Perjalanan Panjang Perempuan Nelayan Mendapat Pengakuan Negara

Oleh: Eka Handriana
SEMARANG, Indonesia — Waktu subuh sudah setengah jam berlalu. Langit di perairan Kendal, Jawa Tengah, mulai terang. Mufadilah bersiap-siap menarik jaring yang terakhir ditebar suaminya, Muaghorin. Ia berharap tarikan jaring kali itu akan membawa banyak ikan. Ia butuh uang untuk bekal anaknya kembali ke pondok pesantren di Kudus.
Satu ikan pari yang tak begitu besar tersangkut di jaring yang ditarik Mufadilah. Muaghorin segera memegang ikan untuk dilepas dari jaring. Tapi naas, telapak tangan Muaghorin tertusuk ekor ikan pari. Darah mengucur saat Mufadilah mencabut tusukan.
Wajah Muaghorin pucat. Mufadilah buru-buru menyalakan dua mesin yang menempel pada kapal 1 gros ton milik mereka. Ia mengarahkan kemudi menuju Demak. Butuh tiga setengah jam untuk sampai di perairan Demak.
Mufadilah tak langsung membawa kapalnya ke kanal Dukuh Tambakpolo, Desa Purworejo—tempat tinggal mereka. Ia membelokkan kemudi ke Dukuh Kongsi, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang.
Di sana ada Pelabuhan Perikanan Pantai Morodemak. Karena Muaghorin sudah lemas, dengan luka tembus di telapak tangan, Mufadilah berharap suaminya itu segera beroleh pertolongan.
Mufadilah gemetar. Selain memikirkan suaminya, ia memikirkan dirinya. Yang dialami suaminya itu bisa saja terjadi padanya. Empat tahun lalu, pada masa awal melaut, Mufadilah pernah tercebur ke perairan tatkala menarik jaring.
“Saya tarik jaring empat inci [ukuran lubang jaring], untuk menangkap ikan luwang. Terasa berat, gelombang agak tinggi, saya tercebur. Saya ditarik suami kembali ke kapal. Kalau tidak begitu, saya tidak tahu akan jadi apa. Sebab saya tidak bisa berenang,” tutur Mufadilah sembari memijit-mijit punggung kawannya sesama perempuan nelayan dari Tambakpolo, siang hari pada akhir Desember 2017 lalu.
Siang itu mereka berkumpul bersama perempuan-perempuan nelayan lain untuk merembuk upaya mereka mengubah status pekerjaan di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP)—dari mengurus rumah tangga menjadi nelayan. Soalnya, itulah mata pencaharian mereka, menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tambakpolo persis berada di pinggir laut. Dari jalan raya di depan Balai Desa Purworejo, Dukuh Tambakpolo hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor atau berjalan kaki. Satu-satunya jalur yang bisa dilalui adalah jalan cor semen selebar 1,5 meter, sepanjang 3 kilometer. Jalan cor yang belum lama dibuat menggantikan jalan tanah yang dulu sulit dilalui saat hujan dan air laut pasang.
Tidak ada yang bisa mereka lakukan di Tambakpolo selain melaut. Tak ada pangan yang bisa ditanam di Tambakpolo, satu dari 7 dukuh di Desa Purworejo. Seluruh sawah di Purworejo hanya 273 hektar, namun area perikanan mencapai 415 hektar. Maka menjadi nelayan adalah pilihan yang paling masuk akal.
Beberapa pendatang yang tinggal di Tambakpolo lantaran menikahi penduduk dukuh itu, pun harus melaut untuk bertahan hidup di sana. Jika ada pekerjaan selain melaut, itu berarti mereka harus meninggalkan Tambakpolo dan pergi ke kota.
Para pemuda, laki-laki, dan sedikit perempuan yang berasal dari sana telah melakukannya. Menjadi buruh pabrik, buruh bangunan, hingga pembantu rumah tangga di Semarang, Jakarta, dan kota-kota besar lain. Yang tersisa adalah orang-orang yang masih teguh melaut, termasuk para perempuan.
Mereka tetap melaut meski untungnya semakin kecil. Harga bahan bakar kapal tak lagi sebanding dengan hasil tangkapan. Butuh 12-25 liter solar untuk menjalankan kapal dari Demak sampai ke perairan Jepara, Semarang, atau Kendal. Itu berarti, paling tidak harus ada uang Rp80 ribu hingga Rp150 ribu untuk modal membeli bahan bakar.
