Mahfud: Pengaruh Jokowi di Pilkada 2024 Sudah Jauh Menurun

- Jokowi kehilangan pengaruh di Pilkada Jakarta 2024
- Partai Gerindra siap gugat hasil pilkada, Mahfud: Jokowi sudah menjadi rakyat biasa
Jakarta, IDN Times - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengomentari pengaruh Presiden ke-7, Joko "Jokowi" Widodo yang mulai pudar di Pilkada serentak 2024. Salah satu yang terlihat nyata adalah Pilkada Jakarta.
Paslon Ridwan Kamil-Suswono yang didukung oleh Jokowi kalah unggul dari Pramono Anung-Rano Karno. Bahkan, tim advokasi dari Partai Gerindra sudah siap-siap menggugat hasil Pilkada Jakarta 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Di Jakarta, (calon yang didukung) Pak Jokowi kan kalah. Sehingga, saya melihat pengaruh Pak Jokowi (di Pilkada) sudah turun," ujar Mahfud seperti dikutip dari akun YouTube resmi pada Minggu (8/12/2024).
Ia pun meminta publik agar tidak membandingkan prestasi yang diraih oleh kader Partai Gerindra, Dedi Mulyadi. Sebab, dia sudah menyiapkan diri dan mengenalkan ke publik di Jawa Barat selama lima tahun.
"KIM Plus menang juga di Jawa Barat, jadi dianggap kemenangan Jokowi juga. Padahal, Dedi Mulyadi itu dulu suaranya besar. Tanpa ada (dukungan) Pak Jokowi pun sudah hampir dipastikan menang," katanya.
Begitu pula terhadap paslon cagub Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak. Tanpa perlu dukungan Jokowi pun, kata Mahfud, Khofifah sudah diyakini bakal menang untuk kali kedua di pilgub.
"Saya kira Pak Jokowi sudah menjadi rakyat biasa. Apalagi kan di Jakarta memang tak kelihatan hasilnya," tutur dia.
1. Kemenangan Jokowi terlihat nyata di Jawa Tengah karena ikut kampanye langsung

Meski begitu, guru besar dari Universitas Islam Indonesia (UII) itu mengakui Jokowi berperan besar terhadap Pilkada di Jawa Tengah. Sebab, Jokowi ikut turun langsung berkampanye bersama Ahmad Luthfi dan Taj Yasin.
"Pengaruh Pak Jokowi juga masih ada di Sumatra Utara karena banyak alat-alat yang digunakan untuk mendorong kemenangan Bobby Nasution yang merupakan menantu Pak Jokowi," katanya.
"Jadi, Jokowi effect itu hanya berlaku di Jawa Tengah, Sumatra Utara dan Solo lah kalau mau Pilkada yang lebih kecil lagi," imbuhnya.
Mahfud juga tak sependapat dengan pernyataan yang menyebut PDIP mengalami kekalahan besar di Pilkada 2024. Partai berlambang banteng hitam dan moncong putih itu masih bisa meraih kemenangan di 14 provinsi.
"14 provinsi dari 37 provinsi. Bayangkan itu. Dia bisa meraih kemenangan di 239 kabupaten atau kota. Kondisi di Jawa Tengah, PDIP itu sendirian tetapi dikeroyok oleh sembilan partai masih bisa mendapat 40 persen suara," tutur dia.
Bila dalam keadaan normal, seharusnya, kata Mahfud, raihan suara PDIP di Jateng sama seperti saat pileg atau pilpres, yakni 16 persen. Namun, hasil yang dicapai Andika Perkasa-Hendrar Prihadi justru melampaui raihan saat pilpres.
2. Mahfud nilai tingkat partisipasi di Pilkada rendah karena kejenuhan warga

Di forum itu, Mahfud turut mengomentari rendahnya tingkat partisipasi di Pilkada 2024. Di Pilkada Jakarta, tingkat partisipasi hanya 57 persen. Sisanya memilih golput. Angka ini sangat kontras dengan tingkat partisipasi di Pilpres Februari lalu yang mencapai lebih dari 80 persen.
Mahfud menilai ada sejumlah teori yang menyebabkan hal itu bisa terjadi, mulai dari rasa tidak percaya terhadap proses pilkada hingga kejenuhan publik terhadap calon-calon yang disodorkan oleh partai politik.
"Ada juga teori yang mengatakan 'ah paling pemimpin yang terpilih akan begitu-begitu saja. ' Ada juga mungkin yang berpendapat meski terpilih, pemimpin tersebut bisa menang dengan cara yang curang. Hasilnya bukan publik yang menentukan. Itu nanti tinggal disurvei, berapa orang yang berpendapat demikian," kata Mahfud.
Meski begitu demokrasi tetap harus berjalan. Proses pemerintahan tak boleh diganggu oleh orang-orang yang tidak puasa terhadap perhelatan Pilkada.
3. Tingkat partisipasi di Pilkada Jakarta rendah karena isu substansial tak berhasil diatasi

Sementara, dalam pandangan analis politik, Adi Prayitno, salah satu penyebab rendahnya tingkat partisipasi di Pilkada Jakarta lantaran masalah fundamental di Jakarta tidak kunjung tuntas meski kota besar tersebut sudah berulang kali berganti pemimpin.
"Silih berganti gubernur. Tapi, persoalan krusial seperti banjir dan macet termasuk soal akses terhadap pekerjaan belum tuntas," ujar Adi di dalam keterangan tertulis yang dikutip hari ini.
Tidak hanya itu, Adi menyoroti kinerja penyelenggara Pilkada di Jakarta. Dia menilai mereka kurang maksimal dalam bekerja, termasuk menyosialisasikan pelaksanaan pilkada.
"Penyelenggara kurang maksimal melakukan sosialisasi terkait pilkada, padahal anggarannya besar. Jika pun ada sosialisasi, paling bentuknya cuma seminar-seminar di kampus atau di hotel," tutur dia.
Buntutnya, partisipasi pilkada Jakarta jadi yang terendah. Berdasarkan data ada puluhan TPS di Jakarta dengan tingkat partisipasi pemilih tidak sampai 35 persen.