Pakai Tata Tertib Baru, DPR Gelar Rapat Tertutup untuk Evaluasi DKPP

- Komisi II DPR RI menggelar rapat tertutup untuk mengevaluasi kinerja DKPP.
- Rifqinizamy Karsayuda memastikan evaluasi sesuai dengan peraturan dan hasilnya akan diserahkan kepada pimpinan DPR.
Jakarta, IDN Times - Komisi II DPR RI menggelar rapat secara tertutup untuk mengevaluasi kinerja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada hari ini, Selasa (11/2/2025).
Ketentuan Komisi II DPR memanggil DKPP itu dilandasi norma hukum Pasal 228A Ayat 1 dan 2 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Aturan tata tertib baru ini sempat membuat geger lantaran memberikan kewenangan bagi DPR untuk melakukan evaluasi terhadap sejumlah pejabat negara.
1. Dalih DPR gelar rapat secara tertutup

Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, mengonfirmasi, evaluasi tersebut memang sesuai dengan Pasal 228A Ayat 1 dan 2 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025.
Ia berdalih menggelar rapat evaluasi secara tertutup karena menjaga citra DKPP.
"Kami ingin menjaga harkat dan martabat mitra kerja kami, Komisi 2 hanya melakukan evaluasi," kata dia usai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).
2. Hasil evaluasi akan diserahkan ke pimpinan DPR

Rifqinizamy memastikan, sesuai dengan ketentuan peraturan itu pula, hasil evaluasi dengan DKPP akan diserahkan ke pimpinan DPR. Nantinya evaluasi itu akan ditindaklanjuti.
"Nanti hasil evaluasi sebagaimana ketentuan Pasal 228A Ayat 1 dan Ayat 2 akan kami serahkan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata dia.
Lebih lanjut, politisi NasDem itu memaparkan berbagai poin yang menjadi bahan evaluasi DKPP. Salah satunya, terkait belum adanya sistem yang transparan soal manajemen, pengaduan, pemeriksaan, dan persidangan di DKPP.
"Ada pengaduan yang sudah sangat lama gak disidangin, ada pengaduan yang baru masuk cepat disidangkan bahkan cepat diputus," kata Rifqinizamy.
Dalam kesempatan itu, DKPP disebut sempat mengungkap alasan menerapkan prinsip mendahulukan satu perkara tertentu dibanding perkara yang lain. Pertimbangannya adalah DKPP mendahulukan perkara-perkara yang diadukan ke MK agar keputusan terhadap perkara aduan kode etik itu bisa memberi input bagi proses pembuktian di MK.
"Menurut kami ini pernyataan yang agak fatal karena peradilan etik dengan Mahkamah Konstitusi itu dua hal yang berbeda. Jangan sampai peradilan etik memutuskan terlebih dahulu, sementara peradilan yang diberi kewenangan konstitusional belum memutuskan apapun ini kan bisa jadi fitnah dan hal-hal lain," kata Rifqinizamy.
3. Polemik tata tertib baru yang jadi polemik karena beri kewenangan "super" bagi DPR

Sebelumnya, DPR tiba-tiba melakukan revisi terhadap Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Revisi itu berupa tambahan pasal, yakni 228A terkait kewenangan parlemen untuk mengevaluasi pejabat negara yang telah ditetapkan melalui hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di lembaga legislatif tersebut.
Pengesahan tatib baru tersebut dilakukan ketika digelar sidang paripurna pada 4 Februari 2025 lalu.
Wakil Ketua Badan Legislatif, Sturman Panjaitan, membacakan laporan bahwa perubahan tatib tersebut telah disetujui oleh semua fraksi di parlemen. Itu semua telah disepakati dalam rapat Baleg pada 3 Februari 2025.
"Pada rapat Badan Legislasi tanggal 3 Februari 2025 telah dibahas dengan intensif dan dibacakan pandangan mini fraksi atas rancangan peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang perubahan atas Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Dengan menyatakan persetujuan dari seluruh fraksi atas rancangan perubahan peraturan Tata Tertib tersebut," ujar Sturman dikutip dari YouTube Parlemen TV.
Ia mengatakan, ada penambahan substansi di antara Pasal 228 dan 229, yaitu 228A menyangkut kewenangan DPR.
Bunyi pasal yang dimaksud yakni:
Pertama: Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR tentang hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 Ayat 2, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.'
Kedua: Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR dan ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Dengan demikian, DPR kini memiliki kewenangan untuk menilai kinerja seorang pejabat. bila tidak memenuhi ekspektasi. Mereka dapat merekomendasikan pencopotan seorang pejabat negara dan rekomendasi tersebut harus dijalankan.