Sementara, rerata ikan, rajungan, kepiting, dan udang per hari menghasilkan uang antara Rp100 – Rp300 ribu. Itu jika cuaca sedang bagus. Pada musim hujan dan gelombang tinggi, pendapatan bisa anjlok hingga hanya Rp50 ribu per hari.
Selain karena cuaca buruk yang datang berkala, pendapatan juga berangsur surut karena banyak arat dan sodo, sejenis cantrang berukuran kecil. Arat untuk menangkap ikan, sodo untuk menangkap udang.
“Kalau terkena arat, sudah tidak dapat ikan, jaring kami pun rusak. Itu sering. Padahal harga jaring tidak murah. Satu tinting [sebutan lokal untuk satuan jaring, setara dengan 20 depa orang dewasa], harganya Rp150 ribu. Itu jaring ikan empat inci. Jaring rajungan 3,5 inci lebih mahal lagi. Satu jaring biasanya enam sampai tujuh tinting. Hitung saja sendiri berapa ruginya kalau jaring rusak,” tutur seorang nelayan perempuan lainnya, Nizmah Islamiwati.
Ia berumur 36 tahun, menikahi nelayan Tambakpolo bernama Muali. Dulu saat masih bersekolah dasar, Nizmah kerap turut ayahnya melaut. Karena itu ia tahu betul cara menghitung untung dari hasil laut.
Dengan untung yang semakin kecil, Nizmah tak membiarkan Muali membayar orang lain untuk melaut bersamanya. “Lagipula suami juga kesusahan cari teman melaut. Kebanyakan sudah kerja pabrik dan bangunan,” kata Nizmah. Lima tahun lalu, ia putuskan untuk melaut satu kapal dengan Muali.
“Miyang [sebutan lokal untuk melaut] tidak bisa sendiri. Karena ketika jaring ditarik, harus ada yang segera melepas ikan dari jaring. Harus ada yang memilah jenis ikan, sebelum kapal berlabuh. Harus ada yang pegang kemudi saat tawur [menebar jaring]. Kecuali kalau pakai arat atau sodo, itu bisa satu orang sendiri,” kata Nizmah.
Seperti Mufadilah, Nizmah juga pernah jatuh ke laut. Kapalnya tertabrak kapal milik nelayan lain.
“Kapal saya rusak. Habis sekitar Rp5 juta untuk membetulkannya. Sewaktu kapal dibetulkan, sebulan kami ke laut,” kenang Nizmah.
Tabrakan seperti itu seringkali terjadi. Pada umumnya nelayan Tambakpolo berangkat melaut pukul 01:00 atau 02:00 dini hari, tergantung tempat yang dituju. Saat orang biasa tidur lelap dan langit masih gelap. Tidak semua kapal memiliki penerangan yang memadai, sehingga tak terlihat oleh nelayan di kapal lain. Tabrakan juga terjadi karena para nelayan mengantuk.
Yang paling ditakutkan Nizmah adalah gelombang tinggi. Baik gelombang yang muncul tak terduga saat cuaca buruk, maupun gelombang yang datang dari hempasan kapal-kapal besar. Suatu kali, ia pernah merasa bakal menemui ajal bersama Muali di laut.
Ketika itu mereka berada di perairan Semarang. Muali sedang buang air dan Nizmah mengambil alih kemudi. Tanpa mereka sadari, kapal besar mendekat. Gelombang mengombang-ambingkan kapal Nizmah. Ia limbung dan roboh di kapal, lalu menangis kencang.
“Kapal seperti mau terbalik. Kalau saya dan suami saya mati, bagiamana dua anak saya?” kata Nizmah.
Melaut bisa dibilang pekerjaan yang menantang maut. Bahkan di pinggirannya saja tak luput dari risiko kecelakaan. Sri Umroh, pencari kepiting di kanal-kanal kampung nelayan dan di pinggiran laut, pernah digigit ular. Ular melilit jebakan kepiting yang diangkat Umroh, lalu menggigit tangannya.
Umroh bekerja dengan kapal tua tanpa mesin yang ia dayung sendiri. 50 jebakan kepiting ia pasang sendiri. Suami Umroh tak bisa bekerja lagi karena sakit jantung. Dua bulan Umroh tak bisa bekerja karena gigitan ular. Selama itu pula keluarga Umroh harus memperpanjang hidup dengan uang pinjaman.
