Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Politisasi Bansos dan Efek Domino Penundaan Pilkada Serentak 2020

[Ilustrasi] Anggota Pertuni saat Pemilu Presiden 2019 lalu (IDN Times/Prayugo Utomo)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah dan DPR resmi menunda pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2020. Pemungutan suara yang rencananya dilaksanakan 23 September itu, mundur menjadi 9 Desember akibat pandemik virus corona atau COVID-19 di Tanah AIr yang semakin masif.

Keputusan diambil saat rapat kerja Komisi II DPR dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam siaran virtual, Selasa (14/4).

"Komisi II DPR RI menyetujui usulan pemerintah terhadap penundaan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020, menjadi 9 Desember 2020," ujar Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia.

Penundaan pilkada serentak itu kemudian memunculkan berbagai masalah baru di tengah masyarakat, salah satunya politisasi bantuan sosial (bansos) yang dilakukan oleh calon kepala daerah, khususnya para petahana.

1. Bawaslu mencatat ada 23 kabupaten/kota di 11 provinsi yang melakukan politisasi bansos

Ilustrasi Bantuan Sosial. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyatakan, sesuai hasil pengawasan yang dilakukan oleh jajaran Bawaslu provinsi maupun Bawaslu kabupaten/kota, terdapat pembagian bansos saat pandemik COVID-19 di 23 kabupaten/kota pada 11 provinsi, yang diduga dipolitisasi calon petahana. Salah satu yang menyeruak yaitu penempelan gambar atau foto kepala daerah dalam bingkisan bansos tersebut.

“Sesuai informasi yang naik ke Bawaslu RI, tercatat ada 23 kabupaten/kota yang tersebar di 11 provinsi yang diduga melakukan politisasi, dengan cara menempelkan gambar calon petahana dalam bansos,” kata Dewi dalam diskusi daring yang digelar oleh Saluran Informasi dan Edukasi (SIE) dengan tema 'Fenomena Bansos di Tengah Pandemi COVID-19', Senin (11/5).

Dewi mengatakan, tidak etis jika bansos yang digunakan untuk kegiatan kemanusiaan dijadikan kepentingan kontestasi pilkada.

“Ini tidak dibenarkan. Harusnya dalam membantu dengan atau atas nama kemanusiaan jangan sampai ada embel-embel terselubung di dalamnya,” tegas Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu ini.

Menurut Dewi, seharusnya bansos yang menjadi kewajiban pemerintah daerah sesuai dengan instruksi presiden harus betul-betul dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan, bukan untuk Pilkada 2020.

“Saya ingatkan jika memberikan bansos kiranya tidak ada maksud dan tujuan tertentu. Apalagi sudah ada instruksi langsung dari presiden,” ucap Wakil Koordinator Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu ini.

2. Kepala daerah yang manfaatkan bansos, ibarat naik bus tapi tidak bayar karcis

Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi (kanan). Dok. Pertamina MOR IV

Sementara itu, pengamat komunikasi politik Ari Junaedi mengatakan, penyaluran bansos secara besar-besaran dari pemerintah di masa pandemik COVID-19 ini, rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Kasus terbaru adalah penempelan stiker Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani di kemasan hand sanitizer bantuan dari Kementerian Sosial. Walau tidak ada aturan yang dilanggar karena belum masuk masa kampanye, tetapi persoalan ini terus mengundang polemik.

Ari menilai kasus penyalahgunaan bansos untuk kepentingan politik, tidak bisa dianggap enteng.

“Ada trust yang diberikan pemerintah yang disalahgunakan dan pembohongan publik terhadap warga penerima. Bayangkan untuk hand sanitizer saja bisa dimanipulasi, bagaimana dengan hal yang lain?” kata Ari saat dihubungi IDN Times, Jumat (8/5).

Meskipun masa kampanye belum dimulai, Ari berharap agar Bawaslu bisa mencatat pelanggaran tersebut, untuk menjadi perhatian khusus bagi para kontestan lain, termasuk petahana.

“Karena dengan belum berakhirnya masa pandemik COVID-19, penyaluran bansos di tahap selanjutnya masih rawan dengan manipulasi politik," ujarnya.

Mantan Tenaga Ahli Desk Pilkada Kemendagri ini menuturkan, dari pengalamannya terjun ke daerah-daerah selama pilkada serentak 2017-2018, ia melihat para petahana yang maju lagi di kontestasi pilkada berusaha memanfaatkan segala momentum bantuan dari pemerintah pusat atau daerah untuk warga, dengan mengatasnamakan pribadi.

“Kasus Klaten harusnya menjadi warning bagi penyelenggara dan pengawas pilkada untuk menutup celah-celah pelanggaran kampanye. Sangat tidak etis secara politik dan maladministrasi jika ada kepala daerah yang menunggangi bansos untuk kepentingan dan ambisi politik pribadinya,” tutur dia.

