Sahara Barat: Front Polisaro Sumpah akan Terus Serang Maroko

Jakarta, IDN Times – Pemimpin Front Polisario Sahara Barat, Barahim Ghali mengatakan bahwa tentara Sahrawi akan tetap melanjutkan serangan terhadap Maroko di wilayah Afrika barat laut yang disengketakan.
Pernyataan itu disampaikan pada hari Sabtu (16/10/2021), sebagaimana yang dilaporkan Africanews, ketika dia ditanyai oleh wartawan di Rubbani, kota yang diklaim sebagai pusat pemerintahan Republik Demokratik Arab Saharawi.
Serangan tersebut akan terus dilakukan untuk memperoleh kemerdekaan penuh atas wilayahnya. Front Polisario menuntut untuk diberikan hak penentuan nasib sendiri.
1. Ghali Mendesak DK PBB

Menurut laporan Africanews, ketika konferensi pers, Ghali mendesak anggota Dewan Keamanan PBB untuk menetapkan mandat yang jelas terkait dekolonisasi Sahara Barat dan organisasi referendum tentang penentuan nasib sendiri pada pertemuan yang dijadwalkan dewan pada 28 Oktober mendatang.
"Saya pikir praktik Kerajaan Maroko dan keterlibatan masyarakat internasional salah, dan Dewan Keamanan PBB harus memikul tanggung jawab mereka dengan apa yang terjadi sekarang," kata Ghali.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap Sahara Barat sebagai wilayah terakhir Afrika yang akan mengalami dekolonisasi, dan delegasi mereka dianggap gagal dalam menyiapkan upaya referendum terhadap negara tersebut sejak gencatan senjata pada 30 tahun yang lalu.
2. Pembatalan gencatan senjata

Pada hari Selasa (12/10/2021) lalu, Barahim Ghali muncul ke hadapan publik dan membela keputusan gerakannya pada November 2020 lalu untuk membatalkan gencatan senjata 1991.
“Tidak akan ada perdamaian, atau stabilitas, atau solusi yang adil dan abadi untuk konflik Maroko-Saharawi kecuali Dewan Keamanan PBB memikul tanggung jawabnya dalam menanggapi secara jujur dan tegas praktik agresif dan ekspansionis dari kekuatan pendudukan Maroko,” kata Ghali. dalam pidatonya kepada ratusan Saharawi di kamp pengungsi Dajla di provinsi Tindouf selatan Aljazair, dilansir dari AP News.
Permusuhan tetap dalam skala kecil, namun meski demikian, pejabat Polisario mengatakan kepada The Associated Press bahwa setidaknya 8 pejuang mereka tewas dalam pertempuran pada serangan yang diluncurkan terhadap posisi tentara Maroko di sepanjang tembok.
Sebagai informasi, tembok yang dimaksud adalah tembok Maroko yaitu tembok pasir, bunker, kawat berduri, dan ladang ranjau sepanjang 2.720 kilometer di Sahara Barat. Tembok ini dibangun pada 1981 untuk melawan gerilyawan Polisario.
3. Konflik separatisme

Melansir Aljazeera, perang ini berawal pada tahun 1975 ketika Spanyol mengakhiri kekuasaannya di wilayah tersebut. Saat itu meninggalkan Mauritania, Maroko, dan Front Polisario dalam konflik yang mengakar atas kedaulatannya. Wilayah Sahara Barat dibagi oleh Mauritania dan Maroko. Maroko mengklaim secara sepihak wilayah tersebut.
Adapun Polisario yang awalnya dibentuk untuk membebaskan Maroko Selatan, kemudian berusaha untuk melawan otoritas Maroko untuk membentuk negara sendiri di wilayah Sahara Barat. Saat itu mereka memihak pada Aljazair dimana negara itu juga memberikan dukungan berupa senjata terhadap para pejuang Polisario. Hal itu dilakukan Aljazair lantaran Maroko yang juga kerap kali mencaplok wilayahnya.
Pada tahun yang sama, Mahkama Internasional (ICJ) mengakui hubungan historis yang terjadi antar wilayah tersebut namun tidak bisa dijadikan landasan oleh Maroko dalam mengklaim kepemilikannya.
Polisario yang mewakili Republik Demokratik Arab Sahrawi dari pengasingan di Tindouf, Aljazair, berdamai dengan Mauritania pada 1979. Tetapi pertempuran dengan Maroko berlanjut hingga tahun 1991 ketika kedua pihak mencapai kesepakatan yang menyerukan diadakannya referendum, sambil mempertahankan status quo saat itu dan penerapan zona penyangga yang didukung PBB.
Sampai saat ini, wilayah tersebut masih belum memperoleh referendum. Hal ini pula yang membuat Front Polisaro untuk terus berjuang memperoleh hak untuk berdaulat tanpa kekangan dari pemerintah Maroko.