Diskriminasi Perlindungan Perempuan dan Laki-laki

Perempuan seperti Umroh, Nizmah, dan Mufadilah tak punya pilihan. Mereka mengambil risiko untuk kelangsungan hidup keluarga. Mereka bertaruh nyawa tanpa perlindungan.
Lain halnya dengan laki-laki nelayan di Tambakpolo. Sebagian besar mereka telah memiliki kartu asuransi nelayan. Kartu yang diterbitkan sebagai pengejawantahan perlindungan nelayan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Pada 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pemberian bantuan premi asuransi untuk 500 ribu nelayan. Nilai manfaat per orang berupa santunan untuk kecelakaan akibat aktivitas penangkapan ikan adalah sebesar Rp200 juta. Jika menyebabkan kematian, mendapat santunan Rp100 juta. Jika cacat tetap, mendapat Rp20 juta untuk biaya pengobatan.
Santunan kecelakaan akibat aktivitas selain penangkapan ikan, diberikan santunan Rp160 juta. Apabila menyebabkan kematian, termasuk kematian alami tanpa kecelakaan, mendapat Rp100 juta. Yang cacat tetap, mendapat biaya pengobatan Rp 20 juta.
Ada beberapa syarat untuk bisa mendapat polis asuransi. Ketentuannya adalah memiliki kartu nelayan, berusia maksimal 65 tahun, menggunakan kapal berukuran paling besar 10 gros ton, dan tidak pernah mendapat bantuan program asuransi lain dari pemerintah.
Syarat yang sepertinya mudah dipenuhi, namun tak semudah itu bagi para perempuan nelayan Tambakpolo. Jangankan memegang kartu nelayan, untuk diakui bahwa mereka bekerja sebagai nelayan saja sulit.
Desa Purworejo mencatat 2.571 penduduknya yang bekerja sebagai nelayan. Jumlah yang jauh lebih besar dibanding jumlah petani yang hanya 453 orang. Tidak ada perempuan dalam deretan ribuan nelayan dalam daftar itu.
Jalan Terjal Pengakuan

Di Tambakpolo dan sekitarnya, tidak ada cerita pendahulu yang meriwayatkan perempuan pergi ke laut mencari nafkah. Jika dirunut siapa pelopornya, semua orang di sana akan menunjuk nama Siti Bauzah. Perempuan 55 tahun yang telah melaut sejak 23 tahun lalu.
Tercebur ke laut saat menarik jaring, digigit ular, tabrakan hingga kapal hancur, semua sudah pernah dialami Bauzah.
“Di sini, tidak ada perempuan miyang sebelum saya. Karena malu, dulu saya sembunyi-sembunyi. Suami menyuruh saya merunduk di kapal jika berjumpa kapal lain. Saya dilarang bilang kepada tetangga kalau ikut ke laut. Diminta memakai penutup badan rapat-rapat, agar tidak ketahuan kalau saya perempuan,” tutur Bauzah.
Benar saja, perempuan-perempuan nelayan itu diolok-olok nelayan lain jika ketahuan. Nizmah juga pernah dilecehkan di laut. Beberapa lelaki nelayan lain yang ia jumpai di laut, memelorotkan celana dan memanggil-manggil Nizmah.
“Suami saya melarang saya menggubris mereka,” kata Nizmah.
Saat ini, semakin banyak perempuan melaut. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat sedikitnya ada 56 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan. Mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai pemasaran hasil tangkapan. Sebanyak 39 juta di antaranya adalah perempuan.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Romica Herawati menyebut data itu diolah dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Pihaknya sedang menelisik lebih jauh sebaran jumlah perempuan yang melakukan penangkapan, pengolahan, dan pemasaran.
“Mereka yang bekerja di bagian pengolahan ada yang bekerja lebih dari 17 jam tanpa perlindungan,” kata Susan.
Data lain yang dicatat Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menyebut, dari seluruh perempuan nelayan, ada 47 persen yang bekerja di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan. Sisanya merupakan perempuan yang terlibat dalam kegiatan penangkapan, seperti yang dilakukan perempuan-perempuan Tambakpolo.
“Tapi untuk mendapat pengakuan resmi masih sulit. Di tengah masyarakat sendiri, pengakuan itu tidak mudah didapat. Ada anggapan bahwa perempuan tidak pantas melaut,” kata Sekretaris Jenderal PPNI Masnuah.