“Ibaratnya, ikut naik bus umum tetapi ogah bayar karcis. Harusnya penumpang seperti ini tidak cukup diminta putar balik, tetapi harus diturunkan dari bus dan diberi sanksi tegas," dia menambahkan.

Pembimbing disertasi di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran itu menambahkan, jika pilkada direncanakan digelar pada 9 Desember 2020 maka panitia pengawas, LSM, media dan netizen harus pro aktif ikut mengawasi penyaluran bansos agar tepat sasaran.

“KPU harus ikut mengunci dalam Peraturan KPU untuk tata cara pelaksanaan kampanye, agar modus penyaluran bansos tidak disusupi dengan modus politik dari petahana," ujarnya.

3. Petahana paling banyak diuntungkan dari penundaan pilkada serentak

[Ilustrasi] Anggota Pertuni saat Pemilu Presiden 2019 lalu (IDN Times/Prayugo Utomo)

Tidak hanya itu, Ari menegaskan, pasangan calon kepala daerah petahana paling banyak diuntungkan dari penundaan Pilkada Serentak 2020.

Ari menjelaskan, dalam hal ini, petahana bisa memanfaatkan wabah virus corona atau COVID-19, untuk terus mendongkrak nama mereka di masyarakat melalui bantuan sosial yang diberikan melalui mereka.

“Jika ditarik siapa yang lebih diuntungkan, tentu tetap petahana. Karena bisa mendompleng program bantuan sosial dari pemerintah pusat atau daerah penanganan COVID-19 untuk political benefit,” katanya.

Ia menuturkan, petahana bisa saja mencuri kesempatan untuk melakukan kampanye dengan membagi-bagikan bantuan sosial, yang masuk dalam program darurat daerah mereka.

“Petahana sangat diuntungkan semasa jabatan karena kegiatan-kegiatan protokoler dan formal, sangat sulit untuk dipisahkan dengan momentum kampanye,” ujar dia.

Sedangkan untuk kontestan lain, pengunduran jadwal Pilkada Serentak 2020, jelas merugikan mereka, karena mempengaruhi persiapan kampanye. Molornya waktu berarti menambah anggaran yang sebelumnya sudah disiapkan, karena masa kampanye baik yang resmi maupun 'curi-curi' start menjadi lebih panjang.

“Calon kepala daerah sekarang ini ikut mengeluarkan dana untuk pencegahan COVID-19, baik penyemprotan disinfektan, pembagian masker, dan hand sanitizer, serta pembagian sembako. Padahal, semula dalam budgeting kampanye, tidak ada anggaran untuk itu,” tutur Ari.

4. KPU akan tindak tegas petahana yang melakukan politisasi bansos

Ilustrasi. ANTARA FOTO/Reno Esnir

Komisioner KPU, Hasyim Asy’ari menegaskan, pihaknya akan menindak tegas calon kepala daerah khususnya petahana yang melakukan politisasi bansos.

Jika ketentuan itu dilanggar, KPU akan langsung membatalkan pencalonan petahana tersebut.

"Kepala daerah aktif yang mencalonkan diri lagi atau petahana, bila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon," kata Hasyim saat dikonfirmasi, Senin (4/5).

Ia menjelaskan, ketentuan itu telah tertuang dalam Pasal 71 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam ayat 3 pasal tersebut tertulis bahwa gubernur atau wakil Gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih.

Sedangkan sanksi pembatalan pencalonan kepala daerah petahana oleh KPU daerah tertuang dalam Ayat (5).

5. Perludem menilai Perppu Pilkada penuh dengan ketidakpastian

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, Perppu Pilkada masih menyimpan kegamangan dan situasi tidak pasti dengan adanya pengaturan pada Pasal 201 A ayat 3 yang menyatakan, dalam hal pemungutan suara serentak 2020 tidak dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020, maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir, melalui mekanisme persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR.

Dia menilai, pasal dalam Perppu tersebut menyimpan ketidakyakinan terkait situasi pandemik yang dihadapi.

“Alih-alih memilih waktu yang lebih memadai, misalnya menunda ke Juni 2021 dengan pertimbangan waktu yang lebih memadai untuk melakukan persiapan dan penyesuaian pada penanganan pandemik COVID-19, pemerintah malah menyerahkan skema kemungkinan penundaan kembali pilkada melalui kesepakatan tripartit KPU, Pemerintah, dan DPR,” kata Titi kepada IDN Times, Rabu (6/5).

