Disebut Perdana Menteri, Ini Peran Luhut di Lingkaran Kekuasaan Jokowi

Jakarta, IDN Times - Peneliti ekonomi-politik dan Direktur Eksekutif Investindo International, Jeremy Mulholland, mengungkap awal mula terjalinnya hubungan Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Investasi dan Kemaritiman (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.
Tahun 2008 lalu menjadi titik balik hubungan Jokowi dan Luhut. Saat itu, Jokowi sudah menjabat sebagai Wali Kota Surakarta dan Luhut Pandjaitan merupakan purnawirawan Komandan dari Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus) serta mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Mulai tahun berikutnya, kemitraan Jokowi-Luhut resmi terjalin dalam usaha patungan Rakabu Sejahtra, antara bisnis furnitur keluarga Jokowi dan grup Toba Sejahtra milik Luhut.
"Ini terbukti menjadi kesepakatan yang saling menguntungkan," ujar Mulholland dalam keterangan sebagaimana dikutip IDN Times dari Inside Indonesia, Selasa (9/4/2024).
Di satu sisi, Jokowi mendapatkan perlindungan, keterampilan strategis, dan pemahaman mendalam tentang politik elite Jakarta secara langsung dari Luhut. Di sisi lain, walaupun Luhut sangat dekat dengan Elite Golkar dan seorang taipan Aburizal Bakrie, Luhut berupaya mendiversifikasi ‘risiko politik’ dengan mempertaruhkan gaya populis dan pencitraan Jokowi akan menjadi keunggulan dalam memenangkan pemilu.
Taruhan Luhut rupanya terbayar hanya beberapa tahun kemudian dengan kemenangan Jokowi pada pemilihan Gubernur Jakarta pada tahun 2012.
Oleh karena itu, Luhut berfungsi sebagai patron atau 'pelindung' Jokowi, bahkan melebih Ketua Umum, PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Sukarnoputri, yang waktu itu mengusungnya pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Sementara mendiang suaminya, Taufiq Kiemas, meragukan prospek politik Jokowi
1. Luhut sang pemecah masalah politik Jokowi

Setelah memangku jabatan presiden sejak Oktober 2014, Jokowi menghadapi perlawanan dalam koalisi pemerintahan yang baru dibentuknya dari pimpinan partai pengusungnya, seperti Megawati, Surya Paloh dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang saat itu menolak berbagi kekuasaan dengan Luhut.
Alih-alih mendengarkan sikap mereka, Jokowi justru memberikan jabatan strategis untuk Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan, sehingga dapat semakin mempengaruhi dan mendominasi kabinet.
Oleh karena itu, pada pertengahan tahun 2016, Luhut mampu memperoleh kendali strategis atas portofolio yang tampaknya sederhana, yang kemudian ia ubah menjadi salah satu 'pusat negara' terkuat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Dengan memperkuat basis kekuatan dan posisi tawar yang lebih efektif bagi Jokowi dalam kontestasi intra-elite di Indonesia, Luhut berfungsi sebagai 'pemecah masalah politik' utama bagi Jokowi. Tak heran bila Luhut dijuluki sebagai 'Perdana Menteri de facto'.
"Akibat posisi tawar itu, Luhut dengan tegas menangani masalah sehari-hari dalam pemerintahan, mengatur koalisi yang berkuasa dan mengelola persaingan internalnya," ungkapnya.
Selama masa jabatan Jokowi, Luhut secara konsisten menjalankan peran tersebut, termasuk menduduki berbagai jabatan penting di kabinet interim dan penugasan non-struktural.
Hubungan istimewa kedua orang ini mencerminkan sejauh mana Jokowi sebagai presiden lebih mengandalkan 'hubungan informal' dan 'rasa saling percaya' dengan Luhut dibandingkan 'sistem organisasi aparatur negara'.
Sebagai seorang pemecah masalah, Luhut juga mengelola kebijakan investasi dan memberikan perhatian yang cermat terhadap aliran pembiayaan proyek pemerintah dan 'dana gelap informal'.