Saat mengorganisir perempuan nelayan di Morodemak, Desa Nelayan, di sebelah Purworejo, Masnuah kerap mendengar mitos. Jika perempuan melaut, dikhawatirkan membuat hasil tangkapan sedikit. Bahkan ditakutkan membawa malapetaka karena darah haidnya.
“Membiarkan perempuan melaut, itu berarti merendahkan perempuan. Itu pemikiran orang-orang di sini,” ujar Masnuah.
Sudah tujuh bulan Masnuah bersama Uminatus Sholikah, penggiat PPNI Demak dan Puspita Bahari, mondar-mandir mengurus perubahan kolom pekerjaan KTP untuk 30 perempuan nelayan Tambakpolo.
“Sebelumnya, kami harus membongkar pola pikir perempuan di sini. Bahwa mereka layak disebut nelayan karena itulah pekerjaannya. Bahwa mereka juga punya hak untuk dilindungi sebagai nelayan,” ujar Uminatus.
Perjalanan mereka selanjutnya membentur-bentur persepsi pemangku kebijakan berbagai tingkatan. Dalam suatu dialog dengan wakil rakyat DPRD Jawa Tengah, Masnuah menyodorkan gagasan pengakuan secara formal terhadap perempuan nelayan. Itu dianggap sebagai pintu menuju program-program perlindungan nelayan yang disediakan pemerintah.
Namun yang terjadi, Masnuah ditertawakan.
“Saya hampir menangis waktu itu. Saya satu-satunya perempuan di forum itu. Dianggap mengada-ada ketika mengusulkan pengakuan atas perempuan nelayan,” kata Masnuah.
Di Desa Purworejo, perangkatnya menolak memberikan keterangan bahwa pekerjaan 30 perempuan Tambakpolo itu adalah nelayan. Pada awal Desember 2017, upaya mereka nyaris berhasil. Mereka membawa surat keterangan dari Kantor Desa ke Kantor Kecamatan Bonang.
Saking senangnya, mereka tak memperhatikan jika keterangan dari Kantor Desa menuliskan pekerjaan mereka sebagai buruh nelayan. Petugas kecamatan telanjur memberi keterangan atas pekerjaan nelayan pada dua orang. Sisanya diurungkan. Petugas menghentikan proses, sebab para perempuan itu menolak diberi status sebagai buruh nelayan.
“Saya bukan buruh. Kapal yang dipakai suami itu juga milik saya,” kata Nizmah pada 21 Desember 2017.
Siang itu, Masnuah menerima telepon dari seorang bernama Nanang. Ialah Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak. Masnuah menerima penjelasan dari Nanang, jika status buruh nelayan tetap bisa mengakses perlindungan dalam program asuransi nelayan.
Setelah telepon ditutup, Susan Herawati yang berada di antara perkumpulan itu berkata, “Persoalannya bukan sekadar untuk mendapat perlindungan asuransi. Yang kita semua minta adalah pengakuan sebagai nelayan, identitas yang semestinya. Tanpa mengecilkan perempuan dengan mengatakan sebagai buruh. Tidak ada yang salah dengan status buruh, tapi ini soal politik identitas. Sejak awal, penolakan pengakuan sebagai nelayan ini selalu melihat keperempuanannya. Bahwa perempuan dianggap tidak mampu melaut.”
Konteks perlindungan nelayan, kata Susan, lebih besar dari asuransi. Lebih kepada mengatasi kesulitan nelayan dalam melakukan usaha perikanan. Asuransi hanya salah satu bentuk perlindungan. Kartu nelayan yang didapat dengan syarat KTP nelayan, merupakan legitimasi bahwa seseorang bekerja sebagai nelayan. Tidak menyoal jenis kelamin.
Dengan kartu itu, selain asuransi, nelayan juga dapat mengakses bantuan lain yang memang diprogram untuk meningkatkan kesejahteraan. Seperti bantuan fasilitas alat tangkap, bantuan kapal, dan bantuan pemberdayaan untuk peningkatan kapasitas lewat pelatihan dan pemodalan.
“Seringkali hal-hal itu tidak tepat sasaran. Misalnya, seorang perempuan yang kesehariannya melaut, malah mendapat bantuan kompor dan panci yang lebih tepat diberikan kepada yang terlibat dalam pengolahan hasil tangkapan,” kata Susan. Karena itu, menurutnya, rincian jumlah nelayan yang terlibat dalam masing-masing tahapan perikanan sangat perlu. Agar seluruh program tepat sasaran.
