atau paling tidak, menentukan kebahagiaan dan kewarasanmu minimal empat tahun ke depan.
Kecuali kamu mau jadi dokter, apoteker, atau teknisi, jurusan kuliah bukan penentu final masa depanmu. Masih ada kuliah S2 yang bisa kamu ambil dengan jurusan yang 180 derajat berbeda, masih ada kesempatan untuk pindah profesi, dan lain-lain. You’ll never know where life will lead you.
Contohnya, program Management Trainee umumnya tak peduli jurusanmu apa karena toh kamu akan dididik ulang dari nol. Teman-teman jurnalis saya juga umumnya berasal dari jurusan-jurusan non-komunikasi, dari arsitektur hingga teknik. Ada seorang teman yang kuliah kedokteran hewan kini bekerja jadi marketing perusahaan makanan, ada pula yang kuliah desain malah jadi guru TK.
Inti dari kuliah adalah bagaimana kamu berpikir kritis. Tanya saja orangtuamu, apa iya mereka masih ingat teori yang diajarkan belasan tahun lalu (well, kecuali kalau mereka dosen ya)? Makanya, buat saya, jauh lebih penting kuliah di mana daripada kuliah apa, karena pada akhirnya pendidik dan orang-orang di sekitarmu lah yang akan membentuk dirimu ke depannya.
Mungkin kamu enggak setuju, tapi buat saya, lebih baik jadi orang paling bodoh di tempat terbaik daripada jadi yang terpintar di tempat biasa-biasa saja. In the end, your credentials matter. Sepuluh tahun dari sekarang, enggak akan ada yang peduli nilai UN mu berapa atau IPK mu berapa, people only care where you came from.
Nah, sekali lagi, kecuali kamu betul-betul ingin mendalami keilmuan profesi, apalagi dalam ilmu sosial, jurusan kuliahmu bukan akhir dari segalanya. Kuliah harusnya jadi pembuka jalanmu, arah mana yang kamu mau, bukan penentu final masa depanmu.
Menurut saya yang penting adalah kamu menentukan dulu bidang kesukaanmu, but don’t be too specific on that sehingga kamu tidak menutup pintu akan kesempatan-kesempatan yang lain.
Kalau kamu suka dengan biologi dan kekeuh ingin jadi dokter, jangan tutup mata akan jurusan-jurusan lain. Siapa tahu juruan microbiology atau kedokteran hewan lebih cocok denganmu? Kalau kamu suka menghitung, jangan hanya kekeuh dengan akuntansi, mungkin kamu bisa jadi jagoan di jurusan statistik atau aktuaria? Atau, kalau kamu suka bergaul dengan orang, mungkin kamu tidak harus jadi psikolog, tapi lebih cocok untuk jadi public relations atau malah jurnalis?
Dan jangan lupa, jujurlah dengan dirimu sendiri.
Kalau saja dulu saya berani jujur akan betapa sukanya saya pada pelajaran "tidak penting bagi anak IPA" macam sejarah, ppkn, dan sosiologi, mungkin saya tidak perlu melewati keribetan fisika dan kimia yang akhirnya cuma bikin nilai rapot jelek dan tidak terpakai juga di kuliah apalagi pekerjaan saya. Pikirkan opportunity cost yang harus kamu terima hanya karena gengsi atau keinginan orangtua.
Dan masalah keinginan orangtua, percayalah pada akhirnya mereka akan mengerti. Tidak semua orang beruntung punya orangtua yang demokratis, tapi percayalah mereka hanya ingin yang terbaik buatmu, in their own way. Nekat saja dengan pilihanmu, bertengkar saja, tapi percaya lah, nantinya mereka juga akan luluh saat kamu bisa membuktikan kalau pilihanmu itu terbaik dan bisa membuatmu bahagia.
Pilihan kuliah itu idealnya adalah pilihanmu sendiri, bukan orang-orang di sekitarmu, bukan juga pilihan orang yang membayari kuliahmu. Tapi, ingat juga pesan saya untuk jujur dengan diri sendiri — mengenai pilihan-pilihan lain yang mungkin kamu suka, mengenai kemampuanmu, dan mengenai sejauh mana kamu mau berkorban untuk pilihanmu.
Semoga belum terlambat bagi kamu untuk memnentukan pilihan. Tapi, kalau kamu sudah terlanjur kuliah di jurusan atau tempat yang menurutmu "salah", atau malah masih bingung sebenarnya apa yang kamu inginkan, jangan takut, ini bukan akhir dari segalanya. Masih ada banyak cara untuk membuat hidup lebih baik. Masih ada mata kuliah yang bisa kamu eksplorasi, masih ada exchange program untuk membuka matamu, masih ada kesempatan sekolah lebih tinggi, bahkan masih ada pekerjaan tak terduga yang bisa membawamu ke hal yang ternyata kamu enggak tahu kalau kamu suka.
—Rappler.com
Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.