Opini: Ben Bradlee, Tiga Film dan Kemerdekaan Pers

JAKARTA, Indonesia —Di sebidang dinding di markas besar harian Washington Post, kutipan Ben Bradlee terpajang. Bunyinya cukup menohok, "Kebenaran, tidak peduli betapa buruknya, tak pernah seberbahaya kebohongan dalam jangka panjang."
Bukan hanya kutipan itu saja yang disakralkan. Nama Ben Bradlee juga diabadikan sebagai nama sebuah ruang pertemuan di kantor harian tertua di Amerika Serikat itu. Wajar saja mengingat di bawah asuhan Bradlee, Washington Post sukses meraih sejumlah Pulitzer berkat karya-karya jurnalistiknya yang berkelas.
Bradlee tercatat menjabat sebagai redaktur eksekutif Washington Post sejak 1968 hingga 1991. Pada 2014, pria kelahiran Boston, Massachusetts, itu tutup usia. Tiga tahun berselang, sebuah film dokumenter bertajuk The Newspaperman dirilis mengabadikan fragmen-fragmen kehidupan Bradlee sebagai seorang reporter, redaktur dan sebagai seorang pria.
The Newspaperman dimulai dengan tayangan potongan-potongan gambar pemberitaan Washington Post ketika meliput skandal Watergate yang disandingkan dengan cuplikan gambar Presiden AS Donald Trump saat mengecam media mainstream sebagai penyebar berita bohong.
Dalam sebuah potongan sesi wawancara dengan Mike Wallace di dokumenter karya John Maggio itu, Bradlee mengatakan, insan pers harus kokoh bergeming di hadapan serangan-serangan yang datang dari pihak-pihak yang tidak suka dengan pemberitaan yang diterbitkan media. "(Tujuan) bisnis kita (media) bukan untuk dicintai, tapi untuk mengungkap kebenaran," ujar Bradlee.
Selain mengungkap 'cacat' dan skandal yang menyelimuti kehidupan pribadi Bradlee sebagai seorang pria dan ayah, The Newspaperman utamanya berkisah mengenai keseharian Bradlee mengelola Washington Post, membangkitkannya dari keterpurukan, hingga mengasuh para anak buahnya melahirkan karya-karya jurnalistik investigatif yang berbuah Pulitzer.
Setidaknya ada dua rangkaian pemberitaan Washington Post yang disoroti secara khusus, yakni mengenai skandal Watergate yang akhirnya menjatuhkan Presiden Nixon dan laporan-laporan 'bergenre' Pentagon Papers yang mengulas kebohogan publik yang dilakukan pemerintah AS dalam Perang Vietnam.
Pada 2017, drama di balik pemberitaan Pentagon Papers versi Washington Post kemudian diadaptasi menjadi film bertajuk The Post garapan sutradara kawakan Steven Spielberg. Di film ini, Ben Bradlee yang dibintangi oleh Tom Hanks, menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi ancaman pemberedelan ketika Washington Post mengungkap dokumen rahasia militer dalam serangkaian pemberitaan.
Hal itu dilakukan Bradlee bukan hanya demi menghentikan pemerintah terus mengirim anak-anak muda AS ke Perang Vietnam, namun juga untuk melindungi kebebasan pers itu sendiri. "Cara untuk melindungi hak untuk mempublikasikan berita ialah dengan mempublikasikannya," ujar Bradlee dalam salah satu scene di film tersebut.
Adapun skandal Watergate yang diungkap Washington Post pada dekade 1970-an telah lebih dulu 'dikultuskan' dalam film All the President's Men yang dirilis pada 1976, sebuah film yang menjadi tontotan wajib bagi mereka yang serius menggeluti dunia jurnalistik.
Dalam ketiga film itu, setidaknya sebuah benang merah bisa ditarik, yakni bahwa menghasilkan karya jurnalistik yang baik membutuhkan waktu, kerja keras, keberanian dan mungkin sedikit keberuntungan. Atau seperti yang Bradlee bilang, kerja keras jurnalis itu sederhana: "they learn, they report, they verify, they write and they publish."