Oleh karena itu, Luhut berperan penting dalam mengendalikan perusahaan-perusahaan negara, termasuk Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Luhut juga berhasil memimpin kesepakatan untuk mendivestasi saham asing di konsesi dan proyek pertambangan tembaga dan emas Freeport serta nikel Vale yang menguntungkan. Dia memobilisasi dukungan untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan dengan mendirikan Otoritas Investasi Indonesia.
2. Luhut memimpin proyek mercusuar Jokowi

Luhut juga mengkoordinasikan pembangunan marcusuar dalam bidang infrastruktur di era Jokowi, misalnya Tol Trans Sumatra, transportasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung, krisis kesehatan pandemik COVID-19, pendidikan dan pariwisata (Wilayah Danau Toba di Sumatera Utara) serta proyek-proyek pertanian (food estate dan impor sapi).
Kewenangan Luhut semakin meluas ke Pertamina yang merelokasi kantor pusatnya ke Menara 'Sopo Del' milik Toba Sejahtranya Luhut.
"Yang paling menonjol, Jokowi mendelegasikan kebijakan mineral pemerintah, termasuk program pengadaan kendaraan listrik kepada Luhut," tutur peneliti Jeremy Mulholland.
Hal ini mengakibatkan Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia melarang ekspor, meningkatkan kapasitas peleburan secara besar-besaran, dan melancarkan penyelundupan bijih nikel dalam skala besar.
Pemetaan dan analisis industri nikel yang dilakukan Project Multatuli dan Tempo mengungkapkan bahwa jaringan kekuasaan Luhut beroperasi pada pusaran industri tersebut.
Sekutu terdekat Luhut, purnawirawan Komandan Kopassus Sintong Panjaitan, adalah Komisaris Utama kelompok Bintang Delapan yang bermitra dengan kelompok Tionghoa Tsingshan untuk menguasai Kawasan Industri Morowali di Sulawesi.
Kawasan Industri Morowali dianggap sebagai klaster pabrik peleburan 'feronikel' terbesar di Indonesia yang menghasilkan ekspor dengan nilai tambah yang relatif rendah untuk pasar Tiongkok.
Lebih jauh ke hilir, bisnis kendaraan listrik (dan stasiun pengisian ulang) Toba Sejahtra, Electrum, dikelola oleh keponakan Luhut, yaitu Pandu Sjahrir.
Tanpa adanya perlawanan politik dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, Luhut juga membantu membentuk kebijakan fiskal dan keputusan APBN seperti subsidi kendaraan listrik.
Secara keseluruhan, ekonom kawakan Indonesia, Faisal Basri, mengecam hilirisasi nikel karena hal ini lebih mengutamakan kepentingan elite dibandingkan menghasilkan dampak positif yang signifikan bagi industrialisasi dan kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat Indonesia.
3. Luhut dan rencana perpanjangan masa jabatan presiden

Jokowi dan Luhut berhasil menerapkan praktik ‘legalisme otokratik’ dengan memperlemah badan dan aturan hukum pengawasan dan penindakan terhadap kesewenang-wenangan politik (“institutional checks”) sehingga mengintensifkan kontestasi intra-elit dan semakin merendahkan mutu demokrasi prosedural di Indonesia. Misalnya, di bawah Jokowi-Luhut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diubah menjadi 'senjata politik'.
Kendati, Jokowi dan Luhut tampak bermuka dua mengklaim bahwa KPK telah berfungsi dengan baik, bahwa Indonesia kini memiliki sistem yang lebih baik dan lebih terintegrasi dan berada pada jalur penurunan dalam hal tingkat korupsi. Mereka mengklaim pemerintah tidak akan melakukan intervensi terhadap KPK.
Namun, realitas di balik layar sangatlah berbeda dengan apa yang mereka klaim. Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo (2015-2019) dan Wakil Komisionernya, Saut Situmorang menolak keras upaya-upaya intervensi dan narasi yang dibangun oleh Jokowi-Luhut.
Setelah 2019, Jokowi dan Luhut bersaing dengan Megawati dan orang kepercayaannya, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, untuk memperebutkan kendali atas KPK yang melemah.
