Eks Kepala BPPN Syafruddin Divonis 13 Tahun dalam Kasus Korupsi BLBI

Jakarta, IDN Times - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 13 tahun dan denda Rp700 juta kepada eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung pada Senin (24/9). Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta agar majelis hakim memvonis pria berusia 61 tahun itu 15 tahun di dalam bui dan denda Rp1 miliar.
Menurut majelis hakim, Syafruddin terbukti telah membantu menguntungkan Sjamsul Nursalim, pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) senilai Rp4,58 triliun. Keuntungan itu diperoleh dari restrukturisasi utang milik BDNI senilai Rp3,9 triliun.
Syafruddin terbukti menyalahgunakan wewenangnya saat menjabat sebagai Kepala BPPN untuk menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI yang diberikan kepada Sjamsul Nursalim. BDNI merupakan salah satu obligor yang mendapat kucuran dana BLBI dari pemerintah saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998 lalu. BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas.
Saat Sjamsul belum melunasi utang BLBI tersebut, Syafruddin bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti malah menerbitkan SKL bagi Sjamsul.
Syafruddin juga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak udang yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Padahal, dua perusahaan itu diyakini milik Sjamsul Nursalim.
Dalam rapat terbatas pemerintah, Syafruddin mengusulkan agar BDNI hanya membayar Rp1,1 triliun. Sisanya Rp2,8 triliun dihapus atau write off. Anehnya, di dalam rapat tersebut, Syafruddin tidak melaporkan aset berupa utang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul terdapat misrepresentasi alias ia menyerahkan aset yang macet. Pemerintah ketika itu tidak sepakat dengan usulan Syafruddin. Namun, ia justru membuat ringkasan rapat yang menyatakan ada penghapusan utang senilai Rp2,8 triliun.
Dengan demikian, Syafruddin terbukti telah melanggar pasal 2 ayat 1 UU nomor 31 Tahun 1999.