Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

RUU KIA Sah Jadi UU, Ibu Melahirkan Berhak Cuti hingga 6 Bulan

RUU KIA Resmi diterima oleh DPR RI pada pembahasan tingkat 1 DPR RI (dok. KemenPPPA)
Intinya sih...
  • Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi UU.
  • UU ini memberikan cuti bagi ibu pekerja yang melahirkan selama enam bulan dengan upah penuh untuk tiga bulan pertama dan 75% untuk bulan keempat, kelima, dan keenam.

Jakarta, IDN Times - Rapat Paripurna DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi Undang-Undang (UU).

Substansial regulasi ini menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, termasuk di antaranya menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga.

UU ini merumuskan cuti bagi ibu pekerja yang melahirkan, yaitu paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Maka totalnya, ibu bisa cuti selama enam bulan. 

1. Dapat upah 100 persen hingga bulan keempat cuti

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga saat sidang paripurna di DPR RI membahas soal RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (dok. Humas KemenPPPA)

Hal itu termuat pada Pasal 4 ayat 3 RUU KIA yang diterima IDN Times. Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan:

a. cuti melahirkan dengan ketentuan:
1. paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan
2. paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
b. waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran;
c. kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja;
d. waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak; dan/atau
e. akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya

Mereka juga berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam. Hal ini termuat dalam pasal 5 ayat 2.

2. Suami dampingi istri saat keguguran

Ilustrasi rutin cek kehamilan(pexels.com/MART PRODUCTION)

Suami atau Keluarga diwajibkan untuk mendampingi demi menjamin pemenuhan hak ibu sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf e. Suami memiliki hak cuti pendampingan istri yang dapat dilakukan dalam dua situasi yakni saat persalinan, dengan durasi dua hari yang dapat diperpanjang hingga tiga hari berikutnya sesuai kesepakatan.

Kemudian saat istri mengalami keguguran, suami mendapat cuti dengan durasi dua hari. Di samping cuti tersebut, suami juga berhak mendampingi istri dan atau anak dalam beberapa keadaan, seperti saat istri atau anak mengalami masalah kesehatan atau komplikasi, atau dalam situasi yang menyedihkan seperti kematian istri atau anak.

3. Suami wajib jaga kesehatan istri dan anak

ilustrasi bayi prematur (unsplash.com/hapus percikan)

Ketika menjalankan hak cuti pendampingan istri, suami memiliki kewajiban untuk menjaga kesehatan istri dan anak, memberikan nutrisi yang cukup, mendukung pemberian air susu ibu eksklusif, dan mendampingi dalam pelayanan kesehatan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us