Titi menjelaskan, jika dirujuk implikasi teknis pemungutan suara pada bulan Desember 2020, harusnya KPU sudah mulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni 2020. Artinya, lanjut Titi, akan ada irisan pelaksanaan tahapan dengan fase penanganan puncak pandemi dan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhir.

“Melaksanakan tahapan yang beririsan dengan masa puncak pandemik memerlukan dukungan dan disiplin ketat, pada kepatuhan terhadap protokal kesehatan penanganan pandemi COVID-19 oleh semua pemangku kepentingan pilkada, mulai dari petugas pemilihan, calon peserta pemilihan, maupun masyarakat pemilih,” jelasnya.

Ia menilai, hal itu mengandung risiko tersendiri jika tidak bisa memastikan keterpenuhan fasilitas untuk proteksi kesehatan pada para petugas pemilihan, dan disiplin aturan main terkait protokol kesehatan yang ada.

“Tentu perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19, sebut saja keperluan pengadaan masker, hand sanitizer, disinfektan, dan lain-lain,” ujarnya.

“Kita belajar soal hal ini setidaknya dari Pemilu Korea Selatan yang sedemikian rupa menyediakan fasilitas tambahan bagi para petugas pemilihan, sejalan dengan protokol penanganan COVID-19,” katanya menambahkan.

Oleh sebab itu, Titi mendorong agar KPU merumuskan berbagai peraturan teknis pilkada yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19, khususnya soal interaksi petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan yang tidak berisiko menyebarkan virus tersebut.

Ia mencontohkan, teknis verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, coklit data pemilih, pendaftaran calon, maupun kampanye, dan pemungutan suara, mestinya sesuai dengan kebijakan jaga jarak untuk mencegah penyebaran COVID-19.

“Namun dalam Perppu nampaknya kurang menangkap kebutuhan teknis ini, agar bisa diatur dengan baik oleh berbagai peraturan teknis yang dibuat penyelenggara pemilihan,” tuturnya.

Lebih jauh ia menyimpulkan, Perppu No. 2 Tahun 2020 tersebut masih setengah hati dalam memberikan kepastian hukum keberlanjutan pilkada serentak 2020.

“Ada kepastian tapi belum sepenuhnya pasti. Selain itu, pilihan pemungutan suara di bulan Desember 2020 juga masih membawa risiko kesehatan pada para pihak yang terlibat di pemilihan, khususnya bila KPU tidak mampu menyiapkan teknis pemilihan yang kompatibel dengan protokol penanganan COVID-19,” katanya.

6. Dampak penundaan pilkada serentak di tengah pandemik COVID-19 menurut Perludem

Ilustrasi penanganan pasien COVID-19. IDN Times/Wildan Ibnu

Titi menjelaskan, bila diidentifikasi, setidaknya ada lima dampak penundaan Pilkada 2020 bagi para pemangku kepentingan. Meliputi dampak hukum, teknis, politik, sosial, dan anggaran.

Dari dampak hukum, akibat penerbitan Perppu, KPU harus menyesuaikan kerangka hukum pengaturan teknis pilkada. Terutama, berkaitan dengan perubahan Peraturan KPU (PKPU) mengenai tahapan, program, hingga jadwal pilkada, sebagai revisi atas PKPU No 15 Tahun 2019 jo PKPU No 16 Tahun 2019 juncto PKPU No 2 Tahun 2020.

Adanya pergeseran hari pemungutan suara dari September ke Desember 2020, serta merta menggeser pula waktu pelaksanaan tahapan-tahapan pra dan pasca-pemungutan suara. Khususnya, dampak penundaan empat aktivitas tahapan pilkada yang mengakibatkan perubahan waktu pelaksanaan tahapan-tahapan selanjutnya.

“Misal, pendaftaran calon, pengadaan logistik, maupun kampanye pemilihan. Selain itu, KPU juga wajib mengatur mekanisme penundaan serta tata cara dan waktu pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan, sebagaimana diperintahkan Pasal 122A ayat (3) Perppu Pilkada,” kata Titi.

Dari dampak teknis, penundaan pilkada pasti berdampak pada tata kelola teknis. Jika dirujuk implikasi teknis pilihan pemungutan suara pada Desember 2020, membuat KPU harusnya sudah memulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni 2020.

“Artinya, akan ada irisan pelaksanaan tahapan dengan fase penanganan puncak pandemik dan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhir,” ujar Titi.

Untuk itu, kata dia, KPU harus segera merumuskan tata kelola teknis pilkada yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19, terutama berkaitan dengan mekanisme interaksi antara petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan yang tidak berisiko.

“Misalnya saja, bagaimana tata cara teknis verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, coklit data pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan suara, maupun rekapitulasi yang sesuai kebijakan jaga jarak (physical distancing) agar tidak terpapar COVID-19," kata Titi.