Meski awalnya dianggap dekat dengan Budi, Ketua KPK Firli Bahuri, semakin mengakomodir aliansi Jokowi-Luhut. Pendekatan antikorupsi yang dilakukan Firli terbukti bias dan sporadis. Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, hal ini selaras dengan “cara pandang para pelaku politik di Indonesia yang cenderung melihat pencegahan korupsi sebagai tidak ada penangkapan, bukan tidak ada korupsi.”
Sejak 2020, dengan adanya Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang tidak efektif, Firli dengan setengah hati mengawasi pembangunan smelter nikel, dan mengabaikan kasus-kasus seperti dugaan penyelundupan bijih nikel oleh Luhut dan upaya perlindungan investor asing besar, eksportir nikel asal Tiongkok, Zhenshi Holding Group.
Firli juga menolak mengusut sejumlah kasus yang memiliki bukti kuat, termasuk dugaan kepemilikan manfaat (beneficial owner) Luhut atas laboratorium uji PCR dalam masa krisis COVID-19 dan konsesi pertambangan emas bekas Freeport di 'Blok Wabu', serta dugaan kegiatan pencucian uang yang dilakukan putra-putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Firli justru menyasar rival politik utama Jokowi dan Luhut, terutama yang terkait dengan jaringan kekuasaan Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Megawati.
Hal ini memicu konflik yang memecah belah koalisi penguasa dan berujung pada 'efek bumerang' dengan eskalasi konflik antara Firli dan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto, yang mengungkap bukti-bukti yang dapat dipercaya yang memberatkan Firli, sebagai pimpinan KPK pertama yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap.
Pada akhir 2023, Jokowi terpaksa memecat Firli, meski ia tidak mengembalikan independensi dan kekuasaan KPK sebelumnya.
Aliansi Jokowi-Luhut juga menyiasati rekayasa suksesi politik dengan berbagai cara memperpanjang masa jabatan kepresidenan Jokowi termasuk mempertahankan kekuasaan lewat ‘proxy politik’. Walaupun Megawati menggagalkan upaya-upaya tersebut, manipulasi politik yang belum pernah terjadi sebelumnya dilakukan Jokowi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memungkinkan putranya, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi, Prabowo Subianto, sebagai sekutu Luhut lainnya.
Kekhawatiran para intelektual publik terhadap Pemilu demokratis paling 'kotor' di Indonesia yang penuh dengan keberpihakan Jokowi pada kampanye Prabowo-Gibran, packing politik pimpinan daerah dan dugaan praktik ‘gentong babi’ (pork-barelling) dan jual beli suara telah terjadi dalam kemenangan telak pasangan Prabowo-Gibran pada 14 Februari lalu.
Dalam dunia ideal di mana supremasi hukum diterapkan sepenuhnya, penyelidikan parlemen (‘hak angket’) yang efektif terhadap Pemilu 2024 atau investigasi pemberantasan korupsi yang bersifat independen, dapat memanfaatkan pengungkapan-pengungkapan yang sudah ada terkait erat dengan kasus korupsi perpajakan dan Panama Papers mengenai aliran dana gelap politik yang dikumpulkan di sekitar kerajaan bisnis Jokowi-Luhut.
Investigasi semacam ini dapat memberikan pelajaran berharga bagi para pemimpin politik di masa depan bahwa penyalahgunaan kekuasaan tidak boleh dibiarkan.
Kenyataannya, kepentingan aliansi Jokowi-Luhut kini tampak semakin terlindungi dengan fragmentasi sebagian besar 'oposisi politik', KPK melemah dan presiden baru Indonesia, Prabowo, tampaknya bertekad untuk mempertahankan status quo.
Secara keseluruhan, ‘aliansi informal’ Jokowi-Luhut telah menjadi ‘poros ekonomi politik Indonesia’ selama satu dekade terakhir. Sayangnya bagi Indonesia, pemerintahan yang populis dan sarat akan kompromi politik ini telah menyebabkan pembusukan demokrasi selama satu dekade.
Bagi Prabowo, sebagai presiden berikutnya, membalikkan tren tersebut tidak akan menjadi prioritas politik dalam kontestasi intra-elite di Indonesia.