KontraS Minta Jokowi Batalkan Keppres Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM

Jakarta, IDN Times - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan pengesahan Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. KontraS menyatakan, sejak awal pembentukkan tim ini sudah menuai polemik. Adapun Keppres tersebut sudah disahkan oleh Jokowi pada 26 Agustus 2022.
"Ketergesaan dalam menuliskan materi, ketidakterbukaan terhadap publik, bahkan upaya memasukkan nama-nama tertentu tanpa konfirmasi, sejumlah polemik tersebut tentu akan berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengkritik Keppres tersebut, Kamis (22/9/2022).
1. KontraS tempuh berbagai jalur untuk meminta dokumen Keppres

Kontras menyebut, ada sejumlah kejanggalan dalam Keppres tersebut. Pertama, dokumen ini didapatkan dari informasi yang tersebar di masyarakat. KontraS sendiri telah menempuh berbagai macam jalur untuk meminta dokumen Keppres secara resmi melalui lembaga terkait.
Mulai dari 23 Agustus 2022 dengan bersurat kepada Sekretariat Negara, Kemenko Polhukam, dan Kemenkumham, kemudian pada 2 September 2022 ada balasan dari Sekretariat Negara, di mana Kontras disarankan meminta informasi pada Kemenko Polhukam dengan mekanisme Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Namun, pada 16 September Kemenko Polhukam membalas surat KIP tersebut yang pada intinya menyatakan bahwa dokumen yang dimintakan oleh KontraS, belum diterima oleh Kemenko Polhukam.
"Namun, pada 20 September 2022 kemarin, kami menerima informasi bahwa Keppres tersebut sudah ditandatangani oleh Setneg sejak tanggal 26 Agustus 2022, tepat dua hari setelah permohonan informasi yang kami ajukan diterima secara resmi oleh Sekretariat Negara," kata Fatia.
2. Kontras menduga dokumen Keppres sengaja ditutup-tutupi

Dari kondisi itu, KontraS menduga ada indikasi negara sengaja menutup-nutupi dokumen tersebut. Ketertutupan informasi tersebut, ujar Fatia, makin menegaskan bahwa negara mengambil jalan pintas untuk seolah dianggap sudah menuntaskan pelanggaran HAM berat.
Konsekuensi lain yang muncul dari kondisi di atas, lanjut Fatia, adalah dokumen apa yang sebetulnya dimaksud Presiden Joko "Jokowi" Widodo saat Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2022 di Gedung DPR, yang menyatakan bahwa Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu sudah diteken dan ternyata disahkan sejak 26 Agustus 2022.
3. Nama Kiki Syahnakri yang ada di daftar tim pelaksana, tercantum pada daftar Serious Crimes Unit (SCU)

Adapun Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana. Dalam tim pelaksana ada nama Kiki Syahnakri yang tercantum pada daftar Serious Crimes Unit (SCU). Dia berperan sebagai Jaksa Penuntut di pengadilan Hibrid Timor Timur PBB dengan dakwaan berupa pembunuhan, deportasi, dan persekusi kepada warga Timor Timur.
Pada tahun 1995, Dewan Kehormatan Militer memindahkan Kiki setelah adanya temuan investigasi bahwa sebagai Komandan Resor Militer (Danrem) 164, dia turut bertanggung jawab dalam pembunuhan enam warga Liquica yang dilakukan oleh anggota Komando Resor Militer (Korem).
"Dipilihnya pelaku pelanggaran HAM berat menjadi salah satu anggota Tim Pelaksana menegaskan kembali tebalnya dinding impunitas yang dibangun oleh negara. Negara yang sangat lamban memenuhi hak keadilan bagi korban pelanggaran HAM, terbukti sangat sigap dan sistematis dalam melakukan “pemulihan” serta “pemutihan” untuk para pelaku pelanggaran HAM berat," ujar Fatia.
4. Presiden diminta batalkan Keppres

Dengan adanya Keppres ini, maka kasus-kasus pelanggaran HAM berat terbuka untuk diselesaikan di luar jalur pengadilan. KontraS menilai, jika kini negara baru “bergerak” dengan cara non-yudisial, korban dalam kondisi tidak berdaya.
Menurut Fatia, di tengah upaya yudisial atas Pengadilan Paniai yang tidak maksimal, keberadaan Keppres ini tidaklah relevan karena makin mengaburkan upaya korban dan keluarga korban menemukan keadilan dalam bentuk pengungkapan kebenaran dan jaminan atas ketidakberulangan.
"Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah sepatutnya Presiden RI membatalkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat," kata dia.