Era Bradlee bisa dikata era keemasan dunia jurnalistik. Dalam skandal Watergate khususnya, lewat pemberitaannya, Washington Post mampu (atau setidaknya berkontribusi besar) menjatuhkan penguasa negara paling adidaya di seluruh dunia ketika itu. Itu sebuah pencapaian yang mungkin sulit untuk ditandingi oleh media massa di mana pun.
Kemerdekaan pers
Kembali ke masa kini, dunia berubah. Media cetak konon memasuki senjakala, entah itu yang dibuat sendiri atau yang memang dipaksa oleh keadaan.
Internet dan kemajuan teknologi mengubah segalanya. Media cetak pun mulai tersingkir dihimpit menjamurnya media berita daring. Saat ini, peran jurnalis pun bisa dengan mudah diambil alih oleh warga biasa bermodal ponsel canggih.
Hanya dengan beberapa kali klik di medsos, sebuah unggahan bisa menjadi viral dan diperbincangkan ribuan warganet. Media mainstream kemudian 'mengambil alih' unggahan tersebut dan menyebarluaskannya ke ratusan ribu warganet lainnya, bahkan hingga jutaan. Padahal, isinya belum tentu benar.
Itulah mungkin kenapa di belahan bumi sana, oleh Trump, media kerap dicap sebagai musuh masyarakat dan penyebar kebohongan. Hal itu juga seolah diamini survei yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism pada 2016. Survei itu mengungkap 33% dari 70 ribu responden dari 36 negara mengaku tidak lagi percaya kebenaran sebuah berita.
Era digital memang memungkinkan pemberitaan menjadi melenceng dan bahkan dicap berbau hoax. Pasalnya, di bawah rezim digital, kecepatan menjadi peraturan pertama. Layaknya juru ketik di kelurahan pada zaman dulu, banyak wartawan sekadar balapan mengetik dan melemparkan laporan ke 'keranjang' berita demi memenuhi kuota. Memahami substansi dan melakukan verifikasi menjadi nomor kesekian yang harus dilakukan.
Peraturan kedua, viral. Dalam hal ini, viral menjadi sakral. Semakin banyak pembaca, maka semakin 'bagus' laporan yang dihasilkan. Muatan edukasi bagi pembaca kerap tak lagi dianggap penting.
Tulisan panjang dan komprehensif pun kebanyakan ditinggalkan. Enggak menjual.
Pada aspek inilah, 'ilmu' yang ditinggalkan Ben Bradlee dalam tiga film yang merekam kehidupannya di Washington Post menjadi penting. Ketika media media massa seringkali tidak lagi dipercaya dan lembar-lembar koran kerap hanya dijadikan bungkus gorengan, kisah tentang Bradlee setidaknya menyegarkan ingatan tentang tugas mendasar jurnalis: merekam, memahami dan memverifikasi.
Di Indonesia, memperingati World Press Freedom Day yang jatuh pada 3 Mei 2018 lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkap persoalan-persoalan yang masih dihadapi wartawan saat ini. Setidaknya tiga persoalan klasik kembali dilontarkan Ketua AJI Abdul Manan, yakni minimnya upah, persoalan netralitas, masih maraknya kekerasan pada wartawan.
Meskipun kekerasan masih terjadi, tidak dapat dimungkiri jurnalis dan media massa jauh lebih bebas mengkritik pemerintahan saat ini, setidaknya jika dibandingkan negara tetangga seperti Filipina, SIngapura dan Myanmar. Hanya saja, tidak banyak yang serius memanfaatkan kebebasan itu untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik yang bermutu dan hanya sekadar bekerja sesuai selera publik.
Padahal, baik di AS maupun di Indonesia, kemerdekaan pers itu sejatinya bukan batu yang jatuh dari langit. Ada pemberedelan dan ada tubuh-tubuh yang sempat terpenjara atau bahkan mati karena memperjuangkannya.
—Rappler.com