Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili 

Korban 1965 ditangkap tanpa alasan dan pengadilan

Jakarta, IDN Times - "Bagaimana kalau Anda atau saya, suatu hari tiba-tiba mendapatkan diri diberi label semacam itu, lalu tanpa perlindungan hukum diculik, diseret bagai binatang ke tahanan, disiksa dan dipaksa mengakui hal-hal yang tidak pernah Anda lakukan atau pahami. Saya tidak menuntut kompensasi dari pemerintah, saya hanya ingin penjelasan pemerintah, tolong jelaskan kami mengapa diperlakukan seperti itu," ujar Putu Oka Sukanta, Sastrawan asal Singaraja Bali, pada IDN Times di sebuah kafe di kawasan Cikini belum lama ini.

Sudah hampir 56 tahun Putu mencari jawaban atas penderitaan selama sepuluh tahun dia dibui tanpa diadili. Putu merupakan salah satu korban tragedi 1965. Dia dipenjara saat rezim Orde Baru selama 10 tahun sebagai tahanan politik. Putu dianggap sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan dibui pada 21 Oktober 1966 sampai 1976 tanpa adanya proses pengadilan.

 

1. Karya Putu mengangkat kritik sosial

Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili Putu Oka Sukanta, Sastrawan Penyintas Korban 1965 (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Sastrawan yang baru saja penghargaan lifetime achievement atau penghargaan seumur hidup dari Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022 ini menceritakan sebagai anak yang lahir dari keluarga petani miskin di Bali, Putu melihat berbagai ketimpangan kemiskinan dan diskriminasi dalam struktur sosial masyarakat. Putu pun menuangkan kritik sosial dalam berbagai tulisannya.

"Saya sejak kecil hidup di tengah masyarakat miskin, ada kehidupan lucu dan menyakitkan. Misalkan, kasta saya kan sudra tetapi harus ngomong ke kasta atas lebih halus saya jengkel dan tidak suka," ungkapnya.

Baca Juga: Alasan Komnas HAM Buat Tim Ad Hoc Selidiki Pelanggaran HAM Berat Munir

2. Putu ditangkap tanpa tuduhan yang jelas

Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili Ilustrasi korban massal G30S/PKI (IDN Times/Rosa Folia)

Putu merantau di Jakarta untuk menjadi guru setahun sebelum peristiwa G30 September meledak. Dia juga aktif sebagai jurnalis, penulis sastra di koran nasional.

Namun suatu malam pada 21 Oktober 1966, dia ditangkap dalam penggeledahan karena diduga terlibat dalam peristiwa 30 September 1965.

"Tidak jelas tuduhannya, walaupun saya anggota LEKRA tapi gak ada pertanyaan tentang LEKRA," ungkapnya.

3. Banyak orang dipenjara tanpa diadili serta mengalami penderitaan

Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili Suasana nonton bareng film G30S/PKI yang digelar Sapma Pemuda Pancasila Kota Banda (IDN Times/Saifullah)

Selama interogasi, Putu mendapatkan siksaan, dia disabet menggunakan ikan Pari agar mengakui tuduhan yang dilayangkan. Di Unit Komando Distrik Militer 0501 tempat Putu semula ditahan selama tiga bulan tidak menemukan barang bukti Putu giat dalam tindak makar fisik atau politik. Satu-satunya dalih dia dipenjara karena memberi suaka bagi orang  di rumahnya.

"Peristiwa ini misterius, semua timpang tindih, internal tentara, PKI ini tumpang tindih, dampak peristiwa ini orang yang dituduh ditangkap tidak jelas, yang dicurigai juga ditangkap tanpa prosedur hukum, tanpa penjelasan," ungkapnya.

"Tidak hanya saya atau golongan yang dianggap kiri saja yang kena dampak buruknya. Ini masalah bangsa, banyak orang di luar yang kena dampaknya, dipenjara tanpa diadili serta mengalami penderitaan," imbuhnya.

 

Baca Juga: Komnas HAM: Ironis, Serangan pada Pembela HAM Masih Sering Terjadi

4. Saya menulis untuk menjadi manusia

Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili Martabat Harkat karya Putu Oka Sukanta/Tokopedia

Selama di penjara, Putu dilarang mempunyai pensil dan kertas. Dia berusaha belajar dari tahanan lain dan mencoba menguatkan memori dan otak. Menurutnya tiap sel tahanan mempunyai cerita. Dan kisah-kisah dalam penjara tersimpan dalam pikirannya.

Penjara yang dijalani Putu tanpa proses pengadilan atas kesalahan apa yang dilakukannya melahirkan spirit menyuarakan ketidakdilan melalui berbagai wajah dan cerita yang dituangkan dalam novel Merajut Harkat. Berbagai karya fiksi dan non fiksi kemudian lahir dari tangannya.

"Saya menulis untuk menjadi manusia," katanya.

5. Selain aktif menulis, Putu belajar Akupunktur

Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili health.harvard.edu

Selain menghasilkan karya tulisan, saat dalam tahanan juga belajar akupunktur dengan sensei bernama Lie Tjwan Sien seorang Tabib tradisional

Keahlian ini yang menjadi pijakan Putu usai keluar dari penjaraselain menulis. Dia mendalami metode akupunktur hingga mendapat sertifikat dari Depkes pada 1978 dan membuka praktik di rumahnya Jalan Balai Pustaka, kawasan Rawamangun, Jakarta Timur sampai sekarang.

"Ketika keluar [penjara], profesi yang lama tidak bisa, jadi aku mencoba untuk mendalami akupunktur secara profesional, berguru ke beberapa sensei," kata Putu.

 

6. Putu masih mencari keadilan dan jawaban atas perlakuan Pemerintah

Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili Ilustrasi napi di penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Meski telah dibebaskan, Putu masih mencari keadilan dan jawaban atas perlakuan Pemerintah yang menahan tanpa penjelasan dan tanpa pengadilan.

Bahkan, sebagai Tahanan Politik Putu kerap mendapatkan diskriminasi dari sekitar terlebih dia mendapatkan KTP dengan label ET alias eks tapol.

Namun Putu tidak ambil pusing karena mereka punya hak dan tidak tahu apa yang terjadi.

"Saya tidak salah dan tidak tahu alasannya mengapa ditangkap," imbuhnya.

Baca Juga: Istana Minta Kebijakan Keturunan PKI Bisa Daftar TNI Tak Dibesarkan

7. Cabut Instruksi Mendagri No. 32 Tahun 1981

Kisah Putu Oka Sukanta Korban Tragedi 65 Dibui 10 Tahun Tanpa Diadili ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Selain meminta penjelasan, Putu meminta pemerintah mencabut peraturan diskriminatif seperti Instruksi Mendagri No. 32 Tahun 1981 tentang larangan bekerja sebagai penulis, PNS atau profesi lainnya bagi eks tahanan politik.

"Instruksi itu tidak dilakukan penuh tetapi masih ada dan sangat diskriminatif. Selain itu, saya berharap masyarakat saat ini, siapapun dia, bisa bekreasi dan mendapatkan penghasilan tanpa ketakutan dan intimidasi," ujarnya.

"Kembalikan jiwa mereka, mereka butuh pertolongan agar mereka hidup lagi sebagai manusia," katanya.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya