LPSK Terima 6 Permohonan Perlindungan Saksi Pembunuhan Jurnalis Juwita

- LPSK menerima 6 permohonan perlindungan dari keluarga korban dan saksi kasus dugaan pembunuhan jurnalis Juwita asal Banjarbaru oleh anggota TNI AL aktif.
- Sebelum menerima permohonan, LPSK melakukan investigasi lapangan dengan mengumpulkan keterangan pangsung dari keluarga korban, sejumlah saksi, penyidik Polisi Militer, dan Oditur Militer.
- Dari hasil investigasi lapangan, LPSK menemukan indikasi adanya unsur tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang diduga terjadi sebelum pembunuhan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
Jakarta, IDN Times - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima enam permohonan perlindungan dari keluarga korban dan saksi dalam kasus dugaan pembunuhan jurnalis Juwita asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Juwita diduga dibunuh oleh anggota TNI AL aktif.
Wakil Ketua Sri Suparyati menyebut, permohonan mencakup pendampingan hukum, bantuan psikologis, hingga fasilitasi restitusi.
“LPSK menerima enam permohonan perlindungan dari keluarga korban dan saksi kasus dugaan pembunuhan jurnalis asal Banjarbaru oleh anggota TNI AL aktif,” kata Sri Supriyati dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/4/2025).
1. LPSK menggelar investigasi

Sebelum menerima permohonan perlindungan, LPSK menggelar investigasi pada 17–18 April 2025. Investigasi dilakukan dengan mengumpulkan keterangan pangsung dari keluarga korban, sejumlah saksi, penyidik Polisi Militer, dan Oditur Militer.
LPSK juga mengunjungi lokasi kejadian dan pihak-pihak terkait, termasuk perusahaan rental mobil yang kendaraannya digunakan pelaku.
“Kami hadir di Banjarbaru karena mendapat informasi awal dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dan media. Tujuan kami adalah menggali informasi langsung dari keluarga, saksi, dan aparat penegak hukum,” ujar Sri Suparyati.
2. LPSK temukan unsur kekerasan seksual sebelum pembunuhan

Dari hasil investigasi lapangan, LPSK menemukan indikasi adanya unsur tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang diduga terjadi sebelum pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a dan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, yang dapat memperberat hukuman.
“Kami mendorong agar dugaan adanya kekerasan seksual juga diproses sesuai hukum yang berlaku. Jika ditemukan bukti baru, kami berharap penyidik dan aparat terkait bersedia membuka penyelidikan lanjutan,” tutur Sri.
3. LPSK memberikan fasilitasi pengajuan restitusi

Atas temuan tersebut, LPSK memberikan perlindungan terhadap keluarga dan saksi yang meliputi pendampingan dalam proses hukum, layanan pemulihan psikologis, serta fasilitasi pengajuan restitusi.
Restitusi adalah ganti kerugian dari pelaku atau terpidana atau oleh pihak ketiga kepada ahli waris korban, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
“Kami juga menyampaikan kepada keluarga korban, haknya berkaitan dengan fasilitasi restitusi. Karena memang restitusi itu bagian dari hak yang sudah termaktub di dalam undang-undang,” kata Sri.
LPSK juga telah menyampaikan teknis pengajuan restitusi kepada Oditur Militer dan mendorong agar permohonan tersebut menjadi bagian dari tuntutan hukum.
“Kami minta supaya Oditur juga membuka diri untuk bisa kami sampaikan restitusi tersebut masuk ke dalam bagian dari perkara persidangan, dan untuk diputuskan oleh Majelis Hakim,” ujar Suparyati.
LPSK akan melakukan pendampingan selama proses persidangan kepada korban atau ahli waris dalam seluruh proses hukum.
“Ketika ada persidangan nanti, saksi kami jemput, lalu kemudian kami fasilitasi pendampingan selama persidangan bersama kuasa hukum,” lanjutnya.