Sementara, menurut Titi, Perppu Pilkada masih menggunakan pendekatan tata kelola pilkada dalam situasi normal tanpa memikirkan adanya pandemik atau krisis.

“Perppu ini masih mengonstruksi keseluruhan tahapan pilkada serentak 2020 dikelola berdasarkan ketentuan yang sudah ada dalam UU Pilkada. Maka, KPU harus strategis dan sigap untuk menyikapi dan menyiasatinya. Supaya saat KPU melakukan pengaturan teknis pilkada yang koheren dengan protokol penanganan COVID-19, pengaturan yang dibuat itu tidak dianggap bertentangan dengan hukum ataupun melampaui kewenangan,” tutur dia.

Sedangkan dari dampak politik, kata Titi, status mandat atau rekomendasi yang sudah diberikan atau potensial yang diberikan pada bakal calon, sangat mungkin berubah dan berganti pada orang lain akibat perubahan elektabilitas atau posisi para aktor politik di daerah.

Selain itu, kata Titi, konsolidasi politik tim bakal calon pasti menghabiskan waktu lebih panjang karena durasi pra kompetisi yang mundur sampai Desember 2020. Tentu ini akan mengakibatkan dinamika tersendiri di internal maupun eksternal tim pendukung calon.

“Dampak lainnya adalah kebutuhan yang makin besar pada dukungan keuangan atau pendanaan untuk logistik kerja-kerja politik calon. Biaya politik yang harus dikeluarkan calon, baik untuk merawat konstituen maupun menjaga elektabilitas mereka menjadi makin tinggi,” tutur dia.

Politik biaya tinggi ini, menurut Titi, juga bisa mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat dan tidak setara pada para calon yang tidak memiliki banyak modal. Ini tentu mengancam dan bisa menurunkan kualitas demokrasi lokal.

Lain halnya jika pilkadanya ditunda ke 2021. Titi memprediksi para calon bisa sekalian menunda semua aktivitas politik mereka pada 2021, yang berkaitan dengan partai ataupun pencitraan elektoral, dan bisa kembali berkonsentrasi menyiapkan segala sesuatunya pada tahun depan, saat tahapan pilkada sudah dimulai lagi.

“Mereka relatif bisa bernapas dan mampu pula mengatur ulang strategi, serta mengumpulkan sumber-sumber pendanaan baru,” kata dia.

Dari segi sosial, menurut Titi, penundaan pilkada bisa membuat masyarakat melihat pandemik virus corona sebagai persoalan serius. Karena COVID-19 bisa mengakibatkan tertundanya agenda rutin lima tahunan pilkada serentak.

Namun, dia melanjutkan, kalau pelaksanaan tahapan pilkada ternyata tetap beririsan dengan masa penanganan puncak pandemik COVID-19, hal itu bisa mengakibatkan reaksi sosial yang kontraproduktif, berupa skeptisme, antipati, dan pragmatisme masyarakat pada proses pilkada.

Oleh sebab itu, Titi menyarankan, pemerintah bersama DPR dan KPU sudah selayaknya tidak mengabaikan kondisi psikososial masyarakat, akibat ekses pandemik COVID-19 yang mereka rasakan.

“Memaksakan pilkada di waktu yang tidak tepat, bukan hanya mengancam kualitas pilkada, tapi juga bisa menurunkan reputasi pemerintah, DPR, dan KPU di mata masyarakat,” ujar dia.

Sedangkan dari dampak anggaran akibat penundaan pilkada, Titi menyarankan, perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19.

Titi menjelaskan, ada risiko yang bisa membahayakan kesehatan dan keselamatan petugas serta pemilih, jika tidak bisa memastikan pemenuhan fasilitas dan daya dukung untuk melindungi mereka dari kemungkinan terpapar COVID-19 saat pelaksanaan pilkada.

Karena itu, kata dia, pengalokasian dana tambahan untuk memenuhi segala fasilitas dan kebutuhan yang sejalan dengan pemenuhan protokol kesehatan, menjadi tidak terhindarkan.

“Sebut saja, misalnya keperluan untuk pengadaan masker, hand sanitizer, termometer, disinfektan, dan alat pelindung diri” ujar dia.

Dana tambahan, menurut Titi, juga diperlukan untuk membiayai tahapan yang sebelumnya sudah pernah dilakukan, namun harus diulang kembali karena keberadaannya sudah tidak lagi relevan.

Misalnya saja, kata dia, kegiatan sosialisasi tahapan, program, dan jadwal yang sudah dilakukan sebelum penundaan, mau tidak mau harus kembali diulang karena berubahnya kerangka waktu dan substansi tahapan, program, dan jadwal pasca-penundaan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us