Komnas Perempuan: Kasus Agus Cerminkan Banyak Pola Kekerasan Seksual

- Kasus kekerasan seksual difabel di Lombok mencerminkan kompleksitas modus kekerasan seksual yang memerlukan pemahaman dan edukasi masyarakat.
- Komnas Perempuan mendalami kasus ini untuk memastikan proses hukum adil, hak korban terpenuhi, dan penegakan hukum profesional serta sensitif.
Jakarta, IDN Times - Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, mengatakan, kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang difabel tanpa tangan, Agus alias IWAS terhadap 15 perempuan di Lombok, Nusa Tenggara Barat NTB), mencerminkan semakin beragamnya pola dan modus kekerasan seksual.
Hal ini mendorong masyarakat untuk lebih waspada dan terus meningkatkan pemahaman terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual yang sering kali sulit dikenali.
"Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya edukasi publik tentang modus kekerasan seksual yang semakin kompleks. Pengetahuan ini penting agar masyarakat dapat mengenali tanda-tanda kekerasan seksual, mencegah terjadinya kekerasan, serta memberikan dukungan yang tepat kepada korban," ujar Veryanto, Rabu (11/12).
1. Komnas Perempuan terus memantau kasus

Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, mengatakan, pihaknya juga telah menerima pengaduan dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB yang bertindak sebagai kuasa hukum sekaligus pendamping korban. Koalisi tersebut terdiri dari empat lembaga yang aktif memberikan pendampingan kepada para korban.
"Komnas Perempuan terus memantau dan mendalami kasus ini untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kami juga mendorong agar hak-hak korban, khususnya hak atas pemulihan fisik dan psikologis dapat terpenuhi," kata Bahrul.
Komnas Perempuan menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman serta mendukung bagi perempuan dan anak. Termasuk juga meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual secara profesional dan sensitif.
2. KPAI desak polisi gunakan UU TPKS dan Perlindungan Anak dalam menindak pelaku kekerasan seksual

KPAI juga menyoroti pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak melalui pendidikan di lingkungan sekolah dan keluarga, serta penguatan nilai-nilai perlindungan anak dalam masyarakat.
Selain itu, menjaga kerahasiaan identitas anak korban seperti nama, sekolah, dan tempat tinggal, menjadi hal yang sangat krusial mengingat tingginya perhatian publik terhadap kasus kekerasan seksual ini. Melindungi identitas anak korban adalah langkah penting untuk mencegah trauma lanjutan yang dapat memperburuk kondisi psikologis anak.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak yang menegaskan, anak korban kekerasan harus mendapatkan layanan yang cepat dan tepat.
KPAI mendesak kepolisian untuk menggunakan UU TPKS dan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam menindak pelaku kekerasan seksual, serta mengupayakan hak restitusi bagi korban sebagai bentuk pemulihan atas hak-hak mereka yang telah dirampas.
3. Difabel tidak boleh diberi keringanan hukum

Sementara itu, Bahrul mengatakan, IWAS adalah penyandang difabel fisik sehingga apa yang dia lakukan atas dasar kesadaran penuh. Hal itu berbeda apabila IWAS merupakan difabel intelektual.
Bahrul menambahkan, tindak pidana yang dilakukan difabel tidak boleh diberikan keringanan secara hukum karena dapat membuka peluang dimanfaatkan orang jahat untuk tindakan kriminal.
"Kita tidak bisa menjadikan alasan kepada teman-teman difabel yang melakukan tindak pidana, karena ini nanti akan menjadi presiden buruk, misalkan tindakan ini dimaafkan atau di excuse maka penyandang disabilitas akan dimanfaatkan orang-orang jahat untuk tindak-tindak kriminal," ucap dia.
4. KPAI dorong korban dapatkan layanan psikososial

Sementara itu, Anggota KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sekaligus Pengampu Klaster Anak Korban Kekerasan Seksual, Dian Sasmita, menyampaikan keprihatinannya terhadap dua anak yang menjadi korban dalam kasus ini.
Dia juga menekankan, kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya menyebabkan trauma yang mendalam, tetapi juga berpotensi memengaruhi perkembangan psikologis anak dalam jangka waktu panjang.
"KPAI saat ini terus berkoordinasi dengan pihak pendamping kedua anak korban untuk memastikan pemulihan psikologisnya dengan baik. Kami mendorong agar korban mendapatkan layanan psikososial yang memadai dan berkelanjutan untuk membantu mereka pulih dari trauma," ujar Dian.
5. Polda NTB sediakan akomodasi layak

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Damanik, menyoroti status pelaku sebagai difabel. Berdasarkan hasil koordinasi dengan Komite Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Polda NTB, dan pihak terkait lainnya, Polda NTB telah menyediakan akomodasi yang layak selama proses hukum terhadap pelaku.
"Polda NTB telah memenuhi prinsip-prinsip akomodasi yang layak bagi penyandang difabel sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020. Beberapa langkah yang dilakukan meliputi penilaian personal terhadap pelaku, penerapan tahanan rumah berdasarkan rekomendasi KDD NTB, serta penyediaan pendamping hukum bagi pelaku selama proses hukum berlangsung," ujar Jonna.