Kasus Harun Masiku Imbas Elite Parpol Ingkari Sistem Pemilu Terbuka

- Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai PAW masih melibatkan KPU sebagai konsekuensi sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
- Kasus Harun Masiku terjadi karena pengingkaran elite partai terhadap pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
- Titi Anggraini menyarankan aturan main yang jujur dan adil serta memilih penyelenggara pemilu yang profesional dan kredibel untuk keuntungan semua pihak.
Jakarta, IDN Times - Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai, menyampaikan, Pergantian Antar Waktu (Waktu) para legislator masih melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan konsekuensi sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak yang dianut Indonesia.
Titi mengatakan, orang yang ditunjuk untuk mengisi PAW merupakan calon legislatif (caleg) yang memperoleh suara terbanyak berikutnya, bukan asal tunjuk sesuai selera para elite.
"PAW masih melibatkan KPU adalah sebagai konsekuensi sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak yang dianut Indonesia," kata Titi Anggraini dalam unggahan di X, dikutip IDN Times, Jumat (27/12/2024).
1. Kasus Harun Masiku karena pengingkaran para elite

Lebih jauh, Titi menilai, kasus Harun Masiku terjadi karena pengingkaran elite partai terhadap pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Di lain sisi lain ada pemaksaan agar caleg favorit elite bisa dapat kursi daripada memberikan kursi kepada caleg suara terbanyak yang dikehendaki oleh rakyat untuk duduk di parlemen.
"Kasus Harun Masiku terjadi karena pengingkaran elite partai terhadap pemberlakuan sistem pemilu proporsional daftar terbuka," kata dia.
2. Perlu ada aturan main yang jurdil

Karena itu, ia berpandangan, perlu ada aturan main yang jujur dan adil dan demokratis. Ia juga menyarankan agar memilih penyelenggara pemilu yang profesional dan kredibel.
"Sebab itu akan menguntungkan buat semua. Baik saat berkuasa ataupun tidak," ujar dia.
Menurut bila suatu sistem diobok-obok, maka pasti akan berdampak terhadap pihak-pihak yang ikut terlibat mengobok-obok sistem tersebut. Sehingga yang terjadi lingkaran setan akan terus berulang.
"Makanya, dalam pemilu misalnya, buatlah aturan main yang jurdil dan demokratis serta pilihlah penyelenggara pemilu yang memang profesional dan kredibel," kata dia.
3. Harun Masiku masih jadi buronan

Diketahui, perburuan KPK terhadap eks Caleg PDIP belum berakhir setelah menghilang sejak 2020. Bahkan, KPK sampai dua kali menerbitkan surat Daftar Pencarian Orang (DPO).
Harun Masiku diburu KPK setelah diduga menyuap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Suap itu diduga dilakukan agar Harun bisa dipilih masuk ke DPR melalui jalur pergantian antar waktu (PAW).
Wahyu telah divonis enam tahun penjara serta denda Rp150 juta subsider enam bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap 57.350 dolar Singapura.
Untuk mencari keberadaan Harun Masiku, KPK telah melakukan sejumlah upaya. Mulai dari memeriksa Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto hingga mengajukan pencegahan ke luar negeri ke beberapa pihak.