KontraS: Ada 10 Pejabat Berlatar Belakang Militer di Kabinet Prabowo

- 10 orang dari militer di Kabinet Merah Putih era Prabowo Subianto, 1 di antaranya masih prajurit TNI aktif.
- Dibandingkan dengan era SBY, pejabat militer di kabinet Prabowo jauh lebih banyak.
- Alasan Prabowo menempatkan pejabat militer karena kurang percaya pada politisi dan birokrat sipil.
Jakarta, IDN Times - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, mengatakan pada era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terdapat 10 orang dari latar belakang militer yang berada di Kabinet Merah Putih.
Bahkan, kata Dimas, satu orang yaitu Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya masih berstatus prajurit TNI aktif dan menduduki jabatan Sekretaris Kabinet. Angka itu bisa bertambah bila turut dimasukan kepala badan dan komisaris perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dimas juga menyebut pejabat berlatar belakang militer yang masuk kabinet Prabowo jauh lebih banyak dibandingkan era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sama-sama berlatar belakang militer.
"Jumlah pejabat publik di periode pertama kepemimpinan SBY hanya Seskab, yakni Sudi Silalahi. Dia purnawirawan Letnan Jenderal," ujar Dimas di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Sedangkan, periode pertama kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo ada dua menteri berlatar belakang militer, yakni Tejo Edhi Purdijatno sebagai Menko Polhukam dan Ryamizard Ryacudu.
"Padahal, ada kesamaan latar belakang SBY dengan Prabowo. Tapi ada treatment yang berbeda dalam mengakomodir politik militer dalam kabinet pemerintahan," tutur Dimas.
Lantas, siapa saja deretan menteri di Kabinet Merah Putih yang datang dari latar militer?
1. Daftar 10 menteri di kabinet Prabowo yang berlatar belakang militer

Berikut adalah daftar menteri atau pejabat publik di kabinet Prabowo yang berlatar belakang militer:
- Sjafrie Sjamsoeddin (Menteri Pertahanan)
- Agus Harimurti Yudhoyono (Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur)
- Sugiono (Menteri Luar Negeri)
- Iftitah Sulaiman (Menteri Transmigrasi)
- Fredrich Lodewijk Paulus (Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan)
- Bambang Eko Suharyanto (Wakil Menteri Sekretaris Negara)
- Donny Ermawan (Wakil Menteri Pertahanan)
- Didit Herdiawan Asaf (Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan)
- Ossy Dermawan (Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang)
- Teddy Indra Wijaya (Sekretaris Kabinet).
Ini belum ditambah dengan Kepala Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) Nugroho Sulitsyo Budi; Kepala Badan SAR Nasional, Mohammad Syafii; dan Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, Lodewyk Pusung.
"Bahkan, untuk pejabat tinggi di Badan Gizi Nasional, dari delapan orang, lima di antaranya berlatar militer," kata Dimas.
2. Prabowo dinilai tak percaya politisi dan birokrat sipil

Lebih lanjut, menurut Dimas, alasan Prabowo lebih banyak menempatkan pejabat dari latar belakang militer atau prajurit TNI aktif, karena ia tak percaya terhadap politisi dan birokrat sipil. Maka, sejauh ini sudah ada enam prajurit TNI aktif duduk di jabatan instansi sipil.
"Konteks penempatan prajurit TNI aktif punya ruang untuk mengaktifkan upaya-upaya untuk melegitimasi arah kebijakan pemerintah," kata dia.
Gejala ini pula, kata Dimas, yang dilihat masyarakat sipil mendorong pemerintah melakukan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Salah satu pasal yang bakal direvisi yakni Pasal 47 ayat 2 mengenai instansi sipil yang boleh diisi prajurit TNI.
"Ini justru akan memberikan legitimasi dan justifikasi lebih untuk menempatkan prajurit TNI aktif di dalam kementerian atau lembaga. Ini yang menjadi titik tekan pernyataan kami dari masyarakat sipil," tutur dia.
Sebagai diketahui, berdasarkan UU TNI yang lama, prajurit hanya bisa masuk di 10 instansi sipil.
3. Penempatan anggota TNI di kementerian/lembaga bakal tutup peluang birokrat sipil

Dimas mengatakan ada dua dampak langsung bila pemerintah dan parlemen ngotot membuka pintu lebar bagi TNI duduk di jabatan instansi sipil. Pertama, membuat upaya profesionalisme TNI jadi mundur, yang sudah dikonstruksikan dalam UU TNI Tahun 2004 dan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000. Isinya mengatur pemisahan TNI dan Polri.
"Kedua, mematahkan meritokrasi sipil. Artinya, upaya ASN bisa masuk ke dalam level eselon I dan II, dia harus berkompetisi dengan perwira TNI aktif yang menjadi bagian dari fenomena tentara non-job. Ini pasti akan ada implikasi mengistimewakan prajurit TNI bila revisi UU TNI akhirnya disahkan," katanya.