Setelah mendengar keterangan Susan, perkumpulan siang itu menunjuk perwakilan untuk kembali menemui Kepala Desa Purworejo esok hari.
Pada 22 Desember 2017, perwakilan yang ditunjuk menunggu di teras aula kantor desa. Mereka adalah Susan, Masnuah, Uminatus, Sri Umroh, Kustiah, dan Nur Khafido. Kepala Desa Syaifullah baru datang satu jam kemudian dari waktu yang dijanjikan. Ia datang bersama seorang perempuan yang mengaku dari Dinas Kelautan dan Perikanan Demak, dan seorang lagi berseragam tentara.
Perwakilan perempuan nelayan Tambakpolo menerima penjelasan tentang definisi nelayan berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016. Syaifullah bersikukuh, berdasarkan ketentuan itu ia tidak dapat menyebut bahwa warga perempuan yang datang padanya hari itu adalah nelayan.
Ia segera mengakhiri pertemuan dengan dalih waktu salat Jumat sudah tiba. Ia meminta perwakilan menunjukkan surat edaran atau apapun yang tertulis, yang dapat mematahkan interpretasinya terhadap definisi nelayan berdasar undang-undang itu.
Padahal sebetulnya, justru didasarkan pada undang-undang itu, aktivitas yang dilakukan 30 perempuan Tambakpolo dapat dikategorikan sebagai nelayan dan nelayan kecil.
“Persoalannya, Undang-Undang Nomor 7 tidak secara gamblang menyebut perempuan nelayan. Juga dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Peran penting perempuan nelayan belum mendapat pengakuan politik dari pemerintah Indonesia,” ucap Susan.
Untuk hal itu, ia mewacanakan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Karena hambatan pengakuan seperti itu tidak hanya dialami perempuan nelayan Tambakpolo. PPNI mendokumentasikan perempuan-perempuan yang melaut berbagai daerah lain, di antaranya Gresik, Surabaya, Kendal, Jepara, Sikka, dan Lombok.
“Di mana-mana perempuan yang melaut itu ada. Kami sedang mendata lebih rinci sebarannya,” kata Masnuah.
Tahun 2017 baru dua perempuan di Gresik yang sudah mendapat kartu nelayan. Pada Desember 2017, dua perempuan di Desa Morodemak menyusul mendapatkan KTP dengan kolom pekerjaan sebagai nelayan. Mereka adalah Surotun Nadliro dan Mujarokah.
Minggu pertama Januari 2018, Uminatus menemukan pernyataan Direktur Perizinan dan Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Saifuddin, dari kliping koran. Pernyataan yang menyebut bahwa setiap nelayan harus menyatakan pekerjaannya di kolom KTP untuk memperoleh kartu nelayan dan asuransi nelayan. Ia pun menyebut perempuan melaut adalah hal biasa di Indonesia timur.
Uminatus juga memegang rekaman siaran televisi yang meliput persoalan perempuan nelayan. Berbekal hal itu, ia kembali mengumpulkan 30 perempuan nelayan Tambakpolo beserta dokumen mereka. Uminatus kembali menemui Kepala Desa Syaifullah. Betapa lega hati Uminatus, saat itu juga pengajuannya disetujui Syaifullah.
“Saya terharu. Gembira sekali akhirnya perempuan-perempuan nelayan Tambakpolo diakui keberadaannya,” kata Uminatus. Pada 11 Januari 2018, ketiga puluh perempuan itu akhirnya memperoleh keterangan dari Kantor Kecamatan Bonang bahwa pekerjaan mereka adalah nelayan.
Pada 19 Januari 2018, perjalanan panjang mereka untuk mendapat pengakuan membuahkan hasil. Mufadilah, Nizmah, Umroh, Kustiah, Siti Bauzah, dan lainnya berfoto bersama di depan kantor kependudukan. Kartu Keluarga dan e-KTP berstatus nelayan telah berada di tangan mereka.
Namun perjuangan belum berakhir. Mereka masih harus mengurus kartu nelayan dan kartu asuransi nelayan. Mereka juga harus berjuang untuk memastikan semua program di dalamnya dapat diperoleh. —